NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 27 Remake: Ramalan Takdir

Suasana di dalam Istana Vixen terasa megah namun hening. Langkah kaki Sho dan Aria terdengar jelas di lorong marmer putih yang berkilau, diiringi dentingan halus perhiasan emas yang menghiasi dinding. Udara di sana wangi—perpaduan aroma bunga lily dan kayu manis—membuat setiap tarikan napas terasa menenangkan, meskipun hati keduanya justru dipenuhi rasa penasaran.

Seorang pelayan istana, pria berusia sekitar empat puluh tahun dengan rambut yang disisir rapi ke belakang, berjalan di depan mereka. Mantelnya panjang, berwarna biru tua dengan bordiran perak berbentuk lambang Vixen di bagian dada. Ia membawa sebuah lentera kecil yang meskipun tak diperlukan di siang hari, tetap memberi cahaya hangat yang menenangkan.

“Ikuti saya, Tuan Sho, Nona Aria,” ucapnya dengan nada hormat namun datar.

Mereka menuruni sebuah lorong kecil di sisi barat istana, lalu keluar melalui pintu lengkung yang terbuat dari kayu gelap. Di luar, angin musim semi bertiup lembut, membawa aroma segar dedaunan dan bunga yang tumbuh di taman istana. Di kejauhan, berdiri sebuah menara kecil, tak setinggi menara pengawas, namun bentuknya ramping dan elegan, dengan atap runcing berlapis tembaga yang memantulkan cahaya matahari.

Langkah-langkah ringan pelayan istana memantul lembut di koridor marmer putih. Sepanjang perjalanan, Sho dan Aria mengikuti di belakangnya, melewati lorong-lorong berhias permadani merah dan pilar-pilar tinggi yang diukir dengan simbol kerajaan Vixen. Aroma wangi bunga musim semi samar tercium dari taman di luar jendela kaca besar yang mereka lewati, membuat udara terasa segar namun tegang.

Pelayan itu akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan tinggi yang berdiri di sisi barat istana. Menara itu tidak besar, namun bentuknya ramping dan anggun, berdiri seolah menyendiri namun tetap menjadi bagian dari kompleks kerajaan.

“Menara ini,” ujar sang pelayan sambil menatap ke atas, “adalah kediaman pribadi Nyonya Zenith. Dibangun khusus oleh Yang Mulia Raja Noah sendiri, demi memastikan beliau memiliki tempat yang tenang untuk memusatkan pikirannya.”

Pintu kayu menara berukir lambang matahari dan bulan dibuka perlahan. Begitu Sho dan Aria melangkah masuk, perubahan suasana langsung terasa. Udara di dalam menara lebih hangat, namun menyimpan getaran halus yang sulit dijelaskan—campuran aroma teh melati, kayu manis, dan sesuatu yang lebih samar, seperti energi sihir yang merayap di balik indera.

Di tengah ruangan bundar yang sederhana namun elegan, seorang wanita duduk dengan tenang. Zenith—nama itu langsung terpatri di benak Sho. Ia adalah sosok yang memancarkan wibawa dan kelembutan sekaligus. Rambut pirangnya memantulkan cahaya lilin seperti untaian sutra emas, sementara mata hitamnya memandang lurus namun tidak menusuk, seolah menembus lapisan-lapisan hati tanpa membuatnya terasa mengancam. Gaun berwarna putih gading dengan bordiran perak membalut tubuhnya, jatuh anggun hingga menyentuh lantai.

Di meja bundar di hadapannya, tiga cangkir teh porselen beruap tipis, aroma harum melayang di udara. Seakan ia telah mengetahui kedatangan mereka bahkan sebelum mereka melangkah ke pintu.

“Silakan duduk,” ucapnya lembut namun tegas, suaranya seperti nada biola yang menenangkan.

Sho dan Aria saling melirik sebentar sebelum menuruti. Hangatnya cangkir di tangan, rasa teh melati yang halus dan manis menyentuh lidah mereka.

“Teh ini sudah ku persiapkan khusus untuk kalian berdua,” kata Zenith, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Sebab, kita akan membicarakan hal yang tidak ringan. Sho Noerant. Aria Pixis. Kalian akan mengemban tugas yang berat di masa mendatang—sesuatu yang akan menguji tidak hanya kekuatan, tapi juga hati kalian.”

Keheningan singkat jatuh di antara mereka. Hanya suara api dari lilin dan dengung halus dari dinding batu yang terdengar. Sho memandang ke arah Aria, yang meneguk teh tanpa komentar, namun matanya menyiratkan kewaspadaan.

Setelah cangkir mereka kosong, Zenith bangkit dengan gerakan anggun dan memberi isyarat. “Ikuti aku.”

Mereka menaiki tangga spiral yang melingkar ke atas. Setiap langkah membawa perubahan pada udara—semakin tinggi mereka, semakin terasa ketenangan yang menenangkan jiwa.

Di lantai atas, ruangan terbuka menanti mereka. Lantai kayu gelap dipoles halus, cahaya lilin memantulkan kilau hangat di seluruh sudut. Aroma bunga kering dan resin memenuhi udara, menambah rasa damai yang tak biasa.

Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja bundar kecil. Di atasnya, sebuah mangkuk kaca transparan berisi butiran-butiran emas murni yang memancarkan cahaya lembut akibat pantulan lilin di sekitarnya.

Zenith berjalan mendekat, jemarinya yang ramping menyentuh mangkuk itu dengan hati-hati. Ia mengangkatnya, lalu dengan gerakan perlahan, menuangkan seluruh butiran emas ke udara.

Tanpa gravitasi yang menahan, butiran emas itu melayang dan beterbangan, berkilauan seperti bintang-bintang mini yang memenuhi ruangan. Cahaya mereka berpendar di kulit Sho dan Aria, memantul di mata mereka seperti serpihan matahari.

Zenith berdiri membelakangi pusaran cahaya emas itu, gaunnya berkibar halus oleh hembusan energi yang muncul. Matanya kini tampak lebih dalam, seolah menyimpan rahasia yang tak boleh disentuh.

“Apakah kalian siap,” suaranya bergema lembut namun membawa bobot yang berat, “...untuk ramalan masa depan yang akan datang?”

Butiran-butiran emas itu berputar pelan di udara, membentuk lingkaran seperti gugusan bintang di langit malam. Satu per satu, cahaya mereka merekah, memanjang, lalu menyatu menjadi tiga jendela bercahaya keemasan yang melayang di udara. Setiap jendela seakan menjadi pintu menuju suatu dunia lain—masa depan yang belum terjadi.

Zenith berdiri di antara mereka, gaunnya berkibar tipis terkena angin yang entah dari mana datangnya. “Tiga masa depan,” ucapnya dengan nada lembut namun tegas. “Tiga kemungkinan... Yang akan bergantung sepenuhnya pada pilihan kalian.”

Ia menunjuk ke jendela pertama.

Gambaran kelam terhampar di sana. Langit merah darah, tanah retak dan menghitam. Tak ada satu pun tanda kehidupan manusia. Bangunan-bangunan besar runtuh menjadi puing. Di antara reruntuhan, makhluk-makhluk Invader berkeliaran, memenuhi daratan yang dulunya pernah disebut Bumi.

“Jika ini yang terjadi...” Suara Zenith merendah, “maka seluruh umat manusia akan lenyap. Tidak akan ada yang tersisa... Bahkan harapan.”

Kemudian, Zenith mengalihkan tangannya ke jendela kedua.

Cahaya emas di dalamnya berubah menjadi pemandangan kemenangan. Invader tidak lagi terlihat. Langit kembali biru, udara terasa segar. Namun di tengah daratan luas yang sepi itu... Berdirilah satu sosok. Sho—seorang diri. Wajahnya pucat, matanya kosong, tanpa siapa pun di sisinya.

“Ini adalah masa depan di mana umat manusia menang,” ujar Zenith pelan, “tapi... Kemenangan itu dibayar dengan harga yang tak terbayangkan. Kau, Sho, akan menjadi satu-satunya manusia yang tersisa.”

Akhirnya, ia menatap jendela ketiga.

Di sana, Sho dan Aria berdiri berdampingan, bahu mereka hampir bersentuhan. Di samping mereka, tiga figur lain berdiri, tapi wujudnya kabur—seolah diselimuti kabut. Di depan kelompok itu, sebuah makhluk yang tak menyerupai Invader berdiri. Tubuhnya seperti bayangan yang terus bergerak, tak memiliki bentuk pasti, memancarkan aura kacau yang membuat udara di sekitar jendela itu bergetar.

Zenith terdiam, matanya sedikit melebar.

“...Mustahil...” Bisiknya.

Sho dan Aria saling berpandangan, bingung dengan perubahan ekspresinya.

“Ini... Pertama kalinya ramalanku bergetar,” lanjut Zenith, suaranya agak tegang. “Makhluk itu... Bukan Invader. Itu adalah sesuatu yang... bahkan aku tak mampu memprediksi asal-usulnya.”

Sho hanya menatap ketiga jendela itu dengan rahang mengeras. Aria, di sisi lain, merasa tubuhnya mulai bergetar. Gambaran kehancuran dan kesepian itu menusuknya lebih dalam dari yang ia kira. Namun, getaran itu perlahan berhenti ketika Sho tanpa ragu menggenggam tangannya erat—hangat, tegas, dan seolah memberi janji tanpa kata.

Aria menatapnya, dan untuk sesaat... Ia lupa ketakutannya.

Suara Apollo terdengar dari dalam diri Aria, penuh nada kagum bercampur godaan.

“Hah... Kekasihmu ini terlihat sangat keren, Aria,” ujarnya dengan nada menggoda. “Tekadnya... Bahkan membuatku ingin bertaruh padanya.”

Aria merona, tapi ia tak membalas. Matanya tetap tertuju pada genggaman itu.

Di sisi lain, Persephone berbicara di dalam hati Sho, suaranya lembut namun mengandung peringatan.

“Sho... Ini tidak akan mudah. Jalan yang akan kau tempuh dipenuhi darah, air mata, dan pengkhianatan. Jika kau ingin melindungi mereka... Kau harus menjadi jauh lebih kuat dari yang kau bayangkan.”

Sho mengangguk pelan, seolah menjawab tanpa kata.

Zenith memandangi keduanya, lalu melambaikan tangannya. Tiga jendela itu perlahan memudar, menyisakan hanya butiran emas yang berjatuhan ke lantai seperti debu cahaya. Suasana menjadi sunyi, hanya terdengar detak jantung masing-masing.

Dan di tengah kesunyian itu, tekad mereka mulai terbentuk.

1
That One Reader
baiklahh udah mulai terbayang wujud dan sifat karakternya
That One Reader
hmmm... "matanya masih merah, bukan karena kekuatannya", "Kekuatan" yang dimaksud gimana yh? tapi awal ketemuan sama Aria lumayan berkesan sii
That One Reader
welp.. prolognya okee
Sandra
simingit kikik:v
Cyno
Semangat author
Cyno
Ceritanya seru
Cyno
kalau sho bisa mengubah bident sesuka hati apa nanti aria bisa mengubah bow dia juga? menarik
J. Elymorz
Huhuu shoo/Cry/
Sandra
anjay pahlawan datang tapi bapaknya Aria... :(
Sandra
aku ga tau mau komen apa tapi mau lanjut!!
Sandra
kereennn!! semangat kak!!!
J. Elymorz
sho.. hikss /Cry//Cry/
J. Elymorz
omaigatt di remake, apakah alur ceritanya lebih ke arah romance? hmmzmz/Applaud//Applaud/
J. Elymorz
lucuuuu
J. Elymorz
lucuuuu, sifat mereka berbanding terbalik
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
J. Elymorz
si krepes dateng tiba-tiba banget plss, krepes jangan jadi beban yh/Grievance//Grievance/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!