Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 Remake: Misi Pertama
Malam telah datang, menggantikan cahaya matahari dengan kilau lembut dari bulan dan lentera. Kota Vixen, meskipun tidak pernah benar-benar tidur, kini berubah wajah—lebih tenang, lebih lembut. Namun, di antara keheningan yang menggantung di kamar penginapan Guild, Sho terjaga.
Ia menatap langit-langit kamarnya sejenak, lalu menarik napas panjang. Tidak ada mimpi yang mengganggunya. Hanya perasaan... Tak tenang.
Tanpa membangunkan Aria atau memberitahu siapa pun, Sho mengambil jubah tipisnya, lalu keluar dari kamar, menyusuri Guild yang senyap, dan kemudian melangkah ke luar bangunan.
Udara malam terasa sejuk, sedikit basah karena embun. Cahaya lentera jalan menciptakan bayangan panjang di sepanjang batu-batu jalanan kota Vixen. Orang-orang masih berlalu lalang, beberapa pasangan berjalan berdampingan, beberapa pedagang kecil menutup lapaknya, dan sesekali terlihat prajurit kota yang berpatroli. Tapi suasananya berbeda dari siang hari—lebih damai, nyaris seperti bisikan.
Sho menyusuri jalan barat, mengikuti naluri entah ke mana, hingga ia tiba di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik deretan toko tutup. Tak ada banyak orang di sana—hanya beberapa bangku batu, rumput yang rapi, dan beberapa lentera berayun pelan ditiup angin. Cahaya lembut itu menyentuh permukaan air dari kolam kecil di tengah taman, menciptakan pantulan yang menenangkan.
Ia berjalan pelan ke arah bangku, lalu duduk.
Angin berdesir perlahan, membawa aroma tanah dan bunga malam.
Di saat itulah, suara lembut bergema di dalam pikirannya.
“Kau tidak bisa tidur, anakku?”
Sho menoleh pelan, meskipun tahu suara itu berasal dari dalam dirinya.
“Persephone...”
“Tempat ini... Damai, ya? Tapi kedamaian itu bukan untuk dinikmati tanpa kesiapan. Sho, kekuatanmu masih belum stabil.”
Sho menggenggam telapak tangannya.
“Aku tahu. Tapi... Kupikir, aku cukup kuat untuk menjaga Aria. Untuk bertarung bersama yang lain.”
“Kemenanganmu melawan Invader waktu itu bukan sepenuhnya karena kekuatanmu. Itu keberuntungan, kau bahkan hampir mati. Tapi keberuntungan bukanlah sesuatu yang bisa terus diandalkan. Jika kau ingin melindungi dia...”
Persephone terdiam sejenak.
“...dan dunia ini, maka kau harus mulai berdialog kembali dengan alam.”
Sho menghela napas. Matanya menatap ke arah bunga-bunga kecil di tepi taman.
“Aku tak lagi bisa mendengar mereka. Dulu, bunga di depan tokoku selalu menyapaku... Tapi sekarang, semua sunyi.”
“Itu karena aku menyegelnya.”
“Setelah kontrak kita resmi, kekuatanmu terlalu liar, terlalu murni untuk dikendalikan. Jika tidak disegel, kau bisa hancur dari dalam, Sho. Tapi... Malam ini, aku akan membukanya... Sebagian.”
Sho terdiam. Lalu, perlahan, ia memejamkan mata.
Angin malam menyentuh wajahnya.
Tubuhnya diam, napasnya tenang. Ia mulai bersemedi, sesuai instruksi Persephone. Tak lagi mencoba mendengar dengan telinga, tapi dengan hatinya. Dengan jiwanya.
Dan pelan-pelan, dunia di sekitarnya... Berubah.
Gemuruh aliran air di kolam. Bisikan ranting-ranting kecil. Detak akar di dalam tanah. Semua mulai berdetak pelan, seperti irama nafas.
Sho tidak melihat mereka—ia merasakan mereka.
“Resonansi adalah hubungan. Bukan perintah. Alam bukan alat, Sho. Ia adalah teman, sahabat, bahkan keluarga.”
Sho tersenyum tipis.
Untuk pertama kalinya sejak ia menjadi inkarnasi penuh, ia merasakan kembali sentuhan tanah dan akar sebagai bagian dari dirinya.
Tapi suara Persephone kembali terdengar, kali ini lebih tegas:
“Jangan terlena. Jalanmu masih panjang. Kau harus bersiap, Sho. Karena yang akan datang... Jauh lebih gelap dari yang pernah kau hadapi.”
Sho membuka matanya. Kilau matanya menyala sejenak dalam bayangan malam, seperti bara hijau di dalam gelap.
Ia menggenggam kalung kristal di dadanya, lalu menatap langit.
“Aku mengerti... Aku tidak akan berhenti. Demi Aria, demi dunia.”
Malam di taman terus berhembus, namun kini terasa sedikit lebih hidup.
Dan Sho... Tak lagi sendiri dalam keheningan.
---
Suara ranting kecil yang patah tiba-tiba terdengar dari balik semak taman.
Sho membuka matanya cepat, tubuhnya tegang secara refleks. Tapi sebelum ia bisa berdiri atau mengangkat siaga kalung kristalnya, sebuah bayangan melompat keluar dari semak dan—
“BOO!!”
“UWAH—!!”
Sho hampir melompat dari bangkunya. Wajahnya pucat, tubuhnya menegang, dan napasnya terengah. Butuh beberapa detik baginya untuk sadar siapa yang berdiri di depannya sambil menahan tawa.
“Aria!?” teriak Sho sambil memegangi dadanya.
Gadis berambut biru malam itu menahan tawa geli, matanya yang keemasan bersinar lembut terkena cahaya lentera taman. “Kau harus lihat wajahmu barusan. Benar-benar lucu.”
Sho menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detaknya yang seolah berpacu melawan genderang perang.
“Aku hampir saja mengeluarkan senjata ku...”
Tiba-tiba suara Persephone terdengar dalam benaknya, ketus dan kesal:
“Kalau saja itu Invader, kau sudah jadi debu. Bengong begitu dalam saat meditasi? Fokusmu lemah, Sho. Sangat lemah.”
Sho menutup matanya sejenak lalu menggerutu.
“Aku sedang mencoba menyatu dengan alam, bukan mempersiapkan pertarungan.”
“Alam pun bisa membunuhmu kalau kau ceroboh. Itu kenapa kau butuh aku... Dan penglihatan ekstra.”
Sho hanya menghela napas, lalu menoleh kembali pada Aria yang kini duduk di sampingnya di bangku batu taman.
“Aku tak bisa tidur,” kata Aria sambil menatap langit malam. “Kamar VIP, tempat tidur empuk, tapi... Tetap saja kepalaku penuh.”
Sho mengangguk pelan. “Aku juga. Makanya aku ke sini.”
Mereka berdua duduk dalam diam sejenak. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah dan dedaunan malam. Kota Vixen di kejauhan masih hidup, tapi di sini... Hanya ada mereka berdua.
Aria menyandarkan punggungnya ke bangku, lalu menoleh ke Sho.
“Entah kenapa... Aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Aku tidak tahu apa, tapi hatiku tidak tenang. Seperti ada... Bahaya yang belum terlihat.”
Sho menunduk. Ia bisa merasakan hal yang sama, meskipun tidak bisa menjelaskan. Setelah semua yang terjadi di desa Rivera, semuanya terasa seperti ketenangan sebelum badai.
Aria menatapnya lagi. “Hei... Jalan-jalan yuk. Hanya malam ini saja. Anggap ini istirahat sebelum misi besar.”
Sho memandangnya sejenak, lalu tersenyum lembut. “Baiklah. Jalan-jalan berdua tengah malam, dengan kemungkinan disergap bandit.”
Aria tertawa pelan. “Apa yang bisa mereka lakukan? Kita berdua High Human.”
Mereka berdua berdiri dan mulai melangkah perlahan keluar dari taman. Lentera-lentera kota menemani langkah mereka, cahaya hangatnya menciptakan bayangan yang menari di jalanan batu.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Persephone Dan Apollo... Tidak berkata apa-apa.
Tak ada bisikan, tak ada gangguan, tak ada sarkasme.
Malam itu hanya milik Sho dan Aria—dan damainya kota Vixen yang tertidur di bawah bintang-bintang.
---
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah jendela, membelai wajah Sho yang masih terlelap.
Pelan-pelan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya kabur, pikirannya samar. Ia duduk di tempat tidur dan mengusap wajahnya perlahan, mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya.
“...Aria?”
Hanya potongan kenangan yang muncul. Cahaya lentera taman. Senyum Aria yang lelah. Dan—
Ia menoleh ke arah lengannya, seolah bisa menghidupkan kembali ingatan itu.
Ya... Aria tertidur. Saat mereka jalan-jalan dimalam hari. Tanpa suara. Tanpa peringatan.
Sho sempat memanggilnya, menepuk pelan pipinya, tapi Aria hanya bergumam dan berguling seperti kucing yang malas.
Akhirnya, ia menggendongnya. Tak ada pilihan lain.
Aria ringan... Dan damai dalam tidurnya. Ia bawa gadis itu kembali ke Guild, membaringkannya di ranjang, lalu menutup selimut hingga ke bahunya. Setelah itu… Sho pun tertidur di kamarnya sendiri.
Itulah satu-satunya bagian yang ia ingat dengan jelas.
Sho menghela napas panjang dan berdiri. Ia merapikan rambut dan pakaian seadanya, lalu keluar dari kamar menuju lantai bawah.
Guild cabang Vixen kini sudah hidup sepenuhnya. Lantai utama ramai oleh para petualang dari berbagai ras dan wilayah, meja-meja dipenuhi dengan peta, makanan, dan perdebatan tentang taktik. Pelayan berlalu-lalang membawa nampan, sementara suara derit pintu dan logam bertabrakan menjadi musik pagi yang khas di tempat seperti ini.
Mata Sho segera menangkap sosok Aria.
Dia berdiri di depan papan misi besar—yang menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit Guild. Pandangannya serius, jari telunjuknya bergerak cepat dari atas ke bawah, seperti sedang menilai satu per satu misi dengan ketelitian seorang ahli strategi.
Sho berjalan menghampirinya.
Namun sebelum ia sempat membuka mulut...
“Ayo ambil misi ini!”
Aria tiba-tiba mencabut satu lembaran kertas dari papan dan membalikkan badannya cepat, menunjukkannya langsung ke wajah Sho dengan senyum percaya diri.
Sho mengerjap, lalu mengambil kertas itu dari tangannya.
[MISI PERINGKAT B] – PENYELIDIKAN TAMBANG BESI WESTMARK
Lokasi: Pegunungan Westmark, sebelah barat laut Vixen.
Deskripsi: Telah dilaporkan beberapa penambang hilang secara misterius di area goa tambang utama. Tidak ditemukan jejak perlawanan atau sisa-sisa korban.
Permintaan: Menyelidiki sumber hilangnya para penambang dan mengamankan lokasi bila ada ancaman.
Status: Prioritas Sedang.
Hadiah: 80 koin perak.
Sho menurunkan kertas itu dan menatap Aria.
“Pertambangan Ya?"
Aria mengangguk mantap. "Kita sudah terlalu lama diam. Dan ini cukup bagus untuk pemanasan. Bukan misi peringkat A, tapi juga bukan hal remeh.”
Sho tersenyum pelan. “Kalau kau yang memilih, ya sudah. Kita hadapi bersama.”
Aria mengedip. “Tentu. Lagipula, aku penasaran... Apa yang sebenarnya terjadi di tambang itu.”
Sho melipat kertas misinya, menyimpannya ke saku jubah, dan menatap langit-langit Guild sesaat. Entah mengapa... Hatinya sedikit berdebar.
Sebuah misi tingkat B.
Goa pertambangan yang mencurigakan.
Penambang menghilang tanpa jejak.
Dan tanpa mereka tahu, tambang itu... Sudah lama bukan milik manusia lagi.
Permukaan yang terlihat tenang kadang menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih dalam.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/