Aksa bertemu dengan seorang gadis pemilik toko kue yang perlahan memikat perhatiannya. Namun ketertarikan itu bukanlah karena sosok gadis tersebut sepenuhnya, melainkan karena wajahnya yang sangat mirip dengan mendiang sang istri.
Terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, Aksa mulai mendekatinya dengan berbagai cara — bahkan tak segan mengambil jalan licik — demi menjadikan gadis itu miliknya. Obsesi yang awalnya lahir dari kerinduan perlahan berubah menjadi hasrat posesif yang menguasai akal sehatnya.
Tanpa disadari, sang gadis pun terseret semakin dalam ke dalam cengkeraman pria dominan itu, masuk ke sebuah lembah gelap yang dipenuhi keinginan, manipulasi, dan ilusi cinta.
akankah Aksa bisa mencintai gadis itu sepenuhnya? apakah gadis itu mampu membuat Aksa jatuh cinta pada dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LebahMaduManis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
“Bawakan data para calon karyawan yang kemarin diwawancarai,” ucap Aksa tenang namun tegas kepada sekretarisnya.
“Loh, Pak… buat apa? Bukannya itu sudah jadi jobdesk staff recruitment?” Sang sekretaris mengangkat satu alis. Ia sangat heran—bos setertutup Aksa biasanya hanya menandatangani kontrak tanpa ingin tahu proses sebelum itu. Ini jelas tidak biasa.
Aksa menatapnya tajam. “Lakukan saja apa yang saya perintahkan.”
Sekretarisnya langsung menelan saliva, lalu mengangguk. “Baik, Pak. Saya akan minta staff recruitment mengirimkan datanya lewat surel.”
---
Aksa, pria dingin dan keras kepala yang hampir tak pernah memamerkan senyum, tiba-tiba mengulum senyum samar. Matanya berbinar memandangi layar laptop—sesuatu yang jarang, bahkan hampir mustahil dilihat oleh Rio, asistennya yang hampir 24/7 bersamanya.
Rupanya ia menemukan data yang ia cari, gadis mungil yang sempat ia lihat saat sesi wawancara kemarin. Ia membaca profilnya berulang-ulang, mencoba memahami kenapa keberadaannya begitu membekas.
Namun satu masalah membuatnya kesal; gadis itu tidak lolos seleksi.
“Apa saya harus menghubunginya langsung? Tapi atas dasar apa?” gumamnya sambil menggaruk dagu yang tak gatal. “Kalau soal pekerjaan, jelas tidak mungkin. Dia tidak diterima.”
Ia meneguk kopi, lalu menyandarkan tubuh titannya, dengan cerutu terjepit santai di jemari. Pikirannya melayang.
Bukan pertama kali ia merasakan dorongan kuat seperti ini. Dulu, ia pernah memperjuangkan seorang wanita dengan seluruh hidupnya—Ayesha, istrinya. Wanita yang ia cintai sepenuh hati… sampai ajal memisahkan mereka. Sejak saat itu, hatinya tertutup rapat. Tidak ada lagi ruang untuk siapa pun.
Namun pertemuannya dengan gadis itu—yang bahkan belum ia ketahui namanya—entah bagaimana mengoyak dinding kokoh itu.
“Rio,” panggil Aksa pelan namun tegas.
“Ya, Pak?”
“Antar saya ke toko kue langganan almarhumah istri saya.”
Rio sedikit terkejut, namun langsung mengangguk. “Baik, Pak.”
Aksa duduk di kursi belakang mobil. Keheningan memenuhi kabin, hanya diisi oleh deru kendaraan di luar. Seperti biasa, Aksa tidak memulai obrolan. Ia bukan tipe yang berbicara kecuali perlu.
Rio yang sudah dua tahun bekerja dengannya pun masih sering bingung harus berkata apa. Salah ucapan sedikit saja, Aksa bisa memilih diam seharian.
Namun suasana terlalu hening. Rio mencoba membuka percakapan dengan hati-hati.
“Sepertinya sudah lama Bapak tidak membeli kue dari toko itu lagi. Terlebih hari ini Bapak langsung datang sendiri.”
Aksa mengalihkan pandangannya dari jendela. Ia menarik napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi.
“Hari ini anniversary pernikahan saya dan Ayesha,” jawabnya lirih. “Tujuh tahun lalu… saya merasa hidup saya lengkap bersamanya. Meskipun dia sudah tiada, saya tetap merayakan setiap momen berharganya.”
Suara baritonnya bergetar pelan. Aksa berkedip beberapa kali, seolah mencoba menghalau genangan di matanya agar tidak terlihat oleh asistennya.
Mobil berhenti di depan toko. Rio cepat turun dan membukakan pintu untuk Aksa.
“Kamu tunggu di mobil. Saya masuk sendiri.”
“Baik, Pak.”
Sudah lebih dari setahun Aksa tak datang ke toko itu. Bahkan melihat papan namanya saja membuat dadanya sesak. Terlintas kenangan Ayesha: tawanya, cara mata perempuan itu berbinar saat memilih kue kesukaannya.
Aksa menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Suasana toko tidak terlalu ramai. Ia berjalan mendekati etalase, menatap setiap kue dengan pandangan kosong namun penuh kenangan.
Tiba-tiba suara langkah kaki mendekat—nyaring, ringan, dan terdengar begitu familiar di telinganya.
“Permisi, Pak. Bolehkah saya bantu memperkenalkan cake, pastry, dan dessert yang ada di sini?”
Aksa menoleh.
Sekejap—napasnya tercekat.
Matanya membelalak, terpaku… karena orang yang berdiri di depannya adalah—
gadis mungil itu.
Gadis yang gagal lolos seleksinya.
Gadis yang membuat dinding hatinya retak untuk pertama kalinya setelah kepergian Ayesha.
Dan sekarang… berdiri tepat beberapa langkah darinya.
...***...
...JANGAN LUPA TINGGALKAN LIKE AND COMMENTNYA YA READERS...