Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memastikan Satu Hal
Dari ujung tangga saja, aroma masakan Dean sudah harum semerbak. Godaannya berhasil membangunkan cacing-cacing di dalam perut Suri. Mereka berteriak heboh, siap berpesta pora.
Satu demi satu anak tangga yang Suri tinggalkan, membawa aroma masakan makin kuat menyandera indera penciuman. Lalu saat Suri akhirnya tiba di dapur, dirinya dibuat takjub dengan meja makan yang penuh dengan hidangan.
Congee (bubur nasi ala Chinese) dalam mangkuk masih mengepulkan asap. Eksistensinya ditemani Xiao Long Bao (dumpling soup) gendut lengkap dengan cuka hitam dan jahe. Kailan saus tiram di atas piring lonjong di sana juga tidak kalah menggiurkan. Perpaduan yang sempurna telah terpampang nyata di kepala Suri. Produksi air liurnya meningkat. Ia berkali-kali menelan ludah. Jika Suri adalah karakter anime, matanya sekarang pasti sudah dilingkupi bintang-bintang terang.
"Duduklah."
Kursi terpampang di hadapannya, sudah ditarikkan oleh Dean dan Suri tinggal mendaratkan bokong di sana. Namun alih-alih segera duduk, gadis itu malah menatap Dean cukup lama.
"Kenapa?" tanya Dean curiga. Ia sedikit menjauhkan tubuhnya. Menghindari serangan brutal yang bisa datang kapan saja.
Tetapi Suri tidak menyerang, alih-alih mengacungkan dua jempol ke depan wajah Dean. "Keren," pujinya.
Siapa pun harusnya tahu kalau Dean sedang salah tingkah, kecuali Suri yang dalam sekejap menanggalkan pujian untuk duduk menyambut para makanan di hadapan.
"Boleh aku makan sekarang?" tanya gadis itu. Kepalanya mendongak cukup tinggi.
"Makanlah." Kursi lain di seberang Suri ditarik. Dean duduk di sana, melipat kedua tangan di depan dada dengan punggung bersandar santai.
Diawali satu tepuk tangan keras, Suri mulai makan. Suapan pertama diambil dari mangkuk Congee. Teksturnya yang lembut terasa ramah di tenggorokan. Dan meskipun uap masih mengepul di atas permukaan mangkuk, temperatur bubur tersebut ternyata pas, tidak sampai membuat lidah dan tenggorokannya terbakar.
"Hmmm...." Gumamannya lolos di sela kunyahan. Satu sendok lagi dimasukkan ke dalam mulut, lalu disusul sendok ketiga, keempat, dan kelima.
Selama itu, Dean tidak berkomentar. Dia bahkan tidak berusaha bertanya pada Suri bagaimana rasa masakannya. Tidak penting juga baginya untuk bertanya apakah masakan itu sesuai selera Suri, karena Dean sudah tahu betul jawabannya.
"Enak," kata sang gadis di setengah perjalanan makanannya.
Dean hanya mengangguk dan menunjukkan gestur agar Suri melanjutkan sarapannya yang kesiangan ini.
Dengan begitu, Suri kembali khidmat. Kali ini sendok besar menyerok sepotong Xiao Long Bao dari mangkuk. Suri lebih suka memakannya begitu saja tanpa cuka hitam dan jahe. Menurutnya, kuah kaldu di dalam dumpling yang akan muncrat ketika digigit itu sudah gurih dan kaya rasa, tidak perlu menambahkan apa pun lagi.
Pada gigitan pertama, kaldu pecah di dalam mulutnya. Mata Suri berbinar haru. Rasanya sudah lama rasa nikmat yang seperti ini tidak menyambangi lidahnya. Sesuatu yang sederhana (jika dibandingkan dengan banyak hal mewah di dunia) untuk membuat Suri merasa berada di surga.
"Ini enak sekali," katanya dengan sebelah pipi menggembung lucu.
"Makanlah yang banyak," Dean menegakkan tubuhnya, tapi masih bersedekap. "Nanti aku masakkan lagi kalau kau mau."
Suri manggut-manggut. Bibirnya tersenyum lebar selagi giginya bekerja mengunyah makanan. Tetapi kemudian Suri teringat sesuatu yang membuat kunyahannya berhenti secara perlahan. Lengkungan di bibirnya juga mulai memudar.
"Tapi," katanya. Xia Long Bao yang tadinya terasa nikmat mendadak macet di tenggorokan. Suri menelannya susah payah. "Dari mana kau dapatkan semua bahan makanan untuk memasak ini? Seingatku, tidak ada apa pun di kulsan selain telur dan sosis frozen."
"Supermarket."
Mata Suri membola, "Kau mencuri?!" ucapnya setengah berteriak.
"Berhenti menuduhku mencuri," sahut Dean jengah. "Aku ini hantu, bukan kriminal."
Suri tampak mengembuskan napas lega. "Kalau bukan mencuri, terus apa?" tanyanya sambil bersungut-sungut.
"Seperti yang kau ajarkan waktu membeli es krim."
"Mengambil barangnya lalu menaruh uang di kasi?"
Dean mengangguk.
"Lalu dari mana kau dapatkan uangnya?" Sebelah alis Suri sudah naik. Sarapan yang kesiangan malah berubah menjadi sesi interogasi dadakan.
"Dari dompetmu," jawab Dean enteng.
Suri sempat melongo sesaat. Bibirnya terbuka, bulatnya hampir sama dengan ukuran Xia Long Bao yang tersisa. Kemudian ia berujar lemah, "Itu namanya mencuri...."
Dean hanya mengedik, lalu kembali menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Suri tanpa berkedip.
Ditatap begitu membuat Suri merasa tidak nyaman. Posisi mereka seakan berbalik. Suri yang jadi tersangka dan Dean adalah sang detektif. Maka dari itu, Suri cepat-cepat memutus kontak. Mulutnya kembali sibuk mengunyah. Masakan Dean terlalu enak untuk ditinggalkan hanya karena cara hantu tampan itu berbelanja bahan makanan agak lain dari pola pikir orang kebanyakan. Suri akan menghabiskan semua yang Dean hidangkan sampai bersih tanpa sisa.
"Luka-lukamu sudah mengering?"
Mata Suri melirik kedua lengannya bergantian, masih sambil mengunyah. Kepalanya lalu mengangguk saat temukan luka gores yang membentang di sana sudah mengering.
"Ajaib juga, lukanya kering dengan cepat."
"Itu karena aku merawatnya dengan baik," kata Dean. Meski cuma main-main sekalipun, rasanya tetap menjengkelkan untuk mendengarkan aura kesombongan dari nada suaranya.
Suri mendelik dan bibirnya mengsong sedikit, tapi tak urung tetap menganggukkan kepala tanda setuju.
Selama beberapa waktu kemudian, meja makan hanya diisi suara denting sendok dan mangkuk. Dean dengan sabar menunggu Suri menghabiskan sarapan. Setiap gerakan, setiap Hela napas, setiap sorot mata yang tertangkap ketika tatapan mereka berjumpa, semuanya Dean abadikan dengan apik dalam ingatannya. Setiap detik terasa begitu berharga. Dean tidak ingin kehilangan sedikit pun momen, meski sadar kenangan itu akan pudar ketika waktunya sudah tiba.
Hingga akhirnya sarapan Suri habis juga. Gadis itu meletakkan sendok di atas piring kosong, lalu menatap Dean lurus-lurus. "Omong-omong, Dean," mulainya. Dean tidak menyahut, hanya menunggu sampai Suri melanjutkan. "Bolehkah hari ini kita tidak pergi ke rumah sakit?"
Air muka Dean yang semula tenang perlahan dipenuhi riak. Punggungnya tertarik menjauh dari kursi. Tatapannya berubah serius seiring tubuhnya yang kembali tegak.
"Kenapa?" tanyanya. Kegelisahan terdengar terlalu nyaring untuk luput dari pendengaran Suri. Namun, Suri berusaha tenang dan berjalan tetap pada rencana.
"Ada sesuatu yang harus aku pastikan terlebih dahulu," jawabnya.
"Apa itu?"
"Nanti aku beritahu." Suri bangkit, membawa piring dan mangkuk kotornya ke wastafel. Kali ini dia akan mencuci semua perabotan kotor sendiri. Dean pun tidak berusaha menahan. Fokusnya sudah teralihkan pada rencana Suri untuk absen mengunjungi rumah sakit.
"Tidak bisakah kau menjelaskannya padaku sekarang?"
"Tidak bisa. Harus aku pastikan dulu, baru bisa menjelaskannya padamu."
Hati Suri sempat goyah saat melihat kesedihan dalam sorot mata Dean. Di saat mereka sedang diburu waktu, Suri malah minta izin untuk menyia-nyiakan satu hari (yang juga berarti satu kesempatan). Namun, ini harus dilakukan. Dari banyak hal membingungkan yang terjadi, Suri setidaknya harus menemukan jawaban dari yang satu ini.
"Izinkan aku tidak ke sana hari ini, dan sebagai gantinya, aku akan berusaha lebih keras besok." Suri berusaha menenangkan.
Permintaan Suri sebenarnya berat untuk Dean kabulkan. Tapi kalau ditolak, Dean takut Suri akan marah dan semuanya berantakan. Jadi, dengan lemah, Dean menganggukkan kepalanya.
"Baiklah," ucapnya pasrah.
Bersambung....