NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERDEBATAN DENGAN KEVIN

Kaelith tiba di kediamannya tepat pukul sembilan malam. Langkahnya berat, sorot matanya gelap menahan bara. Ia melewati ruang tengah tanpa sepatah kata pun, meski Nayara sedang duduk di sofa menonton televisi.

Gadis itu sempat menoleh, heran dengan sikap dingin pria itu. Namun sebelum sempat bertanya, Kaelith sudah masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras hingga bergema.

Nayara terdiam, kedua tangannya mengepal pelan di pangkuan. Ada rasa khawatir, tetapi juga ragu. Ia tahu betul saat Kaelith dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang bisa menenangkannya kecuali waktu… atau keberanian Nayara untuk mengetuk pintu kamar itu.

Di balik pintu, Kaelith berdiri membelakangi ranjang, napasnya memburu. Ia meraih botol air di meja, meneguknya cepat, lalu melemparkannya ke sofa dengan kasar. Amarahnya pada keluarga masih mengendap, bercampur dengan rasa sakit yang sulit ia cerna.

Sementara di luar, Nayara menggigit bibir, matanya tertuju pada pintu kamar yang tertutup rapat. Ada suara resah di hatinya, apakah ia harus membiarkan Kaelith sendiri, atau memberanikan diri masuk agar pria itu tidak terjebak sendirian dalam kemarahan?

Nayara mematikan televisi pelan, seolah tak ingin menambah berat suasana. Ia bangkit dari sofa, melangkah menuju kamarnya tanpa berusaha mengetuk pintu kamar Kaelith.

Gadis itu tahu betul, saat Kaelith pulang dengan wajah sesuram itu, bukan berarti ia tidak peduli pada Nayara, melainkan sedang berperang dengan dirinya sendiri. Dan dalam keadaan seperti ini, yang Kaelith butuhkan hanyalah waktu untuk sendirian.

Di kamarnya, Nayara menyalakan lampu meja kecil. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sambil memikirkan bagaimana kerasnya beban yang dipikul Kaelith. Ada kerinduan untuk menenangkannya, tapi juga rasa takut jika kehadirannya justru memperburuk keadaan.

Di sisi lain, di balik pintu kamar yang tertutup rapat, Kaelith terduduk di kursi, kepalanya menunduk dalam-dalam. Tangannya terkepal, rahangnya tegang, menahan semua amarah yang tadi nyaris meledak di depan keluarga besar.

Kesunyian malam pun seolah menjadi saksi dua hati yang saling ingin mendekat, tapi terhalang oleh luka dan ego yang belum bisa mereka runtuhkan.

Keesokan harinya, Nayara sudah duduk di depan meja makan seorang diri. Sepiring roti panggang dan secangkir teh hangat menemaninya. Gadis itu mencoba fokus pada sarapannya, meski pikirannya masih sibuk menimbang apa yang terjadi semalam.

Suara pintu kamar terbuka membuatnya menoleh. Kaelith keluar, sudah rapi dengan setelan baju latihannya. Wajahnya tampak segar, seolah ia berhasil menyingkirkan semua amarah yang semalam sempat membara.

Tanpa banyak bicara, pria itu menghampiri Nayara. Ia menunduk sedikit, mengecup bibir gadis itu singkat lalu pipinya.

"Good morning," ucapnya dengan nada lembut yang kontras dengan dinginnya semalam.

Nayara terdiam sesaat, lalu mengangguk sambil memaksa seulas senyum. "Pagi…" jawabnya pelan, mencoba menutupi perasaan khawatir yang masih tersisa.

Kaelith menarik kursi di sampingnya, duduk sebentar sambil meraih sepotong roti dari piring Nayara. “Kau tidur nyenyak?” tanyanya ringan, meski tatapannya mencoba membaca hati gadis itu.

“Nyenyak, kau sendiri?” tanya Nayara sambil melirik Kaelith yang terlihat begitu santai menikmati roti di tangannya.

“Sama sepertimu,” jawab Kaelith ringan, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Nayara hanya mengangguk kecil, lalu kembali menunduk pada sarapannya. Keheningan singkat menyelimuti meja makan, hanya terdengar bunyi sendok yang beradu pelan dengan cangkir teh.

Kaelith melirik gadis itu, menyadari senyum Nayara pagi ini tampak dipaksakan. Ia menghela napas, lalu mengulurkan tangannya, menyentuh punggung tangan Nayara. “Jangan terlalu banyak dipikirkan, hm?” katanya lembut.

Nayara mendongak, menatapnya ragu. “Aku hanya… takut kau masih marah soal semalam.”

Kaelith terkekeh tipis, lalu mencondongkan tubuh untuk mencium keningnya. “Aku tidak marah padamu. Aku hanya butuh waktu sendiri.”

Selesai dengan sarapan pagi mereka, Kaelith berdiri lebih dulu lalu meraih kunci mobil yang tergeletak di meja.

“Ayo, aku antar kau ke kampus dulu sebelum latihan,” katanya sambil menepuk pelan kepala Nayara.

Nayara mengangguk, lalu mengambil tasnya. Mereka berjalan berdampingan keluar apartemen, suasana pagi di Sevilla masih cukup sepi, dengan udara segar yang menyambut.

Perjalanan ke kampus berlangsung tenang. Nayara hanya sesekali mencuri pandang ke arah Kaelith yang fokus menyetir, wajahnya terlihat serius tapi tenang.

Setibanya di depan kampus, mobil berhenti. Kaelith menoleh, jemarinya singgah sebentar di pipi Nayara. “Belajar yang baik. Jangan terlalu banyak melamun.”

Nayara tersenyum tipis, “Kau juga, jangan terlalu keras memaksakan diri saat latihan.”

Kaelith tersenyum, lalu menunduk untuk mengecup bibirnya singkat sebelum Nayara turun dari mobil. “Sampai nanti,” ucapnya.

Setelah gadis itu masuk gerbang kampus, Kaelith kembali melajukan mobil menuju lapangan latihan, tempat rekan-rekan timnya sudah menunggu untuk mempersiapkan pertandingan besar mendatang.

Sore harinya, Nayara lebih dulu pulang dan sampai di apartemen. Gadis itu melangkah masuk ke lobi, menyapa sekilas resepsionis, sebelum suara yang tidak asing memanggilnya.

“Nayara.”

Langkahnya terhenti. Ia menoleh cepat, matanya melebar saat mendapati sosok pria berdiri di sudut lobi dengan setelan rapi, sorot matanya tajam tapi tenang.

“Kak Kevin…?” ucap Nayara heran, hampir tak percaya.

Pria itu berjalan pelan mendekat, senyum tipis terbit di wajahnya, sulit terbaca apakah itu ramah atau penuh maksud lain. “Lama tidak bertemu.”

Nayara menelan ludah, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia tahu betul, Kevin Vemund bukan sekadar kakak Kaelith dia adalah figur yang selalu dianggap penerus sejati keluarga besar Vemund.

“Apa yang… apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nayara hati-hati.

Kevin berhenti tepat di hadapannya, suaranya rendah namun berwibawa. “Aku menunggu Kaelith. Tapi karena dia belum pulang, mungkin aku akan berbicara denganmu lebih dulu.”

Kevin hanya menatapnya tanpa ekspresi jelas, membuat Nayara merasa canggung berdiri terlalu lama di lobi. Ia menarik napas lalu berkata pelan,

“Ayo ke unit apartemen kami.”

Kevin mengangkat alis tipis, seolah menimbang ajakan itu, sebelum akhirnya mengangguk. “Baik.”

Mereka berjalan beriringan menuju lift. Nayara bisa merasakan tatapan beberapa orang yang memperhatikan, mungkin karena aura Kevin yang terlihat begitu berwibawa dan berbeda dari penghuni apartemen lain.

Begitu sampai di lantai unitnya, Nayara membuka pintu dengan kunci digital dan mempersilakan Kevin masuk lebih dulu.

“Silakan duduk, Kak,” ucapnya sambil menunjuk sofa ruang tengah.

Kevin menatap sekeliling apartemen dengan tenang, seperti sedang menilai setiap detailnya, lalu duduk. Ia meletakkan tangannya di lutut, membungkuk sedikit ke depan.

“Apa kau bahagia bersama Kaelith?” tanya Kevin tiba-tiba, menatap lekat Nayara yang tengah meletakkan secangkir kopi di hadapannya.

Nayara terdiam sejenak, tangannya masih menggenggam cangkirnya sendiri. Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa menusuk jauh ke dalam. Ia tersenyum tipis, berusaha menutupi kegugupannya.

“Tentu saja… Kaelith selalu menjagaku,” jawab Nayara akhirnya, meski nadanya terdengar ragu.

Kevin mencondongkan tubuh sedikit ke depan, matanya tak beralih dari wajah Nayara. “Menjaga? Atau mengikat?”

Nayara terperangah. Ia menunduk, menggenggam cangkir lebih erat. Hatinya berdebar, mencoba mencari jawaban yang tidak akan menyinggung Kaelith ataupun menimbulkan lebih banyak pertanyaan dari Kevin.

“Kak… Kaelith hanya ingin aku baik-baik saja,” ucap Nayara pelan, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.

Kevin menyandarkan punggung ke sofa, menghela napas dalam. “Nayara, aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri. Bahagia itu bukan sekadar aman. Bahagia itu… bebas, juga.”

Nayara menatap Kevin dengan mata berkaca-kaca. Ia berusaha menahan gejolak dalam dadanya, tapi ketika Kevin menatapnya begitu dalam, pertahanan itu runtuh. Air matanya jatuh, mengalir tanpa bisa ia cegah.

“Andai aku bisa pergi,” suara Nayara bergetar, penuh luka yang lama ia simpan, “Aku akan melakukannya dari dulu juga.”

Kevin terdiam. Kata-kata Nayara menusuk jantungnya. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Nayara yang gemetar.

“Nayara…” bisiknya lirih, menahan perasaan campur aduk antara marah dan iba. “Kalau begitu, kenapa kau masih bertahan?”

Nayara menggeleng lemah, menunduk agar Kevin tidak melihat wajahnya yang basah air mata. “Karena… aku tidak punya tempat lain, Kak. Kaelith adalah satu-satunya yang ku punya sekarang. Meski kadang… aku merasa bukan diriku sendiri lagi.”

Kevin mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. Dalam hatinya, ia tahu kalimat Nayara bukan sekadar keluhan biasa itu adalah jeritan minta tolong yang selama ini terpendam.

Pintu apartemen terbuka perlahan, terdengar bunyi beep dari kunci elektronik yang baru saja terbuka.

Nayara buru-buru menarik tangannya dari genggaman Kevin, tubuhnya sedikit menegang.

Kaelith melangkah masuk dengan tatapan lelah, matanya sedikit merah dan wajahnya tegang setelah seharian berlatih. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Kevin dan Nayara duduk berhadapan di ruang tamu.

Keheningan mendadak menyelimuti ruangan.

Tatapan Kaelith menyapu singkat ke arah Kevin, lalu bergeser ke Nayara yang jelas masih menyembunyikan wajah basah air mata. Senyum tipis muncul di wajah Kaelith, tapi bukan senyum ramah lebih kepada sesuatu yang sulit ditebak, antara sinis dan letih.

“Aku tidak tahu kalau kau sudah betah di sini, Kevin,” ucap Kaelith datar sambil melepas jaketnya.

Kevin menghela napas, mencoba tetap tenang. “Aku hanya mampir, Kael. Tidak lebih dari itu.”

Kaelith menatapnya lama, lalu beralih ke Nayara. “Hmm…” ia bergumam pelan, nada suaranya penuh tekanan meski terdengar santai. “Sepertinya aku datang di saat yang salah, ya?”

Nayara menunduk, jemarinya meremas ujung cardigan yang ia kenakan, tak mampu membalas tatapan pria itu.

“Masuk ke dalam kamarmu, baby,” ucap Kaelith tenang namun sarat perintah. Ia mengecup bibir Nayara tanpa sedikit pun rasa malu meski Kevin masih duduk di sofa ruang tengah.

Nayara buru-buru menurut, melangkah cepat menuju kamar dengan wajah pucat. Begitu pintu menutup rapat di belakangnya, keheningan mencekam pun tercipta.

Kaelith melepas baju latihannya dengan kasar, melemparkannya ke kursi hingga kini ia hanya bertelanjang dada. Otot-otot kekarnya terbentuk jelas, dihiasi tato yang menjalar di sepanjang lengan dan sebagian dadanya, menegaskan auranya yang dingin dan mengintimidasi.

Tatapannya menancap lurus pada Kevin. “Jadi…” suara Kaelith rendah, nyaris seperti geraman. “Kau datang ke apartemenku, menemui wanitaku, dan membuatnya menangis. Apa sebenarnya yang kau inginkan, Kevin?”

Kevin menahan napas, tetap duduk tegak di sofa. “Aku datang bukan untuk membuat Nayara menangis. Aku datang karena kita perlu bicara, Kael. Tentang pertemuan keluarga kemarin.”

Mata Kaelith menyipit. “Pertemuan itu tidak penting. Hanya sekumpulan orang tua yang merasa berhak mengatur hidupku.”

“Kaelith!” Kevin membalas dengan nada meninggi. “Itu bukan sekadar pertemuan. Itu adalah keluarga kita. Kau membuat papa dipermalukan di depan semua kerabat karena sikapmu yang meledak-ledak.”

Kaelith terkekeh pendek tanpa humor. “Aku dipermalukan lebih dulu, Kevin. Profesi yang kupilih, hidup yang kujalani mereka semua menginjaknya di hadapanku. Kau ingin aku diam saja?”

Kevin mengepalkan tangan di pahanya, lalu mencondongkan tubuh. “Aku hanya ingin kau sadar, Kael. Papa menunggu kau meminta maaf. Kau tahu, bagaimanapun kerasnya, keluarga adalah tempatmu kembali.”

Kaelith melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Kevin. Bayangan tubuhnya yang penuh tato jatuh menutupi cahaya lampu. “Meminta maaf?” suaranya berat, penuh ejekan. “Kau benar-benar masih buta, Kev. Aku tidak akan tunduk. Tidak pada papa, dan bahkan tidak padamu.”

Kevin menatap Kaelith lekat-lekat. “Kau pikir keras kepala membuatmu kuat? Tidak, Kael. Itu hanya membuatmu sendirian.”

Kaelith menyeringai, tapi sorot matanya dingin. “Lebih baik sendirian, daripada hidup sebagai boneka keluarga Vemund.”

Keheningan jatuh, tegang, nyaris memutus napas. Aura pertikaian antara dua saudara itu hanya menunggu satu percikan lagi untuk meledak.

Kevin menarik napas dalam, menahan amarah yang sudah mendidih di dadanya. “Kau selalu seperti ini, Kael. Menganggap semua orang melawanmu, padahal yang ingin kulakukan hanyalah menyelamatkanmu dari jalan yang membuatmu hancur.”

Kaelith mendengus, wajahnya mendekat hingga hanya beberapa inci dari kakaknya. “Menyelamatkanku? Dari apa? Dari hidup yang kupilih sendiri? Kau terlalu sibuk menjadi anak baik papa, Kevin, sampai lupa kalau aku tidak pernah ingin berada di jalur itu.”

Nada suara Kevin pecah, hampir bergetar. “Aku tidak lupa, Kael! Aku hanya… aku hanya tidak ingin melihatmu dibuang begitu saja oleh keluarga kita. Kau tahu bagaimana papa. Sekali kau menginjak harga dirinya, dia tidak akan segan menghapusmu dari silsilah keluarga.”

Kalimat itu menusuk, tapi Kaelith justru terkekeh dingin. “Kalau itu yang dia mau, biarkan. Aku tidak butuh pengakuan siapa pun. Aku berdiri di atas kakiku sendiri.”

Tangan Kevin mengepal makin kuat, hingga buku jarinya memutih. “Kau pikir itu mudah? Menjadi keluarga Vemund bukan hanya tentang dirimu. Semua yang kau lakukan, Kael, berimbas pada kita semua. Pada namaku. Pada… Nayara.”

Nama itu membuat sorot mata Kaelith mengeras. Suaranya berubah rendah, penuh peringatan. “Jangan bawa Nayara ke dalam ini. Dia tidak ada urusan dengan permainan keluarga.”

“Justru karena dia bersamamu, Kael!” Kevin akhirnya berdiri, emosi yang ditahannya pecah. “Dia akan ikut menanggung akibat dari pilihanmu. Kau tidak bisa seenaknya menutup mata. Kalau kau terus menentang papa, kau bukan hanya menghancurkan dirimu… tapi juga dia.”

Tiba-tiba, rahang Kaelith mengeras. Tangan kirinya mengepal hingga urat-urat di lengannya menonjol. Satu langkah lagi, dan kepalan itu hampir melayang ke wajah Kevin.

Namun di detik terakhir, Kaelith menghentikan dirinya. Napasnya memburu, tatapannya membakar, tapi tangannya gemetar menahan pukulan yang nyaris meluncur.

“Aku bersumpah, Kev…” suara Kaelith serak, penuh amarah yang tertahan. “…sebut nama Nayara sekali lagi dalam ancamanmu, dan aku tidak akan segan menjatuhkanmu kakakku atau bukan.”

Keheningan mendadak menelan ruangan, hanya terdengar napas kasar dua saudara itu. Kevin menatap balik, tak gentar meski hampir dipukul, sementara Kaelith berdiri dengan dada naik turun, menahan amukan yang hampir meledak.

Kevin terdiam beberapa detik, menatap adiknya yang masih berdiri dengan kepalan tangan bergetar. Ia menarik napas panjang, berusaha menahan sisa amarah yang mendesak keluar.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Kevin mengambil jaketnya yang tadi ia letakkan di sandaran sofa. “Aku tidak akan memaksa lagi, Kael. Tapi ingat, pada akhirnya kau tetap harus berhadapan dengan papa. Dan aku harap saat itu tiba, kau tidak menyesal.”

Ia melangkah menuju pintu apartemen, membuka kunci elektronik dengan suara bip pelan. Sebelum keluar, Kevin sempat menoleh sekali, menatap Kaelith yang masih terdiam di tengah ruang tamu, wajahnya menunduk namun sorot matanya tajam.

Kevin memilih diam. Satu langkah terakhir, pintu pun tertutup rapat di belakangnya.

Kesunyian mendadak menyelimuti ruangan. Kaelith masih berdiri dengan napas berat, rahangnya mengeras menahan gejolak. Ia menendang pelan kaki meja di hadapannya, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan kasar.

Tangannya meraih wajah, menutup mata sejenak. Ada amarah, ada letih, juga sedikit rasa bersalah yang tidak ingin ia akui.

Dari balik pintu kamar, Nayara diam membisu. Ia mendengar percakapan itu, juga suara pintu apartemen saat Kevin pergi. Gadis itu menempelkan punggungnya ke pintu, berusaha meredam rasa cemas yang semakin menusuk dadanya.

1
Widia Ar
udh dah kata gua mah nay nurut aja jadi cewe manis itu laki mau nya lu gitu nay pasti bakal dikasih dunia dan seisinya percaya dah Iyah kan othor .
Widia Ar
thor keren ihh tambah gemes Ama mereka berdua.
Widia Ar
the best
Widia Ar
thor semangat yah aku selalu menunggu mu
Seraphina: Terimakasih kak🥹
total 1 replies
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!