"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
“Jangan menuduh kamu, Dek!”
“Aku nggak asal menuduh. Aku punya bukti.”
“Bukti apa?” Rendy menantang, tapi terlihat mulai panik.
“Bukti perselingkuhan kalian lah. Bukti apalagi?”
“Jangan mengada-ada kamu!”
Ajeng diam. Dia mengambil ponsel lamanya, lalu mengeluarkan sebuah bukti yang sama dengan apa yang dia berikan kepada pengacaranya tadi.
Bukti berupa chat dan beberapa rekaman suara dari orang yang Ajeng sendiri tak tahu siapa.
“Baca semua itu! Itu adalah chat dari salah satu temanmu yang aku nggak tahu. Kamu nggak akan bisa menghubungi dia lagi karena nomor dan akunnya sudah tidak aktif lagi.”
Dengan ragu dan sedikit gemetar, Rendy menerima ponsel istrinya.
“Awali dari DM tiga bulan lalu!” Ajeng membimbing Rendy, membuka yang dia maksud.
[Hai, kamu istrinya Rendy?] Fake account.
[Ya. Siapa?] Ajeng.
[Aku temennya Rendy sama Brina. Serius mereka nikah?] Fake account.
[Ya.] Ajeng.
[Kok kamu bolehin sih?] Fake account.
[Kenapa? Bukan urusanmu.] Ajeng
[Baiklah. Maaf, aku cuma tanya aja. Maaf sudah mengganggu.] fake account.
Tidak hanya sampai disana saja pesan melalui sosial media itu. Masih ada lagi di bawahnya, tapi sudah berganti tanggal dan bulan.
[Hai, masih inget aku?] Fake account.
Ajeng membalas tapi di hari berbeda.
[Ada apa lagi? Hubungi saja Rendy dan Brina sendiri kalau mau tahu tentang mereka] Ajeng.
[Kamu galak banget ya. Jangan-jangan, benar kata Rendy waktu itu.] Fake account.
[Jangan mengada-ada! Maumu apa?] Ajeng.
[Ternyata benar, kamu nggak menyenangkan.] Fake account.
[Tidak perlu bertele-tele! Cepat katakan apa maumu?] Ajeng.
[Hubungi aku di nomor ini 08955777581]
Selesai.
Ajeng tak membalas pesan itu lagi karena waktu itu dia berpikir jika itu adalah nomor iseng. Namun, setelah dua hari Ajeng tidak menghubungi, ternyata nomor itu justru menghubunginya lebih dulu dengan pesan sebuah rekaman suara.
“Gila lo, Ren. Pinter banget selingkuh dari Ajeng.” Suara seorang laki-laki.
“Gampang dia mah dibodohi. Polos dan kurang pengalaman. Cuma, gitu-gitu otaknya encer.” Itu suara Rendy.
“Tapi hebat lo, Ren. Setahun lo udah selingkuhin bini lo. Si Brina juga mau-maunya jadi selingkuhan.”
“Mereka kan CLBK, Din. Lo tahu sendiri lah, cinta sama mantan itu lebih menggebu daripada sama istri sendiri. Apalagi, Brina spek ani-ani bening. Gua tahu, kalau lo dikasih, lo juga mau kan?” Orang lain lagi berbicara.
“Lo juga, Ren. Ngaku lo! Lo suka sama Brina karena dia bening kan? Jadi, pas ketemu lagi, cinta lo juga balik lagi.” Imbuh suara yang sama.
“Ya gimana ya?” Ini suara Rendy. “Sebagai cowok, gue nggak muna lah kalau Brina itu bening. Cantik, modis, terawat, dan yang pasti, goyangannya asyik.”
“Gila lo, Ren! Udah sejauh itu, tapi istri lo nggak tahu?” suara ini yang paling aktif berbicara.
“Udah gue bilang, dia itu polos. Gue tinggal bilang ada urusan bisnis, juga dia percaya aja.” sahut Rendy jumawa.
“Padahal lo langi nge we ya sama Brina?” Ledek si paling aktif. “Emang seenak itu ya Brina dibandingkan bini lo?”
“Bini gue enak. Tapi, gue juga butuh sensasi baru. Dan dari Brina, gue dapet semuanya.”
“Dia pinter nye pong ya?” tanya kepo si julider.
“Banget. Sampai gue merem melek. Itunya juga bening, bro. Rajin perawatan dia.” Rendy sejujur itu.
“Emangnya bini lo enggak?” si provokator.
“Ajeng cantik. Cantik luar dalam. Cuma dia itu malu-malu. Kalau bercinta sama dia itu kurang greget. Masih kalah hot kalau dari Brina.”
“Makanya, bini lo suruh perawatan kayak Brina.”
“Dia udah cantik tanpa perawatan. Kata gue juga mending dia nggak usah perawatan biar nggak aneh-aneh. Nanti kalau dia banyak mau, gue pusing nurutin dua wanita. Biarkan Ajeng jadi istri Solehah aja.”
“Oh, jadi maksud lo, Ajeng surganya, Brina nerakanya, gitu? Dan kita sama-sama tahu, kalau yang berbau neraka itu memang enak.”
“Makanya, gue pertahanin dia sampai sekarang. Jujur aja ya, gue lebih betah sama Brina karena Ajeng itu kurang menyenangkan."
Gelak tawa mengakhiri rekaman video itu. Bersamaan dengan berakhirnya Ajeng mengemis kepada Rendy saat Rendy melakukan ketidakadilan.
Apalagi, setelah Ajeng mengingatkan sekali, tapi suaminya seolah menutup telinga dan menganggap dia tak berarti.
“Dek, aku bisa jelasin.”
Ajeng langsung menepis tangan Rendy yang hampir menyentuhnya.
“Meskipun aku nggak lihat siapa yang berbicara, tapi aku ingat betul suaramu, Mas.” Lirih Ajeng dengan geram. “Dua tahun pacaran dan tiga tahun menikah, cukup untuk membuatku tahu bagaimana suaramu.”
Suara Ajeng mulai bergetar, tapi dia belum menangis.
“Dek…”
“Ya, aku memang bodoh!” Potong Ajeng dengan cepat.
“Nggak, Dek. Aku nggak pernah bilang kamu bodoh.” Rendy panik mengklarifikasi.
“Bukan kamu yang bilang aku bodoh. Tapi, aku sendiri. Aku bodoh karena sudah mempertahankanmu sampai sekarang.”
“Dek, maafin, Mas…” Rendy menghiba.
“Aku pikir, memberimu kesempatan menikah lagi, karena kamu benar-benar ingin memperbaiki diri, Mas. Sebaik itu kamu di mataku. Aku masih diam karena aku mencintaimu dan berharap kamu berubah suatu saat nanti. Tapi, bukti yang entah siapa yang kasih ke aku dua bulan lalu, benar-benar membuka mataku.” suara Ajeng lirih cenderung lembut, namun terdengar menyayat hati.
“Dek…”
“Aku nggak butuh penjelasan apapun, Mas. Penjelasannya, sudah cukup dari perlakuanmu selama ini, dan pertengkaran kita hari ini. Aku anggap, kamu mempertahankan aku hanya untuk kamu manfaatkan.”
“Dek, itu nggak bener. Maafin aku, aku benar-benar khilaf, Dek.”
“Khilaf mu keterlaluan, Mas. Satu tahun kamu selingkuh itu aku nggak tahu kapan. Tapi yang jelas, keinginanmu menikahi Brina sampai rela melakukan apapun, sudah cukup membuktikan kalau kamu benar-benar menginginkan dia.”
“Dek….”
“Maaf, Mas. Kayaknya aku udah nggak bisa lagi lanjutin semua ini.”
“Sayang, tolong dengerin aku dulu.”
Karena sejak tadi Ajeng selalu mengelak, Rendy memaksa memegang lengan Ajeng.
Namun, meskipun begitu, Ajeng tak serta-merta menurut kepada Rendy. Dia memberontak hingga tangan Rendy terlepas, kemudian lelaki itu sontak berlutut di kakinya.
“Dek, ampun, Dek. Tolong, ampuni, Mas. Jangan ceraikan Mas.”
“Maaf, Mas. Aku nggak bisa.” Ajeng mundur agar Rendy tak menyentuh kakinya.
Tapi, Rendy pun tak menyerah.
“Aku tahu kamu pemaaf, Dek. Kamu wanita paling baik di dunia ini.”
“Kamu salah, Mas. Aku bukan perempuan baik." Ajeng menyergah dengan cepat. “Maaf, aku juga sudah punya laki-laki lain.”
Entah apa yang Ajeng pikirkan, tapi wanita itu tergerak untuk mengatakan yang sebenarnya.
“Maksud kamu apa? Kamu bohong kan, Dek?” Rendy terkejut, tapi dia tidak bertindak kasar. “Kamu bilang kayak gini karena kamu mau balas dendam kan?”
“Maaf, Mas. Aku bukan orang yang suka balas dendam. Tapi, apa yang aku katakan adalah kebenaran. Kamu bisa mencari wanita lain karena menurutmu aku kurang menyenangkan, aku juga bisa mencari laki-laki lain karena kamu mengacuhkanku. Bahkan, aku sudah berhubungan dengan laki-laki itu."
"Dek, kamu benar-benar nggak tahu apa yang kamu katakan."
"Aku tahu, Mas!" Bantah Ajeng. "Laknatlah aku kalau kamu mau. Aku memang istri yang berdosa sama suaminya."
Tanpa menunggu jawaban Rendy, Ajeng menarik diri, menjauh dari lelaki itu. Setelahnya, wanita itu menyambar ponsel, kemudian keluar dari kamar hingga membuat Rendy gelagapan.
“Dek! Kamu mau kemana?” Merasa kehilangan Ajeng, Rendy langsung mengejar wanita itu.
Tentu saja, Ajeng pun tak tinggal diam, berlari sekuat tenaga hingga menimbulkan perhatian semua orang di rumah mereka.
“Mbak Ajeng?” Monik yang paling cemas melihat Ajeng berlari menuruni tangga.
“Beresin barang berhargaku, Mon! Besok aku ambil lagi.”
Mengatakan itu tanpa berhenti, Ajeng kembali berlari, mengabaikan teriakan Rendy yang tiada henti, selaras dengan langkah lebar mengejarnya.
“Ajeng, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku nggak akan marah, Dek. Tapi, maafkan aku juga.” Teriak Rendy.
Tapi, apa Ajeng peduli? Tentu saja tidak, wanita itu terus berlari menuju gerbang.
Dia hampir tertangkap Rendy saat kesulitan membuka gerbang, tapi bisa lolos cepat saat dia meminta seseorang yang kebetulan lewat untuk membawanya pergi. Sepertinya, itu adalah tetangganya.
“Mas tolong cepat bawa saya pergi dari sini! Nanti saya kasih ongkos mahal.”
Pemotor itu sedikit panik, tapi tetap berjalan. “Tapi, Mbak, nanti saya—”
“Saya Ajeng.” Sela wanita itu. “Saya pemilik gudang ini. Jangan khawatir! Saya nggak akan libatkan Masnya.”
Meskipun ragu, lelaki tadi langsung menancap gas lebih kencang, beberapa detik sebelum Rendy hampir menangkap lengan Ajeng.
“Ajeng, berhenti! Kasih Mas kesempatan, Dek!” Rendy berteriak sekencang-kencangnya.
Tapi, apalah daya karena dia tak mungkin mengejar Ajeng hanya dengan bertelanjang kaki saja, sementara Ajeng membonceng motor.
“Arght, sial! Bajingan semuanya!” Lelaki itu seperti orang gila yang kehilangan arah.
Saking tak tahu harus bagaimana, Rendy sampai berlutut di tengah jalan di depan rumahnya. Bahkan, untuk memerintahkan orang suruhannya yang tadi menguntit Ajeng pun, Rendy tak sempat.
Sementara Ajeng, kini mulai menangis tak bisa menahan diri.
Dia tak peduli kalau orang di depannya itu mencemoohnya, bahkan berbuat yang tidak-tidak kepadanya yang sedang rapuh itu.
Nyatanya, berat sekali kalau Ajeng melepaskan semua keluh kesahnya.
Selama ini, dia selalu berlindung di balik jiwa kuatnya, hingga tidak terlihat seperti orang lemah.
Namun, saat semuanya dia keluarkan seperti ini, ternyata rasanya sesak sekali. Ajeng merasa kehilangan hampir separuh nyawanya yang sudah dia bangun selama tiga tahun dengan Rendy.
Sekuat apapun Ajeng berusaha tegar, tapi tak bisa dipungkiri kalau dia adalah wanita rapuh. Dia sedih, dia sakit dan dia merasa kehilangan segala-galanya saat ini.
“Kita mau kemana, Mbak? Sampai kapan kita muter-muter kayak gini?”
Barulah, Ajeng mengusap air matanya, mendengar pertanyaan ojek dadakannya itu.
“Ke tower Raflesia, Mas.”
Lelaki itu mengangguk, lalu melajukan motornya lagi lebih stabil, karena tujuannya jelas.
Setelah sampai di apartemen Biantara, tukang ojek itu berhenti di depan pos satpam karena ragu untuk masuk.
“Mas, ikut masuk ya.” Kata Ajeng sungkan. “Saya nggak bawa uang soalnya.”
“Apa boleh, Mbak?” Lelaki itu ragu.
Ajeng sendiri tak tahu jawabannya.
“Em, Mas nya aja yang ikut. Motornya titipin aja disini.”
Lelaki itu mengamati ponsel Ajeng.
“Kenapa Mbak nggak minta tolong aja orang disana. Mbak bawa hape kan? Ada nggak orang yang Mbak cari?”
Diingatkan begitu, Ajeng benar-benar seperti orang bodoh.
Ya, saking bingungnya, dia sampai tak sadar kalau sedang membawa ponsel, bahkan dua sekaligus. Tapi lucunya, wanita itu sama sekali tak membawa uang sepeser pun karena dompetnya tertinggal.
“Kalau begitu, saya telepon dulu, Mas.” Ajeng tersenyum canggung karena malu.
Mengesampingkan rasa malunya, Ajeng lantas menelepon Biantara dengan harapan yang sangat tinggi.
Tuuut…
“Ajeng?”
Ajeng menoleh cepat karena panggilan itu.
Baru saja sambungan teleponnya berdering sekali, tapi orang yang dia cari sudah ada di depannya.
“Kamu ngapain? Kok disini lagi?” Biantara yang baru turun dari mobil, mendekati Ajeng.
“Mas, tolong bayarin ojeknya. 200 ribu.” Suara Ajeng mulai sengau, tapi dia tidak menangis.
Beruntung, Biantara paham dan tak ingin bertanya lebih banyak. Dia hanya mengeluarkan uang seratus ribuan tiga lembar, lalu dia berikan kepada orang yang dimaksud Ajeng.
“Kebanyakan, Pak.” Kata orang itu.
“Nggak apa-apa. Ambil aja. Makasih udah bawa dia dengan selamat.”
“Wah, beruntung banget, Mbak. Dipoligami suaminya, tapi masih ada yang sayang. Sudah ya, Mbak, jangan nangis lagi. Makasih ya. Saya terima uangnya.”
Ajeng hanya tersenyum kaku, sementara Biantara mengangguk samar. Setelah lelaki itu pergi, Biantara menatap Ajeng yang juga tengah gugup menatapnya.
“Ma—maaf. Aku ngerepotin kamu lagi.” lirih Ajeng sambil menunduk.
Tanpa menjawab apapun, Biantara merentangkan kedua tangannya. Saat itulah, bibir Ajeng bergetar, lantas menubruk lelaki itu dengan cepat.
“Huhuhu… aku abis berantem sama Mas Rendy, Mas. Maaf, kayaknya rencana diam-diam kita gagal. Aku sudah bilang sama dia kalau mau cepat cerai sama dia.”
Biantara hanya menghembuskan nafas berat, dengan tangan mengelus punggung wanita itu memberi kekuatan.
"Menangislah, Baby. Pakai bahuku sesukamu."
Sementara tetangga yang tadi mengantarkan Gendhis, kembali ke rumahnya, dan kebetulan bertemu Rendy.
"Mas yang tadi anter istri saya kan? Mas antar dia kemana?" Rendy tak ingin basa-basi.
"Ke tower Raflesia, Mas. Istri Mas ketemu sama cowok ganteng. Nih, saya dikasih uang lebih."