Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergok
Riki dan Yura masih asyik mengobrol lewat video call. Mereka tak sadar atau menolak sadar bahwa waktu sudah berganti dari malam menuju dini hari. Selain tak sadar waktu, mereka juga tak sadar bahwa pembicaraan mesra mereka didengar oleh seseorang di balik tembok.
“Iya, Sayang. Besok aku ke sana. Udah kangen banget ya?” Suara Riki terdengar mendayu dengan senyum tampannya yang berhasil memikat janda kaya raya itu.
Yura tersenyum manis lalu mengangguk,” Kalau kamu belum menikah, mungkin saat ini aku sudah memintamu untuk menikahiku. Kamu sangat tampan, Riki. Dan sangat menggairahkan.”
Riki menyeringai,” Oh ya? Itu sebabnya kamu memilihku?”
Yura mengangguk,” Istrimu pasti merasa puas setiap malam disentuh olehmu. Ah … Aku jadi iri. Aku nggak bisa mendapatkan waktumu sepenuhnya.”
Riki tersenyum tipis. Jangankan merasa puas, Nira bahkan tak pernah meminta lebih dulu. Nira juga harus dipaksa bahkan dikasari terlebih dahulu agar mau melayaninya. Tapi tentu saja Riki tak membongkar masalah pernikahannya pada Yura.
“Riki? Kalau istrimu tahu tentang kita, apa yang akan kamu lakukan?”
Riki menatap wajah cantik Yura di layar,” Kamu pasti tahu apa yang akan kulakukan.”
“Eum, kamu nggak berniat menjadikanku istri kedua? Istri siri mungkin.”
Riki menggeleng, tertawa tanpa suara,” Kamu bilang tak mempedulikan apapun selama aku masih menemanimu. Kenapa sekarang kamu jadi khawatir sendiri?”
Yura menghela napas,” Aku kayaknya semakin cinta deh sama kamu. Nggak mau kehilangan kamu setelah kebersamaan kita.”
“Kita sudah se—“
“Ehem!”
Ucapan Riki terhenti. Kepalanya mendongak. Seketika napas Riki tercekat. Dengan gerak cepat, ia mematikan panggilan dengan mata terbelalak menatap Nira yang berjalan pelan mendekatinya.
Nira duduk santai di atas sofa, di seberang Riki. Kedua kaki ia silangkan dengan tangan menimang-nimang botol air minum yang kosong.
“Kata orang, botol air minum kosong itu nggak berguna. Harusnya dibuang aja. Tapi, malam ini, botol ini menunjukkan kegunaannya. Satu fakta muncul ke permukaan tanpa perlu bersusah payah mencari tahu.” Nira berucap pelan di keheningan malam. Ia masih menatap botol kosong di tangan, memutar-mutarnya seolah mencari sesuatu di dalam botol kosong tersebut.
Riki berdehem, menegakkan tubuhnya yang menegang.
“Ni-Nira.”
Nira bersandar, menatap langit-langit ruangan,” Mau sampai kapan kamu terus berbohong, Rik? Nggak capek apa bohong terus? Aku yang kamu bohongin aja udah capek banget.”
“Nira, aku … aku … aku bisa jelasin. Itu tadi—“
“Aku nggak butuh penjelasan. Tengah malam, duduk sendirian, video call dengan seorang wanita. Semuanya sudah cukup jelas. Wanita mana yang menelepon suami orang tengah malam begini kalau bukan wanita murahan?” Nira memotong, menoleh cepat, menyeringai tipis.
Riki terdiam. Lidahnya kelu. Bingung sekaligus merasa bersalah. Tak seharusnya ia menyetujui Yura untuk melakukan video call tengah malam dimana Nira tidur. Bisa saja sewaktu-waktu Nira bangun dan memergoki mereka. Dan benar saja, Nira terbangun dan lebih parahnya mendengar semua percakapan mereka.
“Nira … aku …”
Nira bangkit berdiri,” Aku cuma mau ambil air minum aja di dapur. Eh nggak sengaja mergokin dua orang yang lagi kasmaran. Maaf deh udah ganggu. Lain kali cari tempat lain. Jangan tengah malam begini di rumah yang aku sewa.”
Nira melangkah ke kamar. Ia tak jadi ke dapur. Rasa hausnya mendadak hilang begitu saja. Riki mematung. Terlalu terkejut karena kepergok istrinya sendiri hingga hanya bisa menatap punggung istrinya menghilang di balik tembok.
***
Pagi menjelang. Nira sudah sibuk di dapur. Tangannya lincah menyiapkan makanan untuk putra sulungnya.
“Kamu buat sarapan, Ra?” Riki mendekat, nadanya terdengar canggung.
“Buat Arsa,” jawab Nira singkat.
“Terus kamu nggak buat sarapan untuk kita?” Riki menarik kursi, menatap Nira dari belakang.
“Beli aja sendiri. Aku sibuk.”
Riki menghela napas panjang. Tak ada pagi yang hangat seperti saat awal mereka menikah. Tak ada senyuman ramah dari Nira, obrolan pagi hari dengan segelas kopi, dan tentu saja celetukan Nira yang menghiasi rumah ini.
“Nira, hari Minggu nanti, kita ke rumah orang tuaku yuk. Kita ajak Arsa dan Alvin. Kamu mau ‘kan?”
Nira mengangguk cepat,” Atur saja waktunya. Toh aku juga masih cuti.”
Riki berdiri bersebelahan dengan Nira. Nira masih menyiapkan makanan untuk Arsa dan Riki membuat kopi. Setelah selesai, Nira berjalan keluar dapur.
Saat melewati meja makan, ponsel Riki berdering. Nira menghentikan langkah, melirik. Nama Farhan tertera di layar.
Nira meraih ponsel Riki dan hendak menerima panggilan. Namun, ia tersentak saat ponselnya berpindah tangan dengan cepat. Nira menoleh ke belakang.
“Jangan sembarangan menerima panggilan di ponselku, Nira!” bentak Riki, melotot tajam pada Nira.
Nira memundurkan tubuhnya,” Kenapa? Farhan nama seorang pria ‘kan? Atau nama seorang wanita?” Nira pura-pura berpikir.
“Bukan urusanmu!” Riki menjawab tegas, meninggalkan Nira juga kopinya yang belum tersentuh.
Riki berjalan cepat menuju teras. Sampai di sana, ia melihat ponselnya yang layarnya sudah menghitam. Panggilan sudah diakhiri. Napas lega terembus dari bibir Riki.
‘Ngapain sih Yura nelepon pagi-pagi? Dibilangin jangan nelepon kalau aku ada di rumah. Ah … Sial. Sudah begini, Nira pasti makin curiga.’
Riki memijat pelipisnya.
‘Tapi tunggu. Kenapa Nira nggak marah? Kenapa dia nggak ngamuk semalam setelah mendengarkan obrolanku dan Yura?’
‘Ya Tuhan. Jangan-jangan Nira tak mencintaiku lagi dan diam-diam mengurus surat cerai.’
Jika Riki panik di teras sana, Nira justru santai sambil menyuapi Arsa di ruang keluarga. Dibentak? Sudah biasa.
Dikasari? Apalagi. Sudah sangat biasa.
Tapi, masalahnya siapa itu Farhan? Dan mengapa Riki sangat marah saat dia mau menerima panggilannya?
Ujung mata Nira menangkap pergerakan Riki yang masuk ke dalam rumah. Riki melenggang masuk, tak menoleh pada Nira yang menyuapi Arsa. Tak lama kemudian Riki keluar lagi dengan membawa kunci motornya.
Riki menoleh saat suara Arsa terdengar seperti memanggilnya. Riki menghela napas. Arsa tersenyum, menggerak-gerakkan tangannya seolah meminta Riki datang.
Riki mendekati Arsa dan mengecup keningnya lama. Arsa tertawa dengan mulutnya yang penuh makanan.
“Aku punya hutang sama Farhan. Aku janji mau kembaliin kemarin, tapi uangnya ku pakai buat beli kemeja baru. Makanya tadi aku marah saat kamu mau menerima panggilannya. Aku aja berusaha menghindarinya. Eh kamu malah mau angkat teleponnya,” Riki berucap lembut.
“Maaf udah bentak kamu, Ra. Aku cuma kaget aja lihat kamu mau terima panggilan dari dia.” Riki berkata lagi, menatap Nira yang acuh.
“Dan untuk semalam, aku akan jelasin semuanya nanti kalau kamu nggak lagi emosi.”
Nira mengangkat wajahnya, menatap Riki,” Kapan aku emosi? Kamu yang emosian. Bukan aku.”
Riki mengangguk,” Iya aku yang emosi. Bisa kita nanti bicara lebih tenang? Aku bakal jelasin siapa semalam.”
“Aku nggak mau tahu, Rik. Demi apapun juga. Aku udah nggak peduli siapa dia ataupun urusanmu dengan Farhan itu.”
“Tapi aku peduli, Nira. Kita nggak bisa terus kayak gini. Hubungan kita bisa rusak, Nira.”
“Dan kamu yang merusaknya,” ucap Nira cepat.
“Aku tahu. Aku akan perbaiki. Tapi tolong kasih aku kesempatan.”
“Basi. Kesempatanmu sudah lama hilang.”
“Jadi, apa yang mau kamu lakukan padaku atas semua kesalahanku kemarin? Kamu nggak akan minta pisah dariku ‘kan, Ra? Ingat, Ra. Kita punya dua anak. Sampai kapanpun juga, jika kamu minta berpisah, maka aku nggak akan menurutinya. Nggak akan pernah.”
Riki mengecup kening Nira lalu melangkah pergi.