Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22 : Gadis tidak tahu diri
Yi Chen menatap kakeknya yang terbaring lemah, tubuhnya bahkan nyaris tak mampu bergerak. Dengan perlahan ia kembali berlutut, suara dalamnya terdengar tenang, meski di ujung kalimatnya ada getar samar yang hanya bisa dirasakan orang peka.
“Zhao Yi Chen… menghadap Kakek… untuk terakhir kalinya.”
Nada itu membuat Lian Hua yang berdiri di belakangnya menahan napas. Kalimat itu terdengar dingin, hampir seperti sebuah vonis. Terakhir kali? Mengucapkannya seakan sedang melepas seseorang menuju liang lahat dan itu terdengar begitu kejam di telinganya.
Wei Ming tidak segera menjawab. Tatapannya justru beralih pada sosok Lian Hua yang masih berdiri tegak. Mata tua itu menyipit, dan suara parau bercampur nada ejekan keluar dari bibirnya.
“Masih seorang gadis… tapi tidak tahu tata krama?”
Lian Hua terkejut, refleks menegakkan bahu. Ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Bahkan sebelum sempat membela diri, Wei Ming menggeleng pelan, seakan jengah hanya dengan melihatnya.
“Gadis yang tidak tahu diri. Berlutut.”
Lian Hua menahan diri, namun akhirnya menuruti. Ia berlutut di lantai dingin, lututnya langsung protes oleh rasa sakit, sementara dalam hatinya ia mendengus. Di luar tirai ia dipaksa berlutut, dan kini di dalam pun sama saja. Dunia ini benar-benar haus akan kehormatan semu.
Ekspresinya tak bisa menyembunyikan kejengkelan. Bibirnya sedikit mengerucut, sorot matanya menusuk lantai di hadapannya.
Wei Ming memperhatikan dengan tajam.
“Wajahmu jelas tidak suka diperintah. Apa aku salah?”
Lian Hua buru-buru menunduk lebih dalam, suaranya ditahan selembut mungkin.
“Bukan begitu… aku mohon maaf, Yang mulia.”
Wei Ming tersenyum tipis, tapi bukan senyum ramah melainkan sindiran.
“Mulutmu berkata tidak, tapi hatimu berteriak lain.”
Seketika Lian Hua menahan napas. Ia menggumam lirih, hampir tak terdengar.
“Memangnya ada manusia yang hati dan mulutnya selalu sejalan?”
Wei Ming menyipitkan mata.
“Manusia sejati… pikiran dan hatinya seirama. Yang berbeda hanyalah mereka yang otaknya busuk… atau hatinya milik iblis.”
Ucapan itu membuat dada Lian Hua terasa sesak. Ia mendongak sedikit, menatap pria tua itu dengan sorot mata tak suka. Kalimatnya keluar pelan, seolah hanya bisikan yang menyelip di udara.
“Jadi meski setua ini… pendengaran Kakek masih tajam rupanya.”
Wei Ming berdeham, sorot matanya menajam seperti pisau.
“Cukup tajam untuk mendengar ketidaksopananmu.”
Lian Hua langsung menggigit bibir, menahan semua kata yang ingin meledak keluar.
Di sampingnya, Yi Chen menoleh, tatapan matanya dingin menusuk ke arahnya. Suaranya rendah, nyaris menjadi peringatan keras.
“Diam.”
Lian Hua memutarkan matanya. Ia menatap Wei Ming dengan jengkel, namun jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa perih, seolah tidak terima bahwa semua orang rela mengadakan acara ini hanya untuk melepaskan Wei Ming.
Dengan perlahan, ia mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah besi tipis menyerupai jarum, ujungnya dilapisi dengan dedaunan berwarna hijau kehitaman.
Dalam sekejap, Lian Hua mengayunkan tangannya, hendak menusukkan benda itu ke bahu Yi Chen. Namun gerakannya terlalu jelas bagi mata seorang pendekar sekuat Yi Chen. Dengan reflek, Yi Chen menahan pergelangan tangan Lian Hua.
“Lian Hua… apa yang kau lakukan?!” suara Yi Chen terdengar dingin, penuh kewaspadaan.
Namun bibir Lian Hua melengkung tipis, senyumnya terlihat getir. “Aku hanya ingin membuatmu menarik kembali kata-katamu yang menyedihkan itu.”
Mata Yi Chen menyipit, namun sebelum ia sempat menyingkirkan jarum itu, tangan kiri Lian Hua sudah bergerak lebih cepat. Ia menusukkan besi tipis itu ke sisi lengan Yi Chen.
Jarum itu menancap dalam. Seketika rasa panas menyebar dari titik tusukan, menjalar ke otot dan sarafnya. Tubuh Yi Chen menegang, lalu perlahan-lahan kehilangan kendali. Kaki dan tangannya terasa berat, sulit digerakkan.
“Ugh… kau… perempuan gila!” geram Yi Chen dengan suara rendah, wajahnya menegang menahan sakit. “Apa sebenarnya yang kau rencanakan?!”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂