Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Tak Terucapkan
Larast terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Selang infus setia meneteskan cairan elektrolit, menggantikan cairan tubuhnya yang sempat kekeringan. Monitor di sisi ranjang berkedip tenang, menampilkan irama jantung dan kadar oksigen yang berangsur membaik. Wajahnya masih pucat, namun setiap tarikan nafasnya kini lebih teratur, tak lagi menyakitkan.
Agatha menggenggam erat tangan Larast, menyalurkan kehangatan dan kekuatan. “Cepat pulih, ya? Ibumu pasti sudah menunggu mu," ucap Agatha lembut, matanya tak lepas dari wajah Larast.
Senyum tipis mengembang di bibir Larast. Perlahan, ia menarik tangannya dari genggaman Agatha. “Kamu pulang saja. Besok kan sekolah,” pintanya pelan. Ia tak ingin idolanya ini terus-menerus merasa khawatir.
Agatha tersentak, salah tingkah. Ia segera melepaskan genggamannya dan bangkit berdiri. “I-iya sih, tapi... aku juga nggak bisa tidur kalau kamu begini. Em... aku temani di sini saja, ya?” tawarnya gugup, lalu buru-buru duduk kembali di kursi.
Larast terdiam. Jemarinya bergerak gelisah di balik selimut, menyembunyikan rasa canggung yang tiba-tiba menyeruak. Kondisinya sangat buruk, wajahnya lusuh, tubuhnya lemas, dan kini... siswa yang selama ini menjadi idolanya berada di dekatnya, menemaninya dalam waktu yang lama. Larast menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menenangkan jantungnya yang berdebar kencang saat Agatha menatapnya dengan mata berbinar, seolah hanya dirinya yang ada di ruangan itu.
Kriet!
Suara gorden yang ditarik membuat Agatha menoleh. Ayahnya berdiri tegak di ambang pintu, sorot matanya melembut namun tetap tegas. Agatha bergegas bangkit dari duduknya.
“Aku mau menemani Larast di sini, Yah. Tahu sendiri kan, kondisi Ibunya juga masih dalam pemulihan. Kakaknya... ah, jangan dibahas, tidak bisa diandalkan,” ucap Agatha cepat-cepat, seolah membaca pikiran ayahnya yang hendak menyuruhnya pulang.
“Pulang dan ganti pakaian. Jangan menambah beban pikiran,” jawab ayahnya tegas, namun tersirat nada khawatir.
“Terus…” Kalimat itu menggantung di udara, namun kemudian berubah menjadi senyum lega saat sosok yang dinantinya muncul dari balik tubuh ayahnya. Ibunya!
“Selamat malam, Larast,” sapa Ibunya Agatha dengan senyum ramah.
“Tante…” Larast berusaha bangun, hendak menyapa ibunda Agatha dengan sopan.
“Sudah, tiduran saja. Jangan bangun dulu,” cegah ibunda Agatha lembut, mendekat dan membetulkan bantal Larast agar lebih nyaman.
Puk!
Sebuah pukulan ringan mendarat di bahu Agatha. “Cepat pulang, mandi, dan ganti baju. Ibu akan menemani Larast malam ini,” perintah ayahnya.
Agatha menurut, bangkit dari duduknya dan mempersilahkan ibunya untuk duduk.
“Ibu saja yang pulang, aku di sini saja,” Agatha bersikeras, enggan meninggalkan Larast.
“Anak ini…” Ibunya memberi peringatan dengan tatapan tajam, lalu mencubit gemas telinga Agatha. “Kalau Larast butuh ke kamar mandi, kamu mau menemaninya juga?” godanya.
Agatha hanya bisa menyengir lebar. Ia lupa, ada hal-hal yang membedakannya dengan Larast.
“Ayo, pulang!” ajak ayahnya, menarik-narik ujung kaos Agatha.
Agatha mengangguk patuh, lalu memeluk ibunya erat. Ia mengusap punggung ibunya lembut, menyampaikan rasa terima kasih karena bersedia menjaga Larast tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun.
Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekat ke arah Larast.
Cup
Agatha mengecup kening Larast dengan lembut, sebuah kecupan ringan yang membuat kedua orang tuanya terkejut bukan main. Spontan, mereka mencubit lengan Agatha bersamaan.
“Main kecap-kecup anak gadis orang!” ibunya memelintir cubitannya, membuat Agatha meringis kesakitan.
“A-aduh, Bu, sakit…”
“Bisa-bisanya kamu, ya!” giliran ayahnya mencubit telinga kiri Agatha, lalu menariknya keluar ruangan.
Agatha menepuk-nepuk bibirnya berulang kali, baru menyadari bahwa tindakannya tadi adalah sebuah kesalahan besar. Kebiasaannya di masa depan, memberikan kecupan selamat tinggal pada Rena dan putri mereka, terbawa begitu saja. Kini, ia merasa malu sekaligus salah tingkah.
Di lobi rumah sakit, Agatha masih mendapati Reza duduk gelisah di salah satu deretan kursi.
“Reza, ayo pulang!” ajak ayah Agatha, membuyarkan lamunan Reza.
Reza mendongak, lalu bangkit dengan cepat. Ia berjalan mendekat, mengikuti langkah kaki ayah Agatha menuju mobil.
“Motornya biar nanti Om urus. Kamu Om antar pulang sampai rumah,” ucap ayah Agatha sambil menepuk bahu Reza, memberikan rasa nyaman seperti seorang ayah kepada anaknya.
Reza mengangguk dan tersenyum tulus. Sementara Agatha melirik sinis, bibirnya mengerucut kesal. Ia memang masih marah pada Reza, meskipun hari ini Reza juga berjasa dalam pencarian Larast.
Keduanya duduk di kursi belakang mobil. Agatha dan Reza sesekali bertukar pandang, namun hanya sekilas, lalu buru-buru memalingkan wajah.
“Kalian bertengkar?” Ayah Agatha mengamati gerak-gerik putranya dan Reza dari kaca spion, mencoba mencairkan suasana.
Hah….
Agatha menghela nafas panjang. “Tidak,” jawab Agatha ketus, nada bicaranya jelas berbeda dengan ekspresi kesalnya.
“Ini Om, Aries sepertinya salah paham,” Reza memberanikan diri mengutarakan apa yang menjadi beban di dadanya. Sejak dulu, keluarga Agatha sudah seperti bagian dari hidupnya.
Ayah Agatha yang selalu peduli dan sikap ramah ibunya membuat rumah sahabatnya itu terasa seperti rumah kedua baginya. Di rumahnya sendiri, Reza seringkali merasa hampa dan kesepian karena kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja dan jarang memberikan perhatian.
“Salah paham apanya?!” Agatha menoleh dengan tatapan tajam.
“Iya, kamu tuh salah paham. Bukan aku yang menyewa preman,” sangkal Reza.
“Preman?” Ayah Agatha mengerutkan kening, menoleh ke belakang.
“Terus siapa? Kamu nggak terima kan? Karena nggak lolos seleksi, makanya balas dendam,” tuduh Agatha dengan nada sinis.
“Aku memang sebel, tapi bukan berarti aku jadi pecundang!” Reza menatap Agatha dengan sorot mata terluka.
Mobil berhenti di tepi jalan. Reza dan Agatha menatap keluar jendela, bingung.
“Sudah, keluar. Kita musyawarah di luar,” ucap ayah Agatha, membuka pintu mobil dan keluar.
Di taman kota yang sepi, ketiganya berjalan menuju bangku taman.
Ayah Agatha memberikan isyarat dengan telunjuknya, menyuruh Reza dan Agatha duduk. Ia berdiri di tengah, siap menjadi penengah.
“Jelaskan, dari kamu dulu, Za!” Pak Haris menunjuk ke arah Reza.
Reza menghela nafas panjang sebelum memulai penjelasannya. “Agatha tiba-tiba datang ke rumah, menonjok saya, Om. Dia bilang saya menyewa preman untuk menghajar nya dan membuat Leo harus menjalani operasi kaki akibat perkelahian itu,” jelas Reza dengan nada frustasi.
“Em…” Pak Haris mengangguk-angguk. “Sekarang giliran kamu, Agatha! Apa kamu punya bukti kalau Reza yang menyuruh preman itu?”
Agatha menggelengkan kepala. “Tapi, kalau bukan si songong ini, siapa lagi? Aku curiga Reza melakukan itu setelah aku tidak memilihnya ikut turnamen,” sanggah Agatha, tetap bersikeras dengan keyakinannya.
“Tapi, bukan aku!” potong Reza, berusaha membela diri.
Agatha melotot tajam dan menyunggingkan sudut bibirnya sinis, jelas tidak percaya dengan ucapan Reza. Entah apa yang membuat Agatha begitu sulit mempercayai Reza, meskipun tanpa bukti yang jelas.
Mungkin, rasa kesal atas perselingkuhan Reza dengan Rena di masa depan masih membekas di hatinya. Atau mungkin, ia hanya ingin menyalahkan Reza dalam segala hal dan menolak mendengarkan alasan apa pun.
“Aku nggak percaya!” ucap Agatha dengan nada penuh tekanan, matanya menantang Reza.
“Terserah kamu!” jawab Reza, sorot matanya memancarkan kekecewaan.
“Diaaaaam!” Pak Haris melerai mereka dengan tegas.
Bersambung.
Nah, siapa nih yang menuduh Reza dari awal tanpa bukti?