Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Membiarkan seekor burung terbang bebas saat pemiliknya tidak ada, itu salah satu hal terbodoh yang pernah orang lakukan. Dan tentu, bukan Marvel orangnya.
Ia sudah memperingatkan Maura agar tidak bermain-main, tersenyum pada pria lain, berinteraksi dengan pria lain. Namun, apa yang wanita itu lakukan?
Marvel menatap tajam jari-jari Maura yang dengan bebas berselancar di atas ponsel. Tadi siang jari itu digunakan untuk berinteraksi dengan pria lain—memegang lengannya, bersalaman, menepuk pundaknya, melambaikan tangan, dan mungkin masih banyak hal-hal kecil yang tidak bisa ia lihat.
Namun, wanita itu masih bisa bersikap santai seolah tidak terjadi apa-apa.
Setelah Marvel kembali ke kantor setelah makan siang tadi, Maura belum kembali. Ia sengaja membiarkan karena wajah wanita itu tampak bahagia, bahkan setelah ia menyuruhnya banyak hal. Sampai di apartemen, kebahagiaan di wajah Maura tidak sedikit pun luntur, seolah tidak melihat kemuraman yang tercetak jelas di wajah Marvel.
“Selamat datang di neraka.” Marvel menggenggam erat tisu basah yang sebelumnya ia ambil di kamar. Sebelah sudut bibirnya terangkat, terlihat tenang, tetapi sorot matanya mematikan.
Ia berjalan perlahan mendekati Maura yang duduk di sofa. Duduk di samping kirinya. Maura hanya melirik sekilas, lalu kembali pada ponselnya.
“Haruskah saya menghancurkan ponsel itu untuk meminjam tanganmu?” Marvel berkata dengan nada lembut, bibirnya tersungging tipis.
Menyadari ancaman dengan nada lembut itu lebih mematikan, Maura langsung meletakkan ponselnya di sisi kosong sampingnya, lalu mengulurkan tangan kirinya ke arah Marvel. Menatapnya dengan kerut bingung.
Marvel mengeluarkan selembar tisu basah, lalu mengusapkan ke seluruh permukaan tangan Maura hingga ke sela-sela jari.
“Kenapa? Tadi aku sudah mandi.”
“Tangan kananmu.” Marvel tidak menghiraukannya. Ia membersihkan tangan yang dimatanya masih sangat kotor itu dengan teliti. “Saya tidak mau milikku menyentuh kotoran hidup yang tidak seharusnya ada. Lain kali saya tidak akan berkompromi untuk membiarkannya tetap hidup,” ucapnya ambigu.
Kening Maura semakin mengerut dalam. “Apa sih maksudnya? Kotoran hidup apa?” Ia meringis merasakan gosokan di tangannya semakin menekan kuat. “Hentikan ini. Kamu menyakitiku!”
Gerakan tangan Marvel berhenti, menatapnya, dan menjawab dengan nada datar, “Sudah sering saya katakan untuk tidak berinteraksi dengan pria lain, dan akhir-akhir ini asisten pribadiku yang lugu, polos dan penurut ini gemar membangkang. Kamu tahu konsekuensinya, tapi kenapa terus melakukan kesalahan? Apa yang sebenarnya kamu inginkan, hem?”
Maura tertegun selama beberapa saat. Jadi, kotoran hidup itu sebutan untuk manusia? Pria ini benar-benar gila.
Sekarang ia tahu kenapa Marvel hanya berbicara seperlunya dan tidak menyentuhnya sedikit pun setelah makan siang. Ternyata dia marah, menganggapnya kotor.
Maura mendadak gelisah, curiga Marvel tahu ia sengaja menebar senyum ke seluruh pria yang ada di kantor.
“Kesalahan apa? Aku tidak mengerti. Soal Rio tadi aku meminta maaf, dan tidak akan mengulanginya lagi.”
“Hanya Rio?” Sebelah alis Marvel terangkat.
Maura menyerah. Ia mendesah frustasi. “Aku sengaja tersenyum pada semua orang karena kesal. Sekarang aku minta maaf untuk itu. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya kesal saja. Maafkan aku," ucapnya cepat.
Marvel diam saja. Maura terlalu jujur, dan tidak memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Namun, bukan itu yang sekarang ada di kepalanya. “Kenapa dia tidak bisa jujur kalau bertemu Dave dan berinteraksi lebih dari seharusnya, bahkan berani tertawa dan melambaikan tangan,” batinnya kesal.
“Aku minta maaf.” Maura merengek seperti anak kecil.
“Ke mana kamu pergi saat saya pergi makan siang?” tanya Marvel dengan nada datar, sengaja memancing kejujuran Maura seperti yang dia lakukan tadi.
“Ma-makan siang di restoran depan, makan nasi padang.” Ada jeda cukup lama sebelum Maura menjawab, membuat sebelah sudut bibir Marvel terangkat.
“Saya belum bertanya kamu makan apa. Sekarang saya ulangi, ke mana kamu pergi saat saya pergi makan siang?” ulangnya dengan menekan setiap kosa kata.
“Restoran depan kantor,” jawab Maura pelan dengan kepala menunduk, tatapan mata pria itu membuat jantungnya berdetak menggila. Ia yakin bisa langsung pingsan kalau tidak cepat menghindar.
“Bagus. Dengan siapa kamu makan siang?”
Pertanyaan itu mengalun lembut di telinga Maura. Namun, berhasil membuatnya semakin menciut. Tenggorokannya mendadak kering hingga ia harus menelan ludah beberapa kali.
“Saya tanya sekali lagi, tolong pikiran jawabannya dengan baik dan jangan membuatku marah, oke.” Marvel tersenyum. Ia mengangkat tangannya ke dagu Maura, memaksa untuk menatapnya. “Dengan siapa kamu makan siang?” tanyanya lagi.
Lidah Maura kelu. Tahu Marvel sengaja menekannya untuk mendapatkan jawaban yang ia inginkan. “Maafkan aku.” Akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Marvel tersenyum lebar, kemudian terkekeh singkat karena detik kemudian wajahnya berubah datar. “Saya tidak menyuruhmu minta maaf, sayang. Kenapa minta maaf? Apa yang membuatmu sangat merasa bersalah hingga harus meminta maaf?”
Maura menggeleng perlahan. “Maafkan aku, aku tidak sengaja bertemu dengannya. Dia yang mendatangiku terlebih dahulu, dan aku—”
“Syut …. Tunggu dulu." Sambar Marvel sebelum Maura menyelesaikan kalimatnya. "Saya tidak tahu siapa yang kamu maksud dan apa yang sedang kita bicarakan. Katakan dengan hati-hati, dan jangan memancingku untuk melakukan sesuatu yang buruk. Sayang, kamu bisa mengatakan sekarang.”
Hati-hati. Maura mengulang kata itu di dalam hati. Pria itu pura-pura tidak tahu dan sedang memperingatkannya agar tidak terperosok.
“S-saat aku menunggu pesanan, Dave tiba-tiba muncul. Dia— dia yang mendatangiku, dan kami hanya mengobrol biasa saja,” jelasnya. “Marvel, aku tahu aku salah. Kamu boleh melampiaskan semua kekesalanmu padaku. Jangan lakukan apa pun padanya, jangan membuatnya kembali terluka. Aku yang salah, tidak seharusnya aku berbicara padanya dan— dan ….”
“Kenapa kamu takut sekali?” potong Marvel seraya terkekeh singkat. “Kamu mengkhawatirkannya?”
Bibir Maura bergetar, matanya berembun. Ia tahu semua pertanyaan itu hanya jebakan untuk menyalahkannya, membuat psikologi-nya kacau, lalu begitu dirinya salah berbicara Marvel akan menggunakan kesempatan itu untuk menghukumnya dengan cara kejam.
“Tidak. Aku hanya khawatir kamu akan mengotori tanganmu untuk sesuatu yang tidak penting,” jawabnya hati-hati.
Marvel tersenyum, lalu tertawa. Melepaskan tangannya di dagu Maura dengan perlahan, kemudian menggenggam tangannya sangat erat. Ia membawa tangan mulus itu ke bibirnya, menciumnya tanpa mengalihkan tatapan dari wajah wanita itu.
“Tadinya saya akan marah, dan membayangkan hukuman apa kiranya yang paling tepat. Tapi kamu berhasil menyelamatkan diri. Jadi, kuputuskan untuk meringankan hukuman.”
Embun yang berkelamut di mata Maura akhirnya menetes. Otot-otot tubuhnya yang menegang, kini mengendur. Beban berat yang menghantam dadanya hilang. Tanpa sadar ia sudah terisak, menangis di hadapan Marvel yang tersenyum lebar menikmati rasa takutnya.