Amelia ,seorang janda yang diceraikan dan diusir oleh suaminya tanpa di beri uang sepeserpun kecuali hanya baju yang menempel di badan ,saat di usir dari rumah keadaan hujan ,sehingga anaknya yang masih berusia 3 tahun demam tinggi ,Reva merasa bingung karena dia tidak punya saudara atau teman yang bisa diminta tolong karena dia sebatang kara dikota itu ,hingga datang seorang pria yang bernama Devan Dirgantara datang akan memberikan pengobatan untuk anaknya ,dan kebetulan dia dari apotik membawa parasetamol ,dan obat itu akan di berikan pada Reva ,dengan syarat ,dia harus mau menikah dengannya hari itu juga ,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lemes akibat ulah Devan
Hari ke- 3 dipuncak
Matahari sudah condong ke barat ketika Amelia akhirnya berani keluar dari balik selimut,dengan langkah yang jauh dari mantap. Kakinya gemetar, pahanya terasa lemas, dan setiap kali ia mencoba berdiri tegak, ada semacam desis kecil yang lolos dari bibirnya, antara rintihan dan keluhan.
“Mas…!” panggilnya, suaranya bergetar antara kesal dan manja.
Devan, yang sedang sibuk mengemasi pakaian ke dalam tas, menoleh dengan senyum puas,senyum yang langsung membuat Amelia ingin melempar bantal ke wajahnya.
“Siap pulang, sayang?” tanya Devan riang, seolah tak sadar bahwa istrinya baru saja kehilangan kemampuan berjalan normal.
Amelia menatapnya dengan mata menyipit. “Siap? Aku aja belum siap berdiri !” ucapnya Kesal.
Devan tertawa, lalu mendekat. “Aduh, maafin aku,sayang . Habis kamu sangat menggoda pas bangun tadi. Kayak kue yang baru keluar dari oven,hangat, empuk, dan bikin pengin gigit.”
Amelia mendorong dadanya, tapi tenaganya lemah. “Gigit? Kamu itu nggak cuma gigit, Mas! Kamu… kamu menggempur aku kayak tentara perang!”
Devan pura-pura terkejut. “Aku? Aku kan cuma nurutin isyarat tubuhmu. Kamu yang narik-narik bajuku tadi!”
“Karena aku kira kita cuma mau peluk-peluk doang! Bukan … ITU lagi!” Amelia menggerutu, pipinya memerah. “Sekarang gimana? Aku jalan aja kayak bebek pincang!”
Devan tertawa terbahak-bahak, lalu jongkok di depannya. “Kalau gitu, aku gendong aja,.”
“Jangan,mas ! Nanti orang liat,aku malu ,nanti dikira aku ngapain !” protes Amelia, tapi tubuhnya sudah pasrah saat Devan mengangkatnya dengan mudah,seperti menggendong anak kecil, bukan istri yang seharian jadi korban hasratnya yang tak kenal lelah.
“Siapa yang liat? Di sini cuma kita berdua,” kata Devan, lalu mengecup pipinya. “Lagian, kamu emang hak eksklusifku. Kalau ada yang liat, biarin aja iri.” Devan berjalan dengan menggendong tubuh Amelia .
Amelia mendesah, lalu menyandarkan kepalanya di bahunya. “Kamu tuh, nggak pernah capek ya?”
“Kalau sama kamu? Nggak mungkin capek,” jawab Devan, suaranya turun pelan. “Aku malah takut ini cuma mimpi. Jadi pengin memastikan terus,kalo kamu beneran milik aku.”
Amelia menatapnya, lalu mengusap pipinya dengan jari. “Aku emang milik kamu, Mas. Tapi,jangan sampe aku nggak bisa naik tangga pas pulang. Bayu pasti nanya, ‘Mama kenapa jalan kayak robot rusak?’”
Devan tertawa, lalu mengecup ujung hidungnya. “Aku janji, mulai sekarang aku pelan-pelan. Tapi…” Ia berhenti, matanya berbinar nakal. “Kamu harus janji nggak pakai kaus tidur itu pas tidur siang.”
Amelia mendelik. “Itu kaus kamu sendiri yang kegedean!”
“Iya, tapi pas nempel di badan kamu,jadi kayak undangan terbuka buat aku,” jawabnya polos.
Amelia menggeleng, tapi tak bisa menahan senyum. Ia memang kesal,tapi kesal yang manis, seperti rasa cokelat pahit yang tetap bikin ketagihan. Ia tahu Devan bukan sengaja menyiksanya. Ia tahu suaminya hanya terbawa oleh rasa rindu yang selama ini tertahan di balik popok, botol susu, dan jadwal tidur Bayu yang tak menentu.
“Terus, sekarang aku gimana?” tanya Amelia, pura-pura cemberut. “Aku nggak bisa bantu bawa tas. Bahkan buat ganti baju aja masih gemetar.”
Devan meletakkannya pelan di tepi kasur, lalu berlutut di depannya seperti ksatria. “Kalau gitu, biar aku yang layani Nyonya Devan Amelia.”
Amelia tertawa kecil. “Layani gimana?”
Dengan gerakan lembut, Devan mengambil celana hangat dan sweater Amelia dari tas. “Aku bantu kamu ganti. Pelan-pelan. Tanpa niat jahat.” Ia menatap matanya. “Janji.”
Amelia menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oke. Tapi kalau tangan kamu nyasar …?”
“Boleh cubit,” potong Devan, lalu tersenyum. “Keras.”
Amelia tak menyangka, tapi Devan benar-benar menepati janjinya. Ia membantu Amelia berganti pakaian dengan gerakan hati-hati, penuh perhatian,seperti merawat bunga yang baru mekar. Tangannya tak pernah menyentuh lebih dari yang diperlukan, matanya selalu menatap wajah Amelia, bukan tubuhnya.
“Kamu baik banget pas gini,” bisik Amelia.
“Karena aku sayang kamu,” jawab Devan sederhana. “Bukan cuma pas aku pengin … ITU, Tapi juga pas kamu lemes, kesel, atau cuma pengin dipeluk tanpa alasan.”
Amelia menarik wajahnya mendekat, lalu mengecup bibirnya,pelan, penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Mas.”
Devan membalas ciuman itu sebentar, lalu berdiri. “Sekarang, Nyonya siap pulang?”
Amelia mencoba berdiri lagi. Kali ini, kakinya sedikit lebih kuat,tapi masih goyah. “Masih kayak kaki jeli,” gerutunya.
Devan langsung mengangkatnya lagi. “Kalau gitu, aku antar sampe mobil.”
“Mas Devan! Nanti Tetangga pada ngeliat!” protes Amelia, tapi ia tak melepaskan pelukan di leher suaminya.
“Tetangga mana? Di sini cuma ada pohon dan kabut,” jawab Devan sambil berjalan menuju pintu. “Lagian, biar mereka tahu,suamimu masih ganteng dan kuat.”
Amelia tertawa, lalu menyembunyikan wajahnya di lehernya. “Dasar sombong!”
Tapi dalam hati, ia bersyukur. Bersyukur karena Devan tak pernah memaksanya, tak pernah membuatnya merasa terpaksa ,meski hasratnya begitu besar. Ia bersyukur karena di balik tubuh yang lelah ini, ada hati yang merasa dicintai, diinginkan, dan dijaga.
Di mobil, Amelia duduk di kursi penumpang dengan napas lega. “Akhirnya… tanah datar.”
Devan menghidupkan mesin, lalu menoleh. “Masih kesel?”
Amelia menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Kesel sih iya… tapi nggak nyesel.”
Devan menggenggam tangannya sebentar sebelum menarik sabuk pengaman. “Kalau gitu, berarti aku boleh minta lagi ? pas weekend depan?”
Amelia melemparkan tisu ke arahnya. “Kalau weekend depan kamu janji bawa aku ke spa dulu, baru boleh!”
“Deal,” jawab Devan cepat. “Asal spa-nya nggak terlalu lama. Aku kangen kamu.”
Amelia menggeleng, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Ia menatap jendela, melihat Puncak perlahan menjauh di kaca spion. Hari ini melelahkan,tapi indah. Melelahkan karena tubuhnya digempur habis-habisan oleh suaminya yang terlalu bersemangat. Tapi indah karena untuk pertama kalinya dalam lama, ia merasa DIPILIH ,bukan hanya sebagai ibu, tapi sebagai perempuan yang masih bisa membuat jantung suaminya berdebar.
“Mas?” bisiknya.
“Hmm?”
“Kalau nanti di rumah,kamu bantu aku mandiin Bayu, ya? Aku masih lemes.”
Devan menoleh, lalu tersenyum lembut. “Aku bantu semuanya. Mandiin Bayu, masak, cuci baju,bahkan nutupin tutup pasta gigi yang kamu lupa tutup.”
Amelia tertawa kecil. “Dasar.”
Mobil melaju pelan menyusuri jalan berliku Puncak. Di dalam, hanya ada keheningan yang hangat,dan tangan mereka yang saling menggenggam erat, seolah tak ingin melepaskan momen ini terlalu cepat.
Dan Amelia tahu, meski tubuhnya masih lemas, hatinya utuh. Karena cinta, ternyata, tak selalu datang dalam bentuk kata-kata manis atau hadiah mahal. Kadang, cinta datang dalam bentuk suami yang terlalu bersemangat,tapi selalu ingat untuk bertanya, “Kamu baik-baik aja, sayang?” sebelum melanjutkan.amelia tersenyum dan menggukan kepalanya .
sudah bucin
nunggu Devan junior...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
malam pertama nya
apakah Devan akan ketagihan dan bucin akut... hanya author yg tau...