NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:524
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28. Bara di medan Narasoma

Langit pagi di atas Narasoma belum sepenuhnya terang ketika guntur pertama perang menggema. Kabut masih menggantung di antara pepohonan hutan Wrigin Gede, tapi aroma besi dan darah sudah lebih dulu menguasai udara. Genderang perang dipukul bertalu-talu; dari kejauhan, panji-panji Parang Giri berkibar merah menyala seperti lidah api yang menantang langit.

“Panglima Aruna! Barisan timur sudah ditembus pasukan Parang Giri!” seru seorang prajurit muda sambil berlari dengan wajah penuh debu dan darah. Aruna menghunus pedangnya dan menatap tajam ke arah lembah. Di sana, barisan musuh bergerak seperti ombak hitam, tak terbendung. “Perintahkan barisan pemanah mundur tiga langkah! Bentuk formasi perisai naga! Jangan biarkan mereka naik ke lereng!” suaranya menggema, tegas namun tetap tenang.

“Siap, Panglima!” seru para prajurit, mengangkat perisai besar yang memantulkan sinar matahari pagi. Dari sisi barat, suara derap kuda terdengar mendekat cepat. Raden Raksa memacu kudanya melintasi barisan prajurit Samudra Jaya. Jubah biru lautnya berkibar, mata elangnya menatap tajam ke medan depan.

“Aruna!” serunya lantang.

Panglima itu menoleh, wajahnya penuh debu dan keringat.

“Mereka lebih banyak dari yang kita perkirakan,” kata Aruna.

Raksa menegakkan tubuhnya di atas pelana. “Biar jumlah mereka ribuan, asalkan Samudra Jaya berdiri, tak satu pun dari mereka akan pulang membawa kemenangan.” Raksa menoleh ke belakang, memberi isyarat. Puluhan prajurit berkuda maju membentuk sayap kiri. “Kita serang dari bawah lembah! Bakar jalan mundur mereka!”

“Tapi Raden, itu berbahaya! Jalan di lembah penuh jurang dan akar pohon!” cegah Aruna.

Raksa hanya tersenyum tipis. “Biar mereka tahu, darah bangsawan Samudra Jaya tidak pernah dingin di medan perang.” Ia menurunkan visor helmnya, lalu menghentak kendali kuda. Dalam sekejap, debu mengepul dan puluhan pasukan berkuda meluncur menuruni lereng bagai badai yang siap menghantam barisan Parang Giri. Dentuman logam bersambut dengan jeritan pertama. Tombak-tombak bertemu di udara. Darah memercik ke tanah lembab Narasoma. Raksa menebas satu, dua, tiga musuh sekaligus. Gerakannya cepat, hampir seperti bayangan. Setiap ayunan pedangnya meninggalkan kilatan cahaya di udara. Namun semakin lama, pasukan musuh yang datang semakin banyak—gelombang tak berujung.

“Raden!”

Suara Panglima Aruna terdengar di tengah hiruk-pikuk medan perang. Tubuhnya berlari menembus kabut, debu, dan jeritan prajurit. Di hadapannya, Raden Raksa berdiri memimpin pasukan barisan tengah—dan sekejap kemudian, sebuah anak panah berapi melesat tepat ke arah dadanya. Tanpa pikir panjang, Aruna menerjang. Namun sebelum panah itu menembus dada Raksa, suara derap kuda terdengar cepat dari arah samping. Dalam satu hentakan, Raden Kusumanegara melesat dengan kudanya. Bilah pedangnya terhunus, dan dengan satu tebasan cepat, ia memotong anak panah itu di udara. Kayu panah terbelah dua, jatuh tak berdaya ke tanah yang berlumpur darah.

Kuda hitamnya meringkik keras. Kusumanegara turun perlahan, jubah kebesaran perang bergoyang diterpa angin. Wajahnya dingin dan tajam, seolah tak terpengaruh oleh hiruk-pikuk pertempuran. Aruna terpaku sesaat, menatap pangeran itu yang kini berdiri tegap di tengah medan. Sorot matanya memantulkan api yang berkobar di kejauhan.

“Panglima,” ucap Kusumanegara datar. “Jangan menunduk pada angin sebelum kau tahu dari mana datangnya badai.” Belum sempat Aruna menjawab, seruan perang kembali bergema. Dari celah kabut, puluhan prajurit Parang Giri menyerbu, membawa pedang panjang dan tombak pendek. Kusumanegara menatap tajam, lalu menghunus belatinya dengan gerakan halus. Ia berlari menembus kabut, gerakannya cepat dan terukur. Setiap tebasan membawa bunyi logam beradu dan jeritan. Dua, tiga, lima musuh tumbang dalam waktu sekejap. Darah memercik di udara seperti hujan merah. Raksa sempat menoleh dari kejauhan, tak percaya melihat Raden Kusumanegara turun langsung ke pertempuran.

“Kangmas…” gumam Raksa lirih, separuh kagum, separuh heran. Namun Kusumanegara tak berhenti. Tubuhnya berputar lincah di antara prajurit, setiap langkahnya penuh kendali. Ia menangkis tombak, mematahkan pedang, lalu menebas bahu musuh dengan gerakan yang nyaris tak terlihat. Sorak prajurit Samudra Jaya meledak, semangat mereka membara kembali.

Panglima Aruna yang masih bertahan di garis depan sempat terpukul mundur oleh benturan perisai musuh. Ia berbalik, dan di saat itulah dari balik kabut, seorang prajurit Parang Giri muncul diam-diam dari belakang, pedangnya terangkat tinggi, siap menebas leher sang panglima. Waktu seakan berhenti. Namun sebelum pedang itu sempat turun, sebuah kilatan logam melesat cepat melewati bahu Aruna.

CLEK!

Belati Kusumanegara menembus dada prajurit itu tepat di jantung. Tubuh sang penyerang jatuh tersungkur di tanah, matanya membulat menatap kosong ke langit. Aruna menoleh kaget, napasnya memburu. Beberapa langkah kemudian, Kusumanegara berjalan mendekat melewati tubuh Aruna tanpa berkata sepatah pun. Ia berhenti di depan jenazah musuh, menarik belatinya perlahan. Darah mengalir menetes di ujung pisau.

“Musuh datang dari segala arah, Panglima,” ucapnya tenang. “Kadang dari depan, kadang dari bayangan yang tak kau sadari… bahkan dari tempat yang paling kau percayai.” Aruna menatap pangeran itu lama. Ada sesuatu dalam nada suaranya—bukan hanya peringatan perang, tapi makna yang lebih dalam. Ia seolah menyadari bahwa kalimat itu bukan sekadar tentang pedang dan darah, melainkan tentang hati dan kepercayaan. Tentang seseorang yang mungkin suatu hari akan menusuk bukan dengan senjata, melainkan dengan cinta atau ambisi. Kusumanegara menyarungkan belatinya, menatap ke arah lembah yang masih bergemuruh oleh suara perang. “Perang tak hanya soal siapa yang bertahan hidup,” katanya lirih. “Tapi siapa yang mampu mengendalikan hatinya.”

Aruna mengangguk perlahan, memahami pesan itu meski tanpa penjelasan lebih. Ia menarik napas dalam, menegakkan tubuhnya, lalu kembali mengangkat tombak tinggi.

“Prajurit Samudra Jaya! Serbu! Di depan ada pangeran kita! Di belakang ada kehormatan kita! Jangan biarkan satu pun menginjak tanah ini tanpa pertumpahan darah!” Sorak sorai pasukan kembali menggema. Mereka menyerbu dengan semangat baru. Di bawah sinar matahari yang akhirnya menembus kabut, medan Narasoma kembali bergemuruh oleh suara logam dan teriakan perang. Kusumanegara menatap pemandangan itu dalam diam. Di matanya, terselip sorot yang sulit ditebak—antara kebanggaan, kelelahan, dan rencana yang belum sepenuhnya terucap. Di kejauhan, seekor burung hitam melintas di langit, membentuk bayangan di atas kepalanya.

Aruna menatap ke arah burung itu, lalu ke arah sang pangeran.

“Pertanda apakah itu, Raden?” tanyanya.

Kusumanegara hanya tersenyum tipis. “Burung hitam tak membawa kabar buruk, Panglima… Ia hanya datang mengingatkan bahwa setiap kemenangan punya harga.” Dan di bawah langit Narasoma yang berwarna merah, perang terus berkecamuk. Darah, debu, dan doa bercampur menjadi satu. Namun tak seorang pun tahu—perang sejati baru saja dimulai. Bukan di medan ini, tapi di dalam hati masing-masing.

Mereka kembali menebas musuh bagai sudah direncanakan Panglima Aruna dan Raden Kusumanegara terlihat Kompak dalam pertempuran kali ini. Panglima Parang Giri—Jaganara terlihat sekali memendam amarah, dendamnya pada Panglima Aruna kembali tumbuh mengingat bagaimana adiknya yang pernah mati ditangan Aruna.

“Arunaaaaaaaa...!” Jaganara melesat bersama dengan kudanya sambil mempersiapkan pedangnya, jeritan itu menggema, memecah bisingnya perang. Jaganara memacu kudanya dengan cepat, pedangnya terangkat tinggi memantulkan cahaya matahari yang mulai condong. Ia menerjang barisan prajurit Samudra Jaya tanpa peduli keselamatannya sendiri, menebas siapa pun yang menghalangi jalannya. Setiap tebasannya seperti disertai sumpah dendam yang telah mengakar.

Panglima Aruna menoleh ke arah suara itu, mengenali wajah yang melaju di antara asap dan darah. Bibirnya mengeras. “Jaganara...” gumamnya rendah, suaranya nyaris tak terdengar, tapi penuh makna.

Kuda Jaganara melesat kencang. Ia mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh, menebas lurus ke arah Aruna. Namun Aruna, dengan kecepatan yang tak kalah gesit, memutar tubuhnya ke samping dan membungkuk. Tebasan itu hanya mengenai udara. Angin tajam pedang itu lewat di dekat wajah Aruna, cukup untuk membuat rambutnya beterbangan. Tanpa membuang waktu, Aruna menendang tubuh musuh yang terjatuh di depannya, meraih tombak dari tangan seorang prajurit Parang Giri yang telah tumbang. Ia berbalik cepat, lalu melemparkan tombak itu dengan tenaga penuh. Tombak itu melesat menembus udara, menghantam kaki kuda Jaganara. Hewan itu meringkik keras, lalu terjungkal ke tanah, menjatuhkan sang penunggang. Tubuh Jaganara berguling di tanah berlumpur, namun ia segera bangkit dengan tatapan buas. Pedangnya berkilat merah oleh pantulan api dari nyala perang di sekitarnya.

“Darahku tak akan berhenti sebelum kau menyusul adikku, Aruna!” teriaknya. Aruna tidak menjawab. Ia hanya menyiapkan posisi, memutar tombaknya, dan maju perlahan. Di antara mereka, suara perang seakan mereda—yang terdengar hanya desah napas dan derap langkah di atas tanah yang basah darah. Dua sosok panglima itu saling menyerang dalam duel yang sengit. Pedang dan tombak beradu berulang kali, menciptakan percikan cahaya yang menyilaukan. Setiap tebasan Jaganara dibalas tusukan cepat dari Aruna, setiap langkah mundur dibayar dengan serangan balik yang mematikan.

Di sekeliling mereka, prajurit Samudra Jaya dan Parang Giri berhenti sejenak, menyaksikan dua panglima bertarung dalam lingkaran maut. Tak ada yang berani mengganggu, karena mereka tahu—ini bukan sekadar pertarungan perang, tapi pertaruhan kehormatan dan dendam yang sudah lama membara.

“Aruna! Kau merampas nyawa adikku di Nartama!” seru Jaganara sambil menebas keras. “Sekarang aku akan mengirimkan kepalamu ke Parang Giri sebagai balasannya!”

Aruna menangkis, lalu memutar tubuh, tombaknya menebas sisi kiri. “Adikmu memilih perang, Jaganara. Dan siapa pun yang memilih perang, sudah menyerahkan nyawanya pada medan ini!” Tebasan terakhir Aruna menukik cepat. Suara logam beradu keras—lalu terhenti.

Jaganara terpaku. Matanya melebar. Darah mengalir dari dada tempat tombak Aruna menembus tepat di antara pelat zirahnya. Nafasnya tersengal. Ia menatap Aruna dengan tatapan penuh benci sekaligus kelelahan.

“Samudra Jaya... tak akan selamanya berdiri...” bisiknya lirih, sebelum tubuhnya roboh ke tanah. Aruna menarik tombaknya perlahan. Tak ada kemenangan dalam wajahnya, hanya keheningan dan sisa amarah yang tak bisa diredakan.

Dari kejauhan, Raden Kusumanegara menyaksikan semuanya. Ia menatap Aruna lama, lalu menarik napas pelan.

“Luar biasa…” gumamnya, suaranya hampir seperti kekaguman. “Jaganara, panglima yang ditakuti Parang Giri, tumbang di tangan Aruna sekali lagi.” Ia menatap medan perang yang kini mulai dikuasai pasukan Samudra Jaya. Namun di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sesuatu yang berbeda—bukan sekadar kagum, melainkan tekad yang lebih dalam. Dalam pikirannya, suara Dyah Anindya menggema samar. Senyum lembut sang putri, suara halusnya, dan tatapan matanya yang menenangkan… semua seolah hadir di tengah kekacauan perang.

Namun Kusumanegara tahu, perang tidak hanya melibatkan pedang dan darah. Ada medan lain yang jauh lebih sulit ditaklukkan—medan hati. Ia menatap Aruna yang masih berdiri tegap di tengah kabut.

“Dia kuat,” gumamnya perlahan. “Tapi aku tidak akan kalah… bukan dalam hal ini.”

Angin pagi kembali berembus. Bendera Samudra Jaya berkibar di atas tumpukan mayat dan abu. Namun di balik kemenangan itu, tersimpan api lain yang baru menyala—api yang tak lahir dari dendam, melainkan dari keinginan untuk memiliki hati seorang putri yang sama-sama dicintai. Dentingan pedang dan tombak lesatan anak panah dan teriakan para prajurit kembali menggema, walau penuh luka Raden Arya tetap berdiri bukan hanya demi negara tapi demi cinta yang tak pernah ia ungkapkan. Dia memandang Raden Raksa—adik tirinya dalam sekali tebasan pedangnya musuh langsung tumbang, adiknya itu memang kuat bergerak tanpa perhitungan tapi selalu tepat dalam setiap tindakan, tanpa sadar Raden Arya berjalan kearah Raden Raksa setiap musuh yang mengarah padanya dia tebas tanpa mengalihkan pandangannya pada adik tirinya. Namun di balik tatapan Raden Arya, ada bara lain yang tak bisa padam. Bukan tentang medan perang, melainkan tentang seorang gadis bernama Puspa—yang senyum dan tatapannya masih menari-nari di benak Raden Arya. Ia teringat bagaimana gadis itu pernah menundukkan wajahnya, lalu kemudian terlihat memeluk Raksa dengan begitu lembut. Sebuah bayangan yang menampar sisi terdalam hatinya. Langkah Raden Arya perlahan bergerak.

Satu langkah. Dua langkah. Bahkan tanpa sadar, ia mulai menapaki tanah penuh darah itu menuju ke arah Raksa.

“Raden Arya...?” gumam seorang prajurit di belakangnya, tapi sang pangeran tidak menjawab. Tatapannya tetap terarah pada adik tirinya. Di wajahnya tak ada amarah yang terang-terangan, namun sorot matanya tajam, seperti sedang menimbang sesuatu yang tak bisa diucapkan. Raden Raksa yang tengah menebas seorang prajurit musuh tiba-tiba merasa ada yang berbeda. Suara langkah kaki di belakangnya terlalu familiar. Ia berbalik, dan pandangan mereka pun bertemu. Dua pasang mata—mata dua saudara yang dipersatukan darah namun dipisahkan oleh rahasia hati.

Raksa menatap balik, napasnya berat, pedangnya masih meneteskan darah segar yang menetes perlahan ke tanah. Sorot matanya tajam, seolah ingin membaca sesuatu di balik wajah kakak tirinya yang berdiri beberapa langkah darinya. Antara keduanya, hanya ada suara desir angin dan langkah kaki kuda yang menjauh, meninggalkan mereka dalam pusaran sunyi di tengah ladang kematian.

Raden Arya tak berkata sepatah pun. Ia hanya berdiri mematung, menatap Raksa tanpa berkedip. Tatapan yang sulit diartikan—antara kagum, amarah, dan luka yang tak pernah sembuh. Di balik matanya, bayangan Puspa kembali muncul begitu jelas, seperti mimpi yang menolak hilang. Senyum lembut gadis itu, cara ia menundukkan kepala setiap berbicara, dan pelukan yang pernah dilihatnya—pelukan yang diberikan pada Raksa, bukan padanya. Semua itu menari di pikirannya seperti bayang-bayang yang menghantui nuraninya.

Udara di antara mereka terasa berat. Seolah waktu berhenti, menahan napas menyaksikan dua darah bangsawan yang diam-diam menyimpan badai di dada masing-masing. Raksa memiringkan sedikit kepalanya, menatap lurus ke mata kakaknya. Ada sesuatu yang bergetar di sana—bukan sekadar kewaspadaan seorang prajurit di medan perang, melainkan semacam kesadaran bahwa di balik diam itu, ada rahasia yang belum diucapkan. Tanah di sekitar mereka masih bergetar oleh langkah kuda dan gemuruh pertempuran di kejauhan. Tapi di tempat mereka berdiri, semuanya terasa sunyi. Angin membawa bau logam dan darah, mengibas ujung jubah Raden Arya yang sobek.

Tangan Raden Arya sedikit bergetar saat menggenggam pedang. Ia sendiri tidak tahu apakah getaran itu karena kelelahan... atau karena sesuatu yang lebih dalam. Ia ingin melangkah maju, namun tubuhnya menolak. Pandangannya terus terpaku pada Raksa, seperti seorang saudara yang ingin berbicara tapi kehilangan semua kata.

Raksa, di sisi lain, tetap diam. Ia tidak menunduk, tidak pula menantang. Sorot matanya tegas, namun di dalamnya ada tanya yang tak terucapkan. Keduanya berdiri di bawah langit yang mulai memerah oleh kabut darah—dua sosok yang sama-sama membawa beban cinta, kehormatan, dan ambisi yang tidak pernah bisa bersatu.

Hening itu hanya berlangsung sekejap.

Dari balik kabut dan abu, terdengar suara langkah berat dan deru napas kasar. Seorang prajurit Parang Giri yang masih hidup, wajahnya penuh amarah dan tubuhnya berlumuran luka, melesat dengan tombak terhunus. Gerakannya cepat, matanya merah menatap dua pangeran yang menjadi simbol kejayaan Samudra Jaya.

Semuanya terjadi begitu cepat.

Tanpa sepatah kata pun, Raden Arya dan Raksa serentak bergerak. Pedang mereka berkilat bersamaan di udara, membelah debu dan cahaya matahari pagi yang mulai menembus kabut. Suara besi menembus daging terdengar jelas. Dua tubuh bergerak cepat saling melindungi dari arah berlawanan. Raden Arya menusuk prajurit yang mengincar Raksa dari belakang, sementara Raksa menebas tajam musuh yang melesat ke arah kakaknya.

Tubuh sang prajurit ambruk di antara mereka. Tanah di bawahnya terciprat darah yang menghangatkan udara dingin pagi itu. Hening kembali menyelimuti. Raden Arya berdiri dengan dada naik turun, napasnya terengah. Raksa pun demikian, pedangnya masih terarah ke depan, meneteskan darah yang perlahan menuruni bilahnya. Di antara mereka, jasad musuh tergeletak membisu, menjadi saksi bisu dari sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar pertempuran—ikatan yang rapuh di antara dua saudara yang sama-sama terluka oleh cinta dan takdir.

Raksa menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu sekali lagi, kali ini lebih lama. Tidak ada kata, tapi semuanya sudah terucap dalam diam. Di mata Raden Arya, tampak sesal dan kekaguman bercampur jadi satu. Di mata Raksa, ada rasa hormat, tapi juga jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Raksa akhirnya tersenyum kecil, meski wajahnya masih berlumur debu dan darah. “Ternyata... kita masih bisa saling melindungi, Kakanda,” ucapnya pelan. “Meski terkadang, aku merasa Kakanda ingin sekali menebasku, bukan musuh.”

Raden Arya tertegun. Ucapan itu menghujam jantungnya lebih dalam dari luka apa pun.

“Raksa...” suaranya bergetar, namun tak ada kata lain yang bisa ia ucapkan. Raksa menepuk bahu kakaknya pelan. “Aku tahu,” katanya sambil tersenyum getir. “Perang tidak hanya ada di medan ini. Ada perang lain di dalam dada kita, bukan?” Raden Arya hanya diam. Sorot matanya melembut, tapi ada sesuatu yang menyeretnya jauh ke dalam pusaran emosi yang tak bisa dijelaskan. Ia ingin berbicara—tentang Puspa, tentang rasa yang membakar dadanya, tentang iri yang tak pantas dimiliki seorang ksatria. Tapi sebelum sempat, Raksa sudah berbalik.

Tanpa berkata apa pun, Raden Raksa melangkah ke arah tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Ia meraih bendera Samudra Jaya yang terjatuh di tanah, benderanya robek dan kotor, namun masih menyimpan warna merah dan biru yang berani. Dengan gerakan penuh keyakinan, Raksa menancapkan bendera itu di dada seorang prajurit Parang Giri yang baru saja tumbang. Tanah berguncang ringan, dan bendera itu berdiri tegak di antara sisa-sisa pertempuran.

“Untuk Samudra Jaya!” serunya lantang, suaranya menggema hingga ke bukit sebelah. “Kemenangan untuk negeri, dan untuk mereka yang telah gugur!” Prajurit-prajurit yang tersisa bersorak, sebagian menangis lega, sebagian hanya menatap kosong karena kehilangan rekan mereka. Raden Arya menatap adiknya dari jauh. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya—antara kagum dan pilu. Ia tahu Raksa berani, ia tahu Raksa pantas disebut pahlawan. Namun di balik sorak kemenangan itu, Raden Arya sadar... ada kekalahan yang lebih besar di hatinya sendiri. Sebab cinta yang tak pernah terucap itu kini telah menemukan tempatnya—bukan di hatinya, melainkan di hati sang adik. Dan di antara sisa kabut pagi, Raden Arya hanya bisa memejamkan mata, mencoba menenangkan badai yang mengamuk di dalam dadanya sendiri.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!