Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 TIGA HARI PENENTUAN
Layar laptop menyala sejak subuh. Berkas demi berkas terbuka: daftar hadir kelas, cap waktu e-learning, rekaman rapat donor, foto kegiatan anak-anak. Jari Amara menari di keyboard, menyusun bukti dengan teliti. Matanya merah, tapi sorotnya penuh api.
“Kerja adalah jawabanku,” bisiknya pelan, mengulang kalimat yang ia tulis di secarik catatan.
Rani dan Indra datang membawa map tebal. “Ini pernyataan saksi tertulis. Dosen moderator sudah tanda tangan. Kami juga sertakan kronologi forum kemarin.”
Amara menerima map itu, tangannya sedikit bergetar. “Kalian… benar-benar membantuku.”
Rani tersenyum. “Kau tidak sendirian lagi, Mar.”
Indra menambahkan, “Kebenaran tidak perlu ramai, yang penting konsisten.”
Amara menunduk, air matanya hampir jatuh. Ia menahan, lalu mengangguk mantap.
Di sisi lain kampus, Selvia duduk di kafe, menatap layar ponselnya. Wajahnya cemas, tapi bibirnya berusaha tetap tersenyum. Ia sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang.
“Pastikan testimoni tambahan masuk. Katakan kau pernah lihat Amara keluar malam dengan Davin. Tak perlu bukti foto, cukup narasi.”
Suara di ujung telepon menjawab ragu, “Kalau mereka minta bukti?”
“Bilang saja ponselmu rusak. Yang penting rumor itu hidup.”
Selvia menutup telepon, meneguk minumannya. “Amara, kau pikir bisa menang hanya dengan dokumen? Dunia lebih percaya gosip.”
Malam pertama, Amara hampir jatuh tertidur di depan laptop. Bagas masuk tanpa suara, menaruh secangkir teh hangat di meja.
“Kau sudah seharian tidak berhenti,” katanya datar.
Amara mendongak, tersenyum lemah. “Aku tidak punya pilihan. Tiga hari terasa seperti tiga detik.”
Bagas menatap layar penuh bukti, lalu menoleh pada Amara. “Tiga hari cukup kalau kau isi dengan langkah rapi. Jangan habiskan semuanya untuk takut.”
Kata-kata itu sederhana, tapi menusuk. Amara mengangguk pelan. Ia menyeruput teh itu, hangatnya menenangkan dada.
Hari kedua, gosip baru muncul di forum mahasiswa. Seseorang menulis bahwa ia melihat Amara bertemu Davin larut malam di dekat hotel kota. Tidak ada foto, hanya narasi panjang. Namun komentar ramai bermunculan.
“Pantas sidang panjang, ternyata gosip benar.”
“Kalau tidak ada foto, bisa saja bohong.”
“Tapi kalau gosipnya terus muncul, pasti ada asap.”
Amara membaca dengan jantung perih. Rani menepuk pundaknya. “Biarkan saja. Mereka hanya berusaha mengganggu fokusmu. Bukti kita lebih kuat.”
Indra mengangguk. “Jangan biarkan kata-kata kosong mengalahkan data.”
Amara menghela napas panjang. “Baik. Kita terus jalan.”
Hari ketiga, semua bukti sudah tersusun dalam map tebal. Amara menaruhnya di tas, duduk sebentar di balkon rumah aman bersama ibunya.
“Ibu takut?” tanyanya pelan.
Ibunya menoleh, menatap langit senja. “Tentu. Tapi aku lebih takut kalau kamu berhenti. Karena itu berarti mereka berhasil.”
Amara menggenggam tangan ibunya erat. “Aku tidak akan berhenti. Aku berjanji.”
Menjelang malam, pesan anonim kembali masuk ke ponselnya: “Besok kau akan tahu rasanya ditinggal semua orang. Mereka tidak akan percaya bukti, mereka percaya gosip. Siapkan dirimu.”
Amara menutup layar, dadanya berdegup. Ia hampir gemetar, tapi kemudian ia mengingat semua yang berdiri di sisinya: Rani, Indra, ibunya, bahkan Bagas. Ia menuliskan kalimat terakhir di buku catatannya sebelum tidur.
“Mereka ingin aku takut. Tapi aku memilih percaya. Jika kebenaran kalah besok, itu hanya sementara. Aku akan terus berdiri sampai gosip kehabisan napas.”
Ia menutup buku itu, lalu memejamkan mata. Tiga hari sudah berakhir. Esok, keputusan majelis akan menentukan jalan hidupnya.
Di ruang tamu rumah aman, map bukti bertumpuk di meja. Amara memandangi semuanya dengan tatapan lelah. Punggungnya terasa kaku setelah berhari-hari duduk, tapi hatinya sedikit lega: potongan demi potongan sudah ia susun.
Arman masuk, menaruh amplop besar. “Ini hasil forensik dari tim IT independen. Mereka mengonfirmasi rekaman Davin asli, tidak ada manipulasi.”
Amara menerima amplop itu, tangannya bergetar. “Ini… bisa jadi titik balik.”
Arman mengangguk. “Bukti ini akan sulit dibantah di depan majelis.”
Amara menutup mata, menarik napas panjang. Di dalam dirinya, ada rasa syukur bercampur cemas.
Sementara itu, di kamar asramanya, Selvia duduk di lantai dengan ponsel di tangan. Wajahnya pucat, keningnya berkeringat. Ia baru saja mendapat pesan dari kontak tak dikenal: “Hati-hati. Kalau rekaman Davin dipakai, namamu bisa terseret. Jangan ceroboh.”
Selvia menggigit bibir. Untuk pertama kali, keyakinannya goyah. Ia meremas ponsel, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Tidak mungkin aku kalah. Tidak mungkin…”
Namun jauh di dalam hatinya, benih takut mulai tumbuh.
Hari terakhir sebelum sidang, Amara berjalan di koridor kampus. Bisikan masih ada, tapi kali ini tidak sekeras dulu. Beberapa mahasiswa bahkan menyapanya singkat.
“Semangat, Amara.”
“Kami baca artikel yayasan, bagus sekali.”
Amara tersenyum kecil. Ia tahu tidak semua percaya, tapi setidaknya sudah ada suara lain yang mulai muncul. Itu cukup untuk memberinya energi.
Rani menghampirinya. “Besok kita bersama-sama di aula. Jangan khawatir. Kamu tidak sendirian.”
Indra menambahkan, “Kalau mereka menyerang lagi, kita hadapi dengan fakta. Kita tidak takut.”
Air mata Amara hampir pecah, tapi ia menahan. “Terima kasih. Kalian alasan aku masih kuat.”
Malam menjelang. Amara duduk di kamar, lampu meja menyala lembut. Ia membuka buku catatannya.
“Tiga hari terasa seperti tiga tahun. Mereka menabur gosip, aku menyiapkan bukti. Mereka menyebar ketakutan, aku belajar percaya. Besok aku duduk di kursi sidang, membawa bukan hanya diriku, tapi juga kepercayaan orang-orang yang berdiri di sisiku. Aku akan datang bukan sebagai korban, tapi sebagai seseorang yang memilih untuk melawan.”
Ia menutup buku itu, lalu menatap jendela. Bulan menggantung pucat di langit. Di luar, malam berisik dengan suara kendaraan, tapi di dalam dadanya hanya ada satu hal: tekad.
Esok, segalanya akan ditentukan.
Menjelang tengah malam, rumah aman terasa sunyi. Amara masih duduk di meja kecil dengan map terbuka. Lampu kuning membuat wajahnya tampak lebih pucat, tapi matanya tetap menyala. Ia membolak-balik kertas terakhir—surat dokter yang menyatakan kondisi ibunya sehat.
Suara pintu berderit. Bagas muncul, tidak memakai jas, hanya kemeja sederhana. Ia bersandar di pintu, menatapnya lama. “Kau tidak tidur?”
Amara tersenyum tipis. “Kalau aku tidur, pikiran ini akan semakin bising.”
Bagas masuk, menaruh sebuah USB kecil di atas meja. “Ini salinan cadangan semua bukti. Kalau ada yang mencoba mengganggu file di laptopmu, gunakan ini.”
Amara menatap benda itu lama, lalu mendongak. “Terima kasih… Kau selalu datang di saat aku hampir goyah.”
Bagas tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan sorot mata yang tak biasa—hangat, namun tetap menyimpan jarak.
Setelah Bagas pergi, Amara membuka buku catatannya. Pena berlari cepat di atas halaman.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi aku tahu aku sudah menyiapkan segalanya. Bukti, saksi, bahkan keberanian. Jika mereka tetap menjatuhkanku, aku tidak akan menyesal, karena aku berdiri dengan jujur. Dan kalaupun aku jatuh, aku akan bangun lagi. Gosip bisa berlari cepat, tapi kebenaran punya napas panjang.”
Ia menutup buku itu dengan tenang.
Untuk pertama kalinya sejak badai itu dimulai, Amara membaringkan tubuhnya tanpa gemetar. Ia tahu mimpi mungkin penuh bayangan, tapi pagi akan datang, membawa satu ujian besar yang tak bisa ia hindari.
Esok, kursi sidang menantinya—dan ia berjanji pada dirinya sendiri: kali ini ia akan duduk dengan kepala tegak.