Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Buangan
Rahim Bayaran #27
Oleh Sept
Kediaman Agam.
Setelah pulang dari rumah sakit. Mereka langsung menuju rumah. Agam akan membiarkan Dira untuk istirahat terlebih dahulu di kediamannya.
"Kamu di rumah saja!" titahnya pada Dira yang masih terlihat cemas, mungkin takut Denis akan datang ke rumah itu kemudian menerkamnya lagi.
"Mas mau ke mana?"
"Jangan kuatir, ada Bibi dan penjaga rumah." Agam tahu, Dira mungkin masih ketakutan. Tapi ia tetap harus mengejar Denis. Sebelum adiknya itu pergi menjauh.
Dira sendiri kini memindai seluruh kamarnya, sudah bersih dan rapi. Tetesan darah yang semalam tercacar di atas lantai kini sudah tidak ada lagi. Bibi pasti sudah membersihkan seluruh kamarnya.
"Bik ... Bibik!" teriak Agam memanggil asisten rumah tangganya.
Dari depan Bibi terburu-buru masuk ke kamar Dira. Wanita itu terlihat lega, saat tahu Dira sudah pulang.
"Bik ... saya titip Dira!"
"Baik, Tuan."
"Jika Denis ke sini, langsung hubungi nomor Saya!"
"Baik, Tuan!"
Setelah mengatakan pesan pada Bibi, kini ia melihat Dira sekilas. Kemudian bergegas menuju mobil. Sepertinya ia tahu, anak itu berlindung di mana.
Dengan kekuatan penuh, Agam langsung memacu mobilnya. Menuju sebuah hunian yang lebih mirip dengan sebuah istana.
Begitu sampai parkiran rumah mewah tersebut, Agam langsung masuk. Diliriknya sekilas para pengawal rumah yang sedang siap siaga.
Sementara itu di dalam rumah. Terlihat seorang pria yang sudah tua, dapat dilihat dari rambutnya yang sudah memutih sempurna.
"Pa ... di mana Papa sembunyikan keberadaan anak itu?" Baru juga sampai rumah ayahnya, ia langsung memberondong pertanyaan pada ayahnya tersebut.
"Biar aku yang mengurusnya!" tuturnya dengan tenang.
"Ini pertanyaan terakhir, di mana Papa sembunyikan anak haram itu?" Agam mulai tersulut emosi.
Papa pun tersenyum tipis, rupanya Agam sangat mirip sekali dengan dirinya. Satu tak pernah cukup.
"Jangan keras kepala, serahkan ini pada Papa!"
Tidak sependapat dengan Tuan Salim, Agam pun langsung naik ke lantai dua. Pasti Denis di sini. Mau ke mana lagi anak itu. Semua tempat mangkalnya Denis sudah ia datangi namun tak ada jejak keberadaannya.
Ini adalah tempat persembunyian terakhir. Dengan gusar ia pun langsung menuju kamarnya.
Klek klek klek
Digerakkannya handle pintu, kamarnya terkunci rapat dari dalam.
"Bik ... Bibik!" teriaknya kencang.
Seorang pelayan dengan seragam ART datang terhuyung-huyung mendekati Agam.
"Iya ... Tuan Muda!"
"Tolong ambilkan kunci untuk kamar ini!" Agam menatap kamar lamanya dengan gusar. Hanya di situlah Denis selama ini seperti dianggap keberadaannya oleh sang kakak. Sebab, di rumah itu. Hampir semua menganggap Denis tak ada.
"Tapi Tuan ...!"
"Ambilkan sekarang!" sentak Agam yang sudah tersulut emosi sejak tadi.
"Kata Tuan besar ...!"
Karena Agam melotot padanya, ART tersebut langsung mengambil kunci dari saku bajunya.
Bibi ART itu pun memberikan kunci cadangan pada Agam. Padahal, Tuan Salim sudah melarang dirinya sebelumnya.
Karena sorot mata Agam yang tajam dan terasa menusuk membuat Bibi kalang kabut. Ia pun memilih menyerahkan kunci itu dan bergegas kabur.
Setelah mendapat kunci cadangan, Agam langsung membuka pintu kamar itu. Dilihatnya Denis yang berdiri dan berjalan mundur saat ia datang mendekatinya.
"Bregsekk!" BUGH
Agam langsung meninju perut pemuda itu, ia teringat darah yang tercacar di lantai kamar Dira. Dan suara pukulan demi pukulan kembali terdengar.
Agam benar-benar membuat Denis membayar semua kontan tanpa dicicil.
Dengan tega ia memukuli saudara seayahnya itu. Tanpa rasa kasian, dan lihat anak itu.
Hidungnya sudah mengeluarkan darah segar yang kental, ditambah lagi bibirnya. Mungkin ada luka robek di sana. Agam sepertinya lepas kendali.
"Maafin Denis, Mas!" ucap pemuda yang sudah babak belur tersebut dengan lirih. Tubuhnya sudah ringsek di atas ubin yang dingin, sending hati Agam saat ini.
Masih kesal, Agam meraih kerah baju Denis. Menyeretnya ke lantai bawah.
Sedangkan di lantai tiga, Mama hanya menatap keributan itu. Bibirnya mengulas senyum kemenangan.
Ia terlihat senang menyaksikan anak haram itu dihajar habis-habisan oleh putranya sendiri. Sudah puluhan tahun ia memendam dendam dan kebencian yang besar pada ibu dari pemuda itu.
Kini setidaknya, luka hatinya sedikit terobati. Lewat Agam, ia bisa tersenyum penuh arti.
Di lantai dasar.
Papa masih duduk di tempatnya, kopi di depannya bahkan sudah kosong ia habiskan. Mungkin sedari tadi ia diam saja mendengar keributan di atas.
Akan tetapi, telinganya tetap terpasang. Menangkap apa yang sedang terjadi antara dua anaknya itu.
Ia tersenyum tipis, Agam memang poto kopinya. Tapi ia tak menduga, putranya yang lain berani main-main dengan wanita dari saudaranya sendiri.
"Berkencanlah dengan banyak wanita, tapi rumahmu tempat kembali hanya satu. Berkencanlah dengan wanita mana saja, tapi jangan wanita saudaramu sendiri, bodoh!" gumam Tuan Salim. Tangannya kini sibuk membolak balik lembar surat kabar yang ada di pangkuannya.
Saat dua putranya itu kini berada tak jauh darinya, pandangan Tuan Salim mulai teralihkan.
Ia pun menyingkirkan surat kabar yang semula ia baca. Dilihatnya satu persatu wajah putranya.
Ia mendesis.
"Pulanglah! Biar Denis aku urus!" perintahnya.
Agam seolah tak mendengar perkataan sang Ayah. Ia malah menyeringai pada Denis, mungkin masih ingin menghajar anak itu.
BUGH!
Sebuah bogem mentah ia luncurkan kembali ke muka Denis. Hal itu membuat Denis makin penyok. Hilang sudah wajah yang rupawan itu.
"Agam! Cukup!"
Teriak Tuan Salim, jelek-jelek gitu Denis masih putranya. Meski putra yang jarang dianggap.
Hidung Agam masih kembang kempis, melihat Denis ingin rasanya ia menghajar pria itu.
"Denis! Kemasi barang-barangmu ... Malam ini juga berangkatlah ke Batam!"
"Pa ...!" Mata Denis langsung mengembun dan terasa perih.
Di Batam hanya ada kerabat jauh dari almarhum ibunya. Bila ia disuruh pergi ke sana. Artinya ia benar-benar sudah di buang dari keluarga Salim Wijaya.
Sebenarnya Agam kasihan, tapi. Bila mengingat perlakuan Denis pada istrinya. Hilang sudah rasa ibanya pada anak itu.
Biar sekalian saja, kalau anak itu pergi. Tidak akan ada yang mengusik istrinya lagi.
"Pulanglah!" titah Tuan Salim pada Agam.
"Papa akan mengurusnya!" tambah Tuan Salim yang melihat rasa ketidakpuasan dari putranya itu.
Sedangkan Denis, pria itu kini tengelam dalam penyesalan.
Hanya karena khilaf, kini ia benar-benar dibuang dari keluarga besar Salim. Menyesal, tapi sudah terlambat.
Menjadi anak buangan mungkin sudah digariskan Tuhan pada diri Denis.
Mungkin inilah yang terbaik, sebab kehadiran dirinya di dalam keluarga itu memang tak pernah dianggap!
Bersambung
Selalu dukung author ya, dengan like Komen dan vote. Terimakasih. lope lope sekebun cabe.
Yuk kenalan sama penulis Rahim Bayaran.
Instagram : Sept_September2020
i