Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Suara langkah Miko menjauh perlahan, bergema di lorong kapal yang sempit. Pintu dapur kembali tertutup, menyisakan hanya suara mesin kapal dan degup jantung Rania yang tak beraturan.
Di meja kayu dekat wastafel, tergeletak sebuah kartu nama elegan. Warna putih bersih dengan tulisan rapi, sederhana, namun berwibawa. Nama lengkap Miko tercetak jelas, disertai nomor telepon pribadi.
Rania berdiri terpaku. Tangannya meraih kartu itu. “Terima kasih Miko, akhirnya aku bisa menghirup udara dengan bebas di kota yang sama dengan Putraku setelah ini.” bisiknya, lirih.
Rania duduk di bangku kecil, memeluk tubuhnya sendiri. Ingatannya berputar, wajah Alan begitu ia rindukan, sosok Chesna yang ia rawat dengan penuh kasih, dan luka lama yang Miko tinggalkan bertahun-tahun lalu.
Ia menggenggam kartu nama itu erat-erat, lalu menyelipkannya ke dalam kantong bajunya. Ada keinginan kuat untuk membuangnya ke laut, melupakan semuanya. Namun ada pula suara kecil di hatinya, berbisik bahwa mungkin inilah satu-satunya jalan untuk memahami masa lalu.
Di luar, suara klakson kapal memberi tanda akan segera berlayar kembali. Rania menghela napas panjang. Ia berdiri, kembali ke tumpukan piring yang menunggu, seakan mencoba menenggelamkan hatinya lagi dalam rutinitas.
___
Malam ini, Mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan gerbang besar sebuah rumah megah. Lampu-lampu kristal tampak berkilau dari balik jendela kaca tinggi, suara musik pesta mengalun riang dari dalam. Shenia turun lebih dulu, gaun sederhana namun anggun melekat pada tubuhnya.
“Yuk, Ches,” ajaknya sambil tersenyum, menoleh pada sahabatnya yang masih ragu di kursi penumpang.
Chesna menghela napas. Ia melirik gaunnya yang jauh dari kesan mewah, pemberian Shenia. Meskipun indah, tetap saja ada perasaan tak pantas, seperti dirinya hanyalah tamu asing,
“Shen, apa aku… beneran masuk ke sana?” tanya Chesna, jemarinya memainkan ujung tas kecil yang dipinjamkan Shenia.
Shenia meraih tangannya. “Hei, kamu diundang karena aku sahabatmu. Bukan karena status, bukan karena uang. Jadi jangan mikir aneh-aneh. Lagian, kamu cantik banget malam ini. Percaya deh, ga perlu minder, ya…”
Chesna memaksakan senyum kecil, meski hatinya masih berdebar kencang. Dengan langkah perlahan, ia akhirnya mengikuti Shenia melewati halaman luas.
Chesna menarik napas panjang saat menatap pintu masuk besar yang dihiasi lampu-lampu kristal. Musik lembut mengalun, dan para tamu sudah mulai berdatangan dengan dandanan glamor. Tangannya sempat menggenggam ujung gaun yang ia kenakan,
“Shen, aku yakin banget nih… salah kostum. Lihat tuh, kayaknya semua tamu cewek pada keluar dari majalah mode. Sedangkan aku? Ya ampun, aku lebih mirip figuran yang salah masuk set film,” bisik Chesna dengan wajah cemas.
Shenia, yang justru terlihat sangat santai, meliriknya dari atas ke bawah lalu menepuk bahu sahabatnya itu. “Hei, kamu serius? Justru kamu tuh kayak hidden gem. Orang-orang di sini terlalu kelihatan ‘usaha banget’, sementara kamu… natural beauty, gitu.”
Chesna mengerucutkan bibir. “Natural beauty apanya, coba? Bedak aku aja tipis, nyaris luntur kena keringet.”
Shenia langsung terkekeh. “Justru itu seni! Kamu tuh kayak minuman soda dingin di tengah ruangan penuh kue tart berlapis krim. Menyegarkan banget.”
Chesna spontan menoleh, bingung. “Soda dingin?”
“Ya iyalah! Ringan, segar, dan bikin orang ketagihan. Kalau mereka semua kayak kue tart, berlebihan dan bikin enek kalau kebanyakan.” Shenia mengedip nakal sambil menahan tawa.
Chesna akhirnya ikut tertawa kecil, meski mencoba menutup mulutnya. “Kamu tuh ya, suka banget ngomong asal, tapi entah kenapa aku jadi tenang.”
“Nah, itu artinya strategi sukses. Kamu nggak boleh tegang. Ingat, kita bukan datang buat dibanding-bandingin diri. Kita datang buat makan enak, lihat dekorasi mewah, dan mungkin… kalau beruntung, pulang bawa goodie bag.”
Chesna mendengus geli. “Goodie bag? Serius banget kamu.”
“Ya iyalah! Hei, aku selalu punya target jelas kalau datang ke pesta. Kamu juga harus gitu, biar nggak canggung. Jadi, target kamu malam ini apa?” tanya Shenia dengan nada penuh tantangan.
Chesna pura-pura berpikir, “Targetku… jangan bikin malu diri sendiri.”
Shenia langsung ngakak, suaranya nyaring sampai membuat beberapa tamu menoleh. “Astaga, kamu lucu banget, Ches. Oke, deal. Targetku, pastikan kamu nggak salah langkah. Kalau perlu, aku bakal jadi bodyguard kamu sepanjang malam.”
Chesna tertawa, rasa tegangnya mulai luruh. “Makasih ya, Shen. Aku bener-bener butuh kamu di sini.”
Shenia tersenyum hangat. “Ya iyalah, sahabat macam apa kalau nggak bisa bikin kamu rileks? Udah, ayo kita masuk sebelum aku keburu lapar. Jangan sampai aku nyolong roti dari meja tamu, bisa berabe.”
Chesna akhirnya ikut tergelak, melangkah masuk dengan langkah yang masih ragu, tapi jauh lebih ringan dari sebelumnya.
Ruangan pesta makin ramai, cahaya lampu gantung berkilauan indah, denting gelas bercampur tawa para tamu. Shenia, yang selalu penuh percaya diri, menarik lengan Chesna ketika melihat sepasang orang dewasa elegan melambaikan tangan dari kejauhan.
“Itu Papa Mama aku. Ayo, aku kenalin kamu,” ucap Shenia penuh semangat.
Chesna langsung panik. “Hah? Sekarang? Shen… aku… aku belum siap.” Ia merapikan gaun krem yang ia kenakan.
Shenia hanya tersenyum, menepuk tangan sahabatnya. “Santai, kamu kan tamu kehormatan aku. Mereka pasti seneng kok kenalan sama kamu.”
Namun, langkah Chesna terasa berat. Begitu mereka tiba di hadapan pasangan itu, Shenia langsung memeluk ibunya. “Mama, Papa, kenalin deh ini Chesna. Sahabat aku yang selalu nemenin sekolah.”
Ayah Shenia tersenyum ramah sambil menjabat tangan Chesna. “Oh, jadi ini yang sering Shenia ceritakan, ya? Senang sekali bisa bertemu denganmu.”
Chesna buru-buru menjabat tangan itu dengan sopan, menundukkan kepala. “S-saya juga senang, Pak…”
Giliran ibunda Shenia, tatapannya hangat tapi penuh pengamatan. Beliau mengamati Chesna dari atas ke bawah, sorot mata lembut namun membuat Chesna merasa telanjang dibuatnya. Gaun yang ia kenakan, tas mungil yang juga milik Shenia, hingga sepatu pinjaman.
Rona merah merayapi pipi Chesna. Ia buru-buru meremas tangan di depannya, berusaha menahan rasa minder. “Halo, Tante.” sapanya, sopan.
Shenia dengan cepat menyela, menggandeng lengan Chesna. “Mama, Papa, jangan bikin Chesna gugup. Dia itu luar biasa, loh. Kalau nggak ada dia, aku mungkin udah nyerah di banyak hal.”
Kedua orangtua Shenia saling pandang, lalu tersenyum tipis. Ayah Shenia mengangguk. “Baiklah, kami senang Shenia punya teman yang begitu setia. Nikmati pestanya, ya, Nak.”
Chesna hanya bisa mengangguk kaku. Saat ia dan Shenia kembali melangkah pergi, ia berbisik dengan wajah menunduk.
“Shen, aku merasa… nggak pantas banget ada di sini. Outfit aku semua dari kamu. Mereka pasti bisa lihat itu.”
Shenia langsung menghentikan langkah, menatapnya serius lalu tersenyum lebar. “Hei, jangan mikirin itu. Kamu hadir bukan karena apa yang kamu pakai, tapi karena siapa diri kamu buat aku. Oke? Jadi, angkat dagu kamu, biar semua orang tahu kalau sahabat aku ini luar biasa.”
___
Bersambung…