Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reuni
Apartemen Indira terasa sunyi saat ia berdiri di depan cermin panjang kamar tidurnya. Jam dinding menunjukkan pukul 18:45, lima belas menit sebelum mobil jemputan datang.
Wanita di cermin itu terlihat... berbeda. Sangat berbeda dari Indira yang biasanya mengenakan blazer dan celana bahan untuk ke kantor, atau jeans dan kaos saat di rumah.
Gaun emerald green dari Rani pas sempurna di tubuhnya, model one shoulder yang elegan dengan potongan A-line yang mengalir indah sampai selutut, memperlihatkan lengkungan tubuh Indira tanpa terlalu revealing. Warna hijau zamrud itu membuat kulitnya terlihat lebih cerah, lebih bercahaya.
Heels nude setinggi sepuluh sentimeter membuat kaki jenjangnya terlihat lebih panjang, lebih anggun. Clutch hitam dengan rantai gold tergeletak di meja, siap dibawa. Dan anting-anting diamond studs berkilau lembut di telinganya, simpel tapi sangat elegan.
Rambutnya yang biasa diikat ketat untuk kerja kini tergerai bergelombang lembut di pundaknya, hasil dari satu jam di salon tadi sore. Makeup-nya natural tapi memukau, eyeshadow cokelat lembut, eyeliner tipis yang membuat matanya terlihat lebih tajam, blush on yang membuat pipinya merona alami, dan lipstik nude pink yang membuat bibirnya terlihat penuh dan menggoda.
Indira menatap pantulannya dengan perasaan aneh. Ia terlihat cantik. Sangat cantik. Bahkan ia sendiri hampir tidak mengenali dirinya.
Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tidak dikenal.
"Selamat malam, Nyonya Indira. Saya sudah tiba di lobby apartemen. Mercedes hitam dengan plat nomor B 1234 CD. Saya menunggu di depan."
Indira menarik napas dalam-dalam. Sudah waktunya. Tidak ada jalan mundur lagi.
Ia mengambil clutch-nya, menyemprotkan sedikit parfum lalu berjalan keluar dari kamar. Melewati ruang tamu yang rapi, keluar dari apartemen, masuk lift dengan cermin yang memantulkan sosoknya dari segala sudut.
Saat lift terbuka di lobby, beberapa penghuni apartemen yang kebetulan lewat menoleh, menatap dengan kagum pada wanita cantik yang berjalan dengan penuh percaya diri menuju pintu keluar.
Di depan gedung, sebuah Mercedes-Benz S-Class berwarna hitam mengkilap terparkir dengan sempurna. Seorang sopir berseragam lengkap, jas hitam, topi, sarung tangan putih berdiri di samping pintu belakang yang sudah terbuka, membungkuk hormat saat Indira mendekat.
"Selamat malam, Nyonya Indira," sapanya dengan sopan. "Silakan masuk."
Indira masuk dengan anggun, tidak mudah dengan gaun dan heels, tapi ia melakukannya dengan sempurna seperti seorang ratu. Interior mobil mewah menyambutnya, kulit hitam yang lembut, AC yang sejuk dengan aroma lavender samar, dan bahkan sebotol air mineral dingin dengan gelas kristal tersedia di armrest.
Sopir menutup pintu dengan lembut, lalu masuk ke kursi pengemudi. "Kita akan menuju Hotel, Nyonya. Perjalanan sekitar dua puluh menit dengan kondisi lalu lintas saat ini. Mohon dinikmati perjalanannya."
"Terima kasih," ucap Indira sambil bersandar di kursi yang sangat nyaman, lebih nyaman dari sofa di rumahnya.
Mobil melaju dengan mulus, melewati jalanan Jakarta yang mulai ramai dengan lalu lintas malam Sabtu. Indira menatap keluar jendela, melihat kota yang biasa ia lalui setiap hari tapi kali ini terasa berbeda. Mungkin karena ia sedang dalam perjalanan ke sesuatu yang tidak pasti. Ke pertemuan dengan masa lalu yang sudah lama ia tinggalkan.
Adrian.
Nama itu kembali bergema di kepalanya. Bagaimana ia harus bereaksi saat bertemu? Apa yang harus ia katakan? "Hai, aku yang dulu ninggalin kamu dengan kejam, apa kabar?"
Indira menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Ini hanya reuni. Hanya bertemu teman-teman lama. Tidak usah overthinking.
Dua puluh menit kemudian, tepat seperti prediksi sopir, mobil berhenti di depan Hotel. Grand entrance hotel mewah itu dipenuhi tamu yang datang untuk berbagai acara. Valet parking langsung mendekat saat Mercedes hitam itu berhenti.
Sopir turun, membukakan pintu untuk Indira dengan gerakan yang sangat profesional. Indira turun dengan anggun.
"Terima kasih," ucapnya pada sopir.
"Selamat menikmati acara, Nyonya," sopir membungkuk hormat. "Saya akan menunggu di sini untuk mengantar Nyonya pulang nanti. Silakan hubungi nomor saya kapanpun Nyonya sudah siap."
Indira mengangguk, treatment seperti ini membuatnya merasa seperti dirinya yang sebenarnya. CEO Zamora Company. Bukan istri yang dikhianati. Bukan wanita yang tertindas. Tapi wanita yang berkuasa dan dihormati.
Ia berjalan memasuki lobby hotel yang megah, mengikuti petunjuk arah menuju Grand Ballroom di lantai dua. Beberapa tamu hotel menoleh saat ia melewati mereka, tidak bisa tidak memperhatikan wanita cantik dalam gaun hijau zamrud yang berjalan dengan aura percaya diri yang kuat.
Di depan pintu Grand Ballroom, sudah ada meja registrasi dengan dua panitia yang ramah menyambut. Banner besar terpampang: REUNI AKBAR SMA NEGERI 5 JAKARTA - ANGKATAN 2007.
"Selamat malam," sapa salah satu panitia wanita yang wajahnya familiar tapi Indira tidak ingat namanya. "Nama?"
"Indira Zamora."
"Oh, Indira!" wanita itu langsung ceria. "Rani sudah bilang kamu akan datang! Ini name tag-mu. Dan ini goodie bag dari panitia."
Indira menerima name tag dengan namanya tercetak di kartu putih elegan dan goodie bag berisi entah apa. Ia menempelkan name tag di clutch-nya, tidak mau merusak gaun.
"Rani sudah di dalam," panitia itu menunjuk pintu ballroom. "Meja nomor lima. Selamat menikmati acaranya!"
Indira tersenyum dan masuk. Ballroom yang besar itu sudah ramai puluhan orang berpakaian semi-formal dan cocktail attire, bercakap-cakap dengan riuh, tertawa, berpelukan. Dekorasi elegan dengan tema gold dan putih, meja-meja bundar dengan taplak putih dan centerpiece bunga, stage dengan backdrop foto-foto masa SMA mereka dulu, dan buffet yang panjang dengan makanan yang terlihat lezat.
"DIRA!" teriakan keras membuat Indira menoleh.
Rani berlari kecil atau lebih tepatnya berjalan cepat dengan heels menghampirinya. Sahabatnya itu mengenakan gaun merah maroon yang stunning dengan model mermaid yang memeluk tubuhnya sempurna.
"ASTAGA!" Rani berhenti di depan Indira, menatapnya dari atas sampai bawah dengan mulut terbuka. "DIRA! KAMU... KAMU LUAR BIASA CANTIK!"
Indira tersenyum tulus. "Terima kasih. Semua karena pilihanmu."
"Bukan, bukan," Rani menggeleng dengan dramatis. "Gaun dan aksesoris itu hanya pelengkap. Yang bikin cantik adalah kamu-nya. Dira, serius, kamu terlihat... glowing. Seperti ada cahaya dari dalam. Bahkan lebih cantik dari biasanya."
"Kamu berlebihan..."
"Aku serius!" Rani meraih tangan Indira. "Come on, semua orang harus lihat ini. Kamu akan jadi ratu malam ini."
Mereka berjalan masuk lebih dalam. Dan benar saja, kepala-kepala mulai menoleh. Bisikan-bisikan mulai terdengar.
"Itu Indira Zamora?"
"Astaga, dia cantik sekali."
"Aku hampir tidak mengenali dia."
Beberapa teman seangkatan menghampiri mereka, wajah-wajah yang familiar meski beberapa sudah berubah karena waktu.
"Indira! Lama tidak ketemu!" sapa seorang wanita dengan ramah, Dina, kalau Indira tidak salah ingat. "Kamu kerja dimana sekarang?"
"Oh, aku kerja di perusahaan properti," jawab Indira dengan santai versi yang lebih sederhana dari kebenaran. "Sebagai karyawan biasa. Tidak terlalu spesial."
"Wah, properti! Pasti seru," Dina tidak menggali lebih dalam. "Kamu sudah menikah?"
"Sudah," jawab Indira secara teknis masih benar. "Kamu?"
"Belum. Masih fokus karir," Dina tertawa. "Anyway, kamu terlihat luar biasa malam ini. Glowing banget!"
Percakapan berlanjut dengan beberapa teman lainnya, pertanyaan tentang pekerjaan, kehidupan, rencana masa depan. Indira menjawab dengan diplomatis, tidak memberikan terlalu banyak detail, tetap ramah tapi menjaga privasi.
Mereka akhirnya sampai di meja nomor lima, meja yang sudah ditempati beberapa teman dekat mereka dulu. Sapaan hangat, pelukan, tawa, foto-foto. Suasana semakin ramai, semakin meriah.
Indira duduk di kursi yang sudah ditandai namanya, meletakkan clutch di atas meja. Rani duduk di sampingnya, masih tidak bisa berhenti menatap sahabatnya dengan kagum.
"Aku serius, Dira," bisik Rani. "Kamu bisa bikin semua pria di sini jatuh hati malam ini."
"Aku tidak tertarik dengan semua pria di sini," balas Indira sambil mengambil gelas wine dari waiter yang lewat.
"Bahkan Adrian?" Rani menyeringai.
Sebelum Indira bisa menjawab. Suara dalam, suara yang sangat familiar namun sudah lama tidak ia dengar, terdengar dari belakangnya.
"Indira?"
Jantung Indira berhenti berdetak sejenak. Ia menoleh perlahan, sangat perlahan dan matanya bertemu dengan sepasang mata cokelat gelap yang pernah ia cintai.
Adrian Mahendra.
Ia berdiri di sana, tinggi, tegap, dengan jas hitam yang pas sempurna di tubuh atletisnya, kemeja putih tanpa dasi untuk kesan semi-formal, rambut hitam yang ditata rapi ke belakang dengan beberapa helai jatuh sedikit ke dahi. Wajahnya... masih sama tapi lebih matang, lebih berwibawa. Rahang yang tegas, hidung mancung, bibir yang dulu sering tersenyum padanya.
Dan saat ini, bibir itu tersenyum. Tersenyum hangat. Tersenyum dengan cara yang membuat sepuluh tahun terasa seperti kemarin.
"Adrian," Indira berdiri dengan anggun, mencoba menyembunyikan degup jantungnya yang tiba-tiba liar. "Hai."
"Hai," Adrian melangkah mendekat tapi tidak terlalu dekat, menjaga jarak yang sopan. "Lama tidak bertemu. Kamu... terlihat luar biasa."
"Terima kasih," Indira tersenyum, senyum yang tulus tapi juga sedikit gugup. "Kamu juga. Terlihat baik."
"Tidak sebaik kamu," Adrian tertawa ringan, yang membuat suasana tidak terlalu tegang. "Aku dengar dari Rani kamu akan datang. Aku senang kamu bisa hadir."
Di samping Adrian, seorang pria muda mengenakan jas abu-abu berdiri dengan mata terbelalak. Ia menatap Adrian dengan ekspresi shock yang jelas, seolah melihat hantu atau keajaiban.
Karena Adrian. Adrian yang terkenal dingin, datar, dan sangat profesional dalam segala situasi sekarang tersenyum lebar, tertawa ringan, dan berbicara dengan nada yang... hangat. Sangat hangat. Sangat berbeda dari Adrian yang biasa mereka kenal.
"Bos," pria muda itu berbisik pada Adrian, "Anda... Anda tersenyum?"
Adrian melirik asistennya, Raka. Asisten pribadinya yang sudah bekerja dengannya selama tiga tahun dengan tatapan yang sedikit kesal. "Tentu saja aku tersenyum. Ada masalah?"
"Ti-tidak, Bos," Raka cepat-cepat menggeleng. "Hanya... ini pertama kalinya saya lihat Anda tersenyum seperti itu. Dan... tertawa. Dan terlihat sangat... bahagia?"
Adrian mengabaikan asistennya, kembali fokus pada Indira. "Maaf, ini Raka. Asisten pribadiku. Dia agak... lebay."
"Tidak apa-apa," Indira tersenyum pada Raka yang masih menatap dengan shock.
"Kalian duduk dimana?" tanya Adrian.
"Meja lima," jawab Rani yang sudah menyeringai dari tadi, menikmati pemandangan reunion ini.
"Oh, aku di meja enam. Tepat di sebelah," Adrian menunjuk meja yang memang persis di samping meja mereka. "Sepertinya panitia tahu cara mengatur tempat duduk dengan strategis."
Rani tersenyum innocent. "Mungkin."
Adrian tertawa lagi, suara tawa yang membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh dengan bingung. Karena Adrian Mahendra yang mereka kenal arsitek sukses yang terkenal serius dan jarang tersenyum, sekarang tertawa lepas seperti anak muda yang jatuh cinta.
"Aku harus kembali ke mejaku," ucap Adrian sambil menatap Indira, tatapan yang lama, yang penuh makna. "Tapi... boleh aku mampir lagi nanti? Mungkin kita bisa ngobrol? Catch up?"
Indira merasakan pipinya memanas. "Boleh. Tentu saja."
"Bagus," Adrian tersenyum lagi, senyum yang membuat jantung Indira melompat. "Sampai nanti, Indira."
"Sampai nanti, Adrian."
Adrian berjalan kembali ke mejanya diikuti oleh Raka yang masih menatapnya dengan shock dan bingung. Begitu mereka duduk, Raka langsung berbisik keras.
"Bos! Apa yang baru saja terjadi? Siapa wanita itu? Kenapa Bos jadi... seperti orang lain?"
Adrian menatap asistennya dengan tatapan datar, kembali ke mode profesional. "Raka, itu bukan urusanmu."
"Tapi Bos..."
"Itu bukan urusanmu," ulang Adrian dengan nada final. Tapi matanya tidak bisa berhenti melirik ke meja sebelah, ke wanita dalam gaun hijau zamrud yang sedang dikerumuni teman-temannya, yang tersenyum dan tertawa, yang terlihat bahagia dan bebas.
Wanita yang hampir sepuluh tahun lalu ia cintai dengan sepenuh hati.
Wanita yang ia tunggu selama hampir sepuluh tahun.
Dan wanita yang sekarang akhirnya ada di ruangan yang sama dengannya lagi.