NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Sang CEO

Istri Rahasia Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti
Popularitas:22.2k
Nilai: 5
Nama Author: Ayu Lestary

"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."

Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.

Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.

Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.

Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch : Dua Puluh Delapan

Udara di apartemen malam itu begitu tenang.

Hanya suara lembut dari jam dinding yang berdetak pelan di ruang tamu. Lampu tidak terlalu terang, memberikan suasana remang yang menenangkan—atau mungkin justru menekan.

Begitu pintu terbuka, Raya melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Ia baru saja menutup ponselnya setelah membaca pesan singkat dari Clara. Pandangannya tampak kosong, pikirannya masih melayang entah ke mana.

Namun ketenangan itu pecah begitu suara lembut menyapa dari arah sofa.

“Bagaimana, Raya?”

Nada suaranya halus, tapi dingin.

“Sekarang kamu tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu milikmu?”

Raya berhenti di ambang pintu, menatap sosok Amara yang bersandar santai di sofa dengan segelas anggur di tangan.

Cahaya lampu dari ruang tengah memantulkan kilau samar di rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya—mata itu—menyimpan sesuatu yang lain.

“Kau bicara tentang apa?” tanya Raya pelan, walau ia tahu betul arah kalimat itu.

Amara tertawa kecil.

Tawanya renyah, tapi penuh ejekan.

“Oh, ayolah. Jangan berpura-pura tidak mengerti. Bukankah menyakitkan, ketika sesuatu yang kamu pikir sudah milikmu… tiba-tiba bukan milikmu lagi?”

Raya menarik napas dalam. Ia melepaskan tas dari bahunya dan meletakkannya di atas meja.

“Kalau kau ingin bicara langsung, bicara saja, Amara. Aku lelah menebak-nebak permainan katamu.”

Amara memutar gelas anggur di tangannya, lalu berdiri perlahan.

Tumit sepatunya beradu lembut dengan lantai marmer, setiap langkah terdengar jelas di ruangan yang hening itu.

“Permainan?” ia mengulang, mendekat satu langkah lagi. “Kau yang mulai permainan ini, Raya. Sejak hari ayah menikahi ibumu.”

Raya menahan napas. Ucapan itu seperti cambuk yang menghantam balik ke masa kecilnya—masa ketika ia baru berusia sembilan tahun, dengan rambut dikuncir dua dan wajah polos yang belum mengerti arti kebencian.

Hari itu, ia hanya berdiri di samping ibunya di depan altar kecil rumah, memandangi Amara yang menatapnya dari kejauhan dengan mata yang basah tapi tajam.

Sejak hari itu, jarak antara mereka terbentuk.

Bukan jarak yang bisa dijelaskan dengan kata, tapi terasa di setiap tatapan, di setiap sapaan yang dingin, di setiap makan malam keluarga yang penuh keheningan.

“Aku tidak mengambil apa pun darimu,” ujar Raya tenang, walau nada suaranya bergetar. “Kau tahu itu.”

“Benarkah?” Amara mengangkat alis.

“Papa dulu hanya milikku. Semua waktunya, perhatiannya, kasih sayangnya. Lalu kalian datang—kau dan ibumu—dan tiba-tiba semuanya berubah. Papa mulai membagi waktu, membagi kasih sayang, dan aku... kehilangan segalanya tanpa pernah tahu kenapa.”

Raya menatap Amara lama.

Ada kalimat yang ingin ia ucapkan, tapi terhenti di tenggorokan.

Ia tidak pernah bermaksud merebut apa pun.

Ia hanya seorang anak kecil yang ingin diterima.

“Dan sekarang,” lanjut Amara, menatapnya lekat, “kamu tahu rasanya. Rasanya ketika sesuatu yang kau anggap rumah, tiba-tiba bukan milikmu lagi. Arka—”

“Cukup.” Raya memotong cepat. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Jangan bawa-bawa dia.”

Amara tersenyum miring, mengangkat bahu seolah ucapan itu tidak berarti apa-apa.

“Kenapa? Takut mendengar kebenarannya?”

Raya terdiam. Matanya sedikit berkaca.

Ia tahu Amara tidak sepenuhnya salah. Sejak kakak tirinya kembali, Arka memang berubah. Tapi bukan berarti ia pantas untuk dipermalukan seperti ini.

“Aku tidak merebut Arka darimu,” ujar Raya akhirnya. “Hari itu—hari pernikahan itu—aku hanya mencoba menyelamatkan Papa dari rasa malu. Kau yang memilih pergi.”

Suasana kembali hening.

Hanya detak jam yang terdengar lagi, menegaskan jarak di antara mereka.

Amara menatap Raya dalam diam, lalu tertawa pelan. “Kau selalu tahu cara membuat dirimu terdengar suci.”

Ia meneguk sisa anggurnya, lalu meletakkan gelasnya di meja dengan suara berderak kecil.

“Tapi tahukah kau, Raya, tidak semua orang akan percaya bahwa kau hanya korban. Karena dari luar, semua terlihat sempurna—kau yang menggantikan aku, kau yang akhirnya menikah dengan pria yang seharusnya menjadi milikku. Kau yang sekarang tinggal di rumah ini.”

“Kau pikir aku bahagia?” balas Raya lirih. “Kau pikir aku tidak terluka setiap kali harus berpura-pura? Setiap kali harus melihat Arka dan tahu bahwa ia masih menyimpan perasaan untukmu?”

Kali ini Amara terdiam. Senyumnya memudar perlahan.

Raya menatapnya tajam, suaranya mulai pecah tapi jujur.

“Aku menjalani hidup ini dengan hati-hati, Amara. Setiap langkah terasa salah. Tapi aku tetap berusaha... karena aku mencintainya. Bukan untuk merebut, tapi karena aku belajar mencintainya setelah semua ini terjadi. Dan kau tidak tahu rasanya hidup di bawah bayangan seseorang yang tidak pernah mau pergi.”

Amara menarik napas panjang. Ada kilatan aneh di matanya—antara marah dan getir.

“Mungkin... sekarang kita sama, Raya.”

Raya menoleh, tidak mengerti.

“Kita berdua mencintai lelaki yang sama, tapi tidak ada dari kita yang benar-benar memilikinya.”

Ucapan itu menggantung di udara.

Tak ada yang menanggapinya.

Raya memilih diam, menunduk, sementara Amara berbalik menuju kamar.

Saat pintu kamar tertutup, Raya menatap kosong ke arah tempat Amara berdiri tadi.

Amara mungkin benar—tidak ada yang benar-benar menang dalam cerita ini.

Yang ada hanyalah dua perempuan yang saling melukai karena lelaki yang sama, dan seorang lelaki yang bahkan tidak tahu bagaimana cara menyembuhkan keduanya.

Raya memejamkan mata, menundukkan kepala di atas meja makan.

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa seperti tamu di rumah yang telah dianggap seperti rumahnya sendiri.

📖 To Be Continued...

...> Terima kasih sudah membaca sampai di sini 🤍...

...Dukungan kalian berarti banget buatku! Jangan lupa kasih like, komentar, gift dan follow supaya aku makin semangat nulis kelanjutannya ya~ 🌸...

1
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
Ayu_Lestary: Terima kasih 💞
total 1 replies
sutiasih kasih
lagian untuk ap km mngekang raya.... & mmbuat raya dlm situasi sulit....
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........
Ayu_Lestary: Arka juga gak tau ini pernikahan macam apa 😭😭
total 1 replies
Dwi Estuning
wah...
momsRaydels
semangat selalu awal yang sangat menarik semangat kak 💪🏼
Ayu_Lestary: Terima kasih 🙏🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!