NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Toura, Until We Meet Again

Tanpa diduga, Ikaeda dengan cepat mengambil pedang usang yang tergenggam erat di tangan Yena. Gerakannya begitu tiba-tiba hingga Yena sendiri terkejut dan hanya bisa menatap dengan bingung. Ikaeda menghunus pedang itu dengan tenang, meskipun permukaannya tampak berkarat dan kurang terawat. Ia menghadap ke arah teman-teman Yena yang angkuh, tatapannya dingin dan menantang.

"Jadi, pedang usang, ya?" tanya Ikaeda dengan nada meremehkan, menanggapi ejekan wanita berambut panjang tadi. "Setidaknya pedang ini memiliki pemilik yang lebih berani daripada lidah-lidah tajam kalian."

Seorang pria di antara mereka tertawa sinis. "Lihatlah, ada pahlawan kesiangan yang membela gadis pecundang ini. Kau siapa, bocah?"

"Aku adalah seseorang yang tidak suka melihat orang lain direndahkan hanya karena mereka berbeda atau sedang kesulitan," jawab Ikaeda dengan tenang namun penuh penekanan. "Dan sepertinya, kalian semua perlu belajar sedikit tentang sopan santun."

Ejekan dan cibiran kembali terdengar dari kelompok itu, namun Ikaeda tidak gentar. Ia membalas setiap perkataan merendahkan dengan jawaban yang dingin dan menusuk, membuat lawan-lawannya semakin geram.

Sementara itu, Yena hanya bisa merunduk dalam diam, merasakan kesal dan malu yang bercampur aduk. Ia sudah terbiasa menjadi sasaran rundungan dan dipermalukan di tempat ini, dan kehadiran Ikaeda yang tiba-tiba membelanya membuatnya merasa semakin tidak nyaman dan tidak berdaya.

Alih-alih mengucapkan terima kasih, Yena justru melayangkan tamparan keras ke pipi Ikaeda. Air mata tertahan di pelupuk matanya saat ia merebut pedangnya kembali dengan kasar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Yena berbalik dan berlari meninggalkan Ikaeda yang terkejut dan memegangi pipinya yang terasa panas. Melihat Yena pergi dengan air mata yang akhirnya tumpah, Ikaeda segera menyusulnya.

Ia menemukan Yena duduk terisak di tepi air mancur yang tenang. "Yena, ada apa sebenarnya?" tanya Ikaeda dengan nada lembut, mencoba memahami reaksinya yang tiba-tiba. "Kenapa kau tidak melawan mereka? Kenapa kau membiarkan mereka merendahkanmu seperti itu?"

Yena mendongak, wajahnya basah oleh air mata. "Karena... karena aku memang tidak mahir," jawabnya terisak. "Percuma saja aku melawan. Ujung-ujungnya aku akan kalah dan semakin dipermalukan."

Mendengar keputusasaan dalam suara Yena, Ikaeda berlutut di hadapannya. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku menjadi timmu?" tawar Ikaeda dengan tulus. "Ada pertarungan antar tim nanti, kan? Kita bisa ikut bersama."

Yena menggelengkan kepalanya lemah. "Tidak, Ikaeda. Kau tidak mengerti. Aku hanya akan menjadi beban untukmu. Kau lihat sendiri bagaimana aku bertarung tadi..."

"Aku tidak peduli," sela Ikaeda dengan tegas. "Yang penting kita bertarung bersama. Kalah atau menang itu urusan nanti, bukan?" Yena hanya bisa terisak sambil mengusap air matanya, masih diliputi rasa tidak percaya dan kepedihan.

Setelah beberapa saat saling berbagi kepedihan dan menemukan sedikit harapan, Yena dan Ikaeda kembali menghampiri kelompok yang tadi merundung Yena. Kali ini, ada perubahan drastis dalam diri Yena. Dengan dagu terangkat dan tatapan mata yang penuh keyakinan, ia menantang mereka untuk melakukan pertarungan antar tim yang akan segera diadakan. "Kami menantang kalian untuk pertarungan antar tim," serunya lantang, suaranya bergetar namun penuh tekad.

Tak hanya itu, Ikaeda menambahkan tantangan yang lebih mengejutkan. Dengan tenang ia berkata, "Bahkan, kami berdua akan melawan kalian semua."

Yena menoleh pada Ikaeda dengan mata terbelalak, terkejut dengan improvisasi mendadak ini. "Hei! Ini tidak sesuai rencana!" bisiknya dengan nada panik.

Namun, Ikaeda hanya berkedip sebelah mata dan tersenyum tipis penuh keyakinan. Yena hanya bisa menatap datar pada pemuda di sampingnya, mencoba memahami maksud di balik tindakannya.

Mendengar tantangan yang dianggap tidak masuk akal itu, kelompok perundung tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Kalian berdua melawan kami berenam? Mimpi saja sana!" ujar salah satu pria dengan nada mengejek. Namun, setelah saling bertukar pandang, mereka menyeringai dan menyetujui tantangan tersebut. "Baiklah! Kami berenam akan menjadi satu tim melawan kalian berdua. Jangan menyesal nanti!"

Di luar, Ikaeda terlihat tenang dan penuh percaya diri. Namun, di dalam hatinya, ia sedang memutar otak mencari cara untuk menghadapi enam orang tanpa melukai mereka secara serius. Sementara itu, Yena yang melihat ketenangan Ikaeda meskipun situasi tampak mustahil, mulai merasakan kekaguman yang tak terduga pada pemuda di sampingnya.

Pertarungan antar tim pun dimulai dengan sorak sorai penonton yang antusias. Ikaeda dan Yena bergerak dengan semangat yang baru membara, bahu-membahu menghadapi keenam lawan mereka yang tampak meremehkan. Beberapa kali, wanita berambut panjang yang sebelumnya mengejek Yena kini mencoba mengalihkan perhatian Ikaeda. "Hei, manis! Kenapa pedangmu masih tersarung begitu? Bukankah lebih seru kalau kita bertarung dengan sungguh-sungguh?" godanya dengan senyum licik.

Ikaeda, yang berusaha fokus pada pergerakan lawan-lawannya, tiba-tiba mengangkat tangan kirinya untuk menutupi matanya. Gaya bertarungnya menjadi aneh dan tidak terduga. "Ma-maaf," gumam Ikaeda kikuk, "pakaian kalian... agak terlalu terbuka. Aku jadi tidak fokus." Lawan-lawannya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah aneh pemuda itu. "Astaga! Dia benar-benar culun!" ejek salah satu pria. Wanita berambut panjang itu semakin gencar menggoda Ikaeda, bergerak mendekat dengan gerakan sensual. "Ayolah, tampan. Jangan malu-malu. Lihatlah aku baik-baik."

Yena, yang sedari tadi berusaha keras bertahan dari serangan lawan lainnya, melihat Ikaeda yang tampak kebingungan dan digoda habis-habisan. Sebuah perasaan aneh, bercampur antara kesal dan cemburu, tiba-tiba menyeruak di hatinya. Dengan gerakan cepat dan sedikit kasar, Yena melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah wanita yang menggoda Ikaeda, berusaha menjauhkannya dari pemuda itu. "Hei! Jangan sentuh-sentuh dia!" teriak Yena dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, membuat Ikaeda sedikit terkejut dan membuka sedikit celah di antara jari-jarinya.

Saat Yena dengan sengit berusaha menjauhkan wanita penggoda dari Ikaeda, ia lengah sekejap. Salah seorang pria dari tim lawan memanfaatkan kesempatan itu dan melayangkan serangan keras ke punggung Yena. Gadis itu langsung meringis kesakitan dan terhuyung ke depan.

Melihat Yena terluka, mata Ikaeda yang tadinya tertutup sebagian langsung terbuka lebar, menunjukkan kemarahan yang membara. "Kalian!" serunya dengan nada rendah dan mengancam. "Kenapa kalian melukai Yena separah ini?!"

Salah seorang dari mereka menyeringai sinis. "Salah sendiri lengah. Ini pertarungan, bocah. Tidak ada aturan khusus untuk bersikap manis." Yang lain menambahkan dengan nada mengejek, "Lagipula, dia memang lemah. Pantas saja selalu kalah."

Mendengar jawaban dingin dan meremehkan itu, Ikaeda mengepalkan tangannya erat-erat. Dengan gerakan cepat, ia melempar pedang usang Yena ke tanah dengan bunyi berdebap. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari kebingungan dan kecanggungan menjadi dingin dan serius. Aura yang menguar dari tubuhnya tiba-tiba terasa mengancam. "Baiklah kalau begitu," desis Ikaeda pelan, matanya menatap tajam keenam lawannya. "Kalau kalian ingin bermain kasar, aku akan meladeni kalian dengan caraku sendiri." Ia bersiap dalam posisi bertarung tanpa senjata, siap menghadapi mereka dengan tangan kosong.

Aura di sekitar Ikaeda berubah drastis, dari keraguan menjadi tekanan yang tak terlihat namun terasa mengintimidasi. "Kalian berenam," ucap Ikaeda dengan suara dingin yang menusuk, "serang aku semua. Sekarang." Tatapannya menyapu keenam lawannya, tanpa sedikit pun rasa takut.

Mendengar tantangan itu, mereka berenam semakin bersemangat dan menyerbu Ikaeda secara bersamaan. Senjata mereka terayun brutal, mencoba menghantam tubuh pemuda itu dari berbagai arah. Pedang, tombak, dan gergak bergerak cepat, namun setiap serangan dengan mudah dihindari oleh Ikaeda dengan gerakan lincah dan presisi yang mencengangkan. Bahkan, dengan gerakan membalikkan badan, menepis, atau mendorong ringan, Ikaeda berhasil mengembalikan serangan mereka, membuat masing-masing dari mereka terhuyung dan meringis kesakitan akibat benturan yang tak terduga.

"Sialan kau, bocah!" geram salah seorang pria sambil mengayunkan pedangnya yang kembali ditepis dengan mudah. "Kau pikir bisa mengalahkan kami semua?!" teriak wanita berambut panjang dengan wajah penuh amarah, serangannya juga gagal mengenai sasaran. Mereka terus melontarkan makian dan ancaman, namun Ikaeda tetap diam membisu. Ekspresinya datar, fokus sepenuhnya pada setiap gerakan lawan, menghindari dan membalikkan serangan mereka dengan efisien, satu per satu membuat mereka merasakan akibat dari kesombongan mereka.

Hingga pada suatu ketika, dalam keroyokan serangan yang bertubi-tubi, salah satu pedang lawan berhasil menyayat pipi Ikaeda. Meskipun luka itu tidak dalam, setetes darah merah menetes dari sana. Ikaeda tertegun sejenak, merasakan perih yang membakar kulitnya. Keenam lawannya tertawa puas melihat pemuda itu terluka. "Hahaha! Ternyata kau tidak sehebat yang kami kira, bocah!" ejek salah satu dari mereka.

.

.

.

.

.

.

.

Di saat yang sama, di sebuah ruangan yang megah di dalam kerajaan Hamel, Araya sedang berbincang serius dengan Eunho. Araya menceritakan tentang sisi gelap yang tersembunyi di dalam diri Ikaeda, potensi kekuatan Yamada Indra yang bisa muncul jika Ikaeda terdesak.

Eunho mendengarkan dengan seksama, sesekali menyahut dengan nada ceria khasnya, berusaha menenangkan kekhawatiran yang mungkin tersirat di wajah Araya. Namun, Araya menggeleng pelan. Ia tidak benar-benar khawatir. Ia justru sedang menguji batas kemampuan putranya, seberapa jauh Ikaeda bisa bertahan sebelum sisi gelapnya mengambil alih. Ia telah menyiapkan segel khusus yang akan otomatis aktif dan membuat Ikaeda tertidur jika situasinya menjadi terlalu berbahaya.

.

.

.

.

Kembali ke alun-alun, Ikaeda masih mampu menghindari dan membalas serangan keenam lawannya, meskipun setetes darah terus mengalir dari pipinya. Namun, saat merasakan sayatan itu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia mengangkat kepalanya perlahan, memandang keenam lawannya satu per satu dengan ekspresi yang aneh. Wajahnya yang tadi tegang kini tampak tenang dan dingin. Ia mengusap darah di pipinya dengan gerakan pelan, lalu tatapannya berubah menjadi tajam dan menusuk. Gaya bicaranya pun terdengar berbeda, lebih rendah dan memiliki otoritas yang mengintimidasi. "Menarik," desis Ikaeda pelan, suaranya bergetar namun bukan karena takut, melainkan karena sesuatu yang baru saja terbangun di dalam dirinya.

Saat Ikaeda melangkah perlahan mendekati keenam lawannya, aura dingin dan mengancam menyelimutinya. Tiba-tiba, dari belakangnya, Yena yang sudah siuman dan melihat perubahan aneh pada Ikaeda dengan sigap berjalan mendekat. Tanpa ragu, ia memukul pelan kepala Ikaeda dengan pedangnya yang masih tersarung. "Hei! Kepalamu mulai rusak lagi, ya?!" serunya dengan nada khawatir namun sedikit kesal.

Keenam lawan Ikaeda yang sudah kewalahan dan kini merasakan hawa menakutkan dari pemuda itu saling berpandangan ngeri. "Si-siapa pria ini sebenarnya?!" tanya salah seorang dari mereka dengan suara gemetar. Yena melirik mereka dengan tatapan datar. "Dia? Hanya pria bodoh. Abaikan saja."

Tiba-tiba, dari arah belakang kelompok enam orang itu, muncul Araya dan Eunho. Seketika, keenam remaja itu langsung menunduk hormat kepada Eunho, menunjukkan rasa segan dan takut.

Yena berlari kecil menghampiri Eunho dan memeluk lengannya manja. "Ibuuu... Ikaeda tadi reaksi aneh sekali! Tapi sesuai perkataan Araya-sama, aku langsung memukul kepalanya." Araya terkekeh ringan mendengar laporan Yena, sementara Eunho hanya bisa menghela napas panjang.

Melihat Eunho yang dihormati dan mendengar Yena memanggilnya "Ibu" dengan nada manja, keenam remaja itu akhirnya menyadari kenyataan yang selama ini tersembunyi. Eunho, guru yang selama ini mengajar di Akademia Toura, ternyata adalah ibu dari Yena yang selama ini mereka bully.

Seketika, wajah mereka pucat pasi. Dengan gugup, mereka serempak mengaku salah dan meminta maaf atas perbuatan mereka selama ini. Eunho yang sudah mengetahui perilaku mereka hanya tersenyum tipis. "Ibu memaafkan kalian," ucapnya lembut namun dengan nada yang tak terbantahkan, "namun kalian perlu belajar tentang konsekuensi dari perbuatan kalian. Kalian semua akan dipindahkan ke tempat kedisiplinan.

Di sana, kalian akan belajar bagaimana menghargai orang lain dan tidak lagi melakukan perbuatan tercela seperti ini." Mendengar hukuman itu, keenam remaja itu hanya bisa pasrah dan menyesali perbuatan mereka, membayangkan hari-hari berat yang menanti di tempat kedisiplinan yang terkenal keras.

Beberapa hari berlalu dengan cepat di Toura, diisi dengan berbagai kegiatan dan interaksi yang tak terlupakan. Tibalah saatnya bagi Ikaeda dan Araya untuk berpamitan. Namun, sebelum mereka benar-benar melangkah pergi, Yena memberanikan diri menghampiri Araya. "Araya-sama," ucapnya dengan sedikit gugup, "bisakah Anda memberikan saya sedikit waktu untuk berbicara dengan Ikaeda sebelum kalian pergi?"

Mendengar permintaan Yena, Araya tersenyum penuh arti. "Tentu saja boleh, Yena," jawabnya dengan nada lembut. Kemudian, dengan nada bercanda, ia melirik Yena dan berkata, "Hmm, kira-kira apa ya yang ingin kalian bicarakan? Apakah Yena akan mengajak putraku menikah dan menetap di Toura?"

Sontak, wajah Yena langsung merona merah padam seperti kepiting rebus. Ia salah tingkah dan tergagap, "Ti-tidak! Bukan begitu, Araya-sama!"

Araya tertawa ringan melihat reaksi malu-malu Yena. "Tenang saja, Ibu hanya bercanda. Tapi cepat temui Ikaeda sana. Anak itu sangat tidak suka dengan acara perpisahan yang berlarut-larut. Dia pasti sudah menunggu." Araya mengedipkan mata pada Yena, memberikan isyarat agar gadis itu segera menemui Ikaeda.

Sesampainya Yena di pelabuhan, ia melihat sosok Ikaeda berdiri di dekat perahu, tampak sedikit lesu. "Ikaeda!" panggil Yena.

Pemuda itu menoleh dengan wajah yang terlihat lelah. "Kau kenapa? Tampak tidak bersemangat," tanya Yena khawatir.

Namun, Ikaeda justru menggerutu, "Ini semua gara-gara kau memukul kepalaku kemarin! Jadi pusing begini."

Mendengar omelan Ikaeda yang terdengar lucu, Yena tertawa terbahak-bahak, sementara Ikaeda hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menggerutu pelan.

Setelah tawanya mereda, Yena menatap Ikaeda dengan lebih serius. "Sebenarnya... aku ingin berterima kasih padamu," ucapnya tulus. "Aku banyak belajar darimu, terutama saat mereka merundungku. Kau membuatku sadar bahwa aku tidak seharusnya terus bersembunyi dan merasa lemah. Aku... aku akan berusaha menjadi lebih percaya diri dan menjadi wanita yang tangguh seperti Ibuku. Eunho."

Mendengar kata-kata tulus Yena, sebuah senyum tipis namun tulus terukir di wajah Ikaeda. Senyuman yang sangat jarang terlihat itu membuat jantung Yena berdebar sedikit lebih cepat, menimbulkan perasaan hangat yang aneh. Namun, ia segera menepis perasaan itu dan menjitak kepala Ikaeda dengan gemas.

"Aduh! Kenapa?" tanya Ikaeda heran sambil mengusap kepalanya. Yena hanya memalingkan wajahnya sediki merona.

"Karena kau bodoh," jawabnya singkat, meskipun senyum kecil tersungging di bibirnya.

.

.

.

.

Setelah momen yang mengharukan itu, Eunho dan Yena berdiri berdampingan di tepi pelabuhan, menyaksikan perahu yang membawa Araya dan Ikaeda perlahan menjauh dari dermaga Toura. Yena tampak murung, matanya mengikuti siluet Ikaeda yang semakin mengecil di kejauhan. Kehilangan teman yang baru saja ia temukan, meskipun hanya untuk sementara, meninggalkan rasa hampa di hatinya.

Menyadari kesedihan Yena, Ikaeda yang berdiri di samping ibunya di atas perahu, menoleh ke belakang dan melihat ekspresi muram gadis jangkung itu. Dengan nada mengejek yang khas, ia berteriak, "Hei, tiang! Jangan memasang wajah jelek begitu! Kau terlihat seperti raksasa menangis!" Mendengar ejekan Ikaeda, Yena yang tadinya sedih langsung tertawa terbahak-bahak sambil melambaikan tangannya. "Kau sendiri seperti kurcaci linglung! Jaga baik-baik kepalamu yang isinya angin itu!" balasnya tak mau kalah, senyum cerah kembali menghiasi wajahnya.

Melihat putrinya tertawa dan tampak lebih tegar, Eunho tersenyum bangga. Ia merangkul bahu Yena yang menjulang tinggi di atasnya. "Ayo, sayang. Kita pulang. Ibu akan memasak makanan kesukaanmu malam ini." Yena memeluk pinggang ibunya dengan semangat baru. "Aku akan bantu Ibu memasak," ujarnya dengan semangat baru. Eunho mengangguk senang. "Tentu saja, sayang." Mereka berdua, dengan perbedaan tinggi badan yang mencolok, berjalan bergandengan tangan meninggalkan pelabuhan yang kini terasa sedikit sepi.

Selama perjalanan kembali menuju Benua Shirayuki Sakura, Ikaeda termenung di geladak perahu, pikirannya melayang pada gadis jangkung dengan tawa yang menggelegar itu. Setelah beberapa saat terdiam, ia memberanikan diri bertanya kepada Araya yang berdiri di sampingnya menatap lautan. "Ibu... apakah aku bisa bertemu dengan Yena lagi?"

Araya menoleh pada putranya dengan senyum lembut. "Tentu saja bisa, Ikaeda. Dunia ini luas, tapi juga kecil. Jika memang ada takdir, kalian pasti akan bertemu lagi." Kemudian, dengan nada jahil yang khas, Araya menyikut lengan Ikaeda pelan. "Hmm... Ibu jadi penasaran. Sepertinya putra Ibu menyukai gadis Toura itu, ya?"

Sontak, wajah Ikaeda langsung merona merah padam, persis seperti Yena saat digoda tadi. Ia salah tingkah, tergagap mencari jawaban yang tepat namun tak kunjung menemukan kata-kata yang pas. Akhirnya, dengan wajah yang masih merah, ia berbalik dan buru-buru masuk ke dalam kamar di bawah dek perahu, meninggalkan Araya yang tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar anak muda," gumam Araya pelan dengan senyum geli yang masih menghiasi bibirnya.

.

.

.

.

.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!