SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 — Loker Tanpa Nomor
Teriakan Zio bukanlah jeritan kesakitan manusiawi. Itu adalah suara perangkat lunak yang di-corrupt, bug yang berusaha dihapus oleh sistem. Suara Zio yang ceria tiba-tiba pecah menjadi serangkaian static bernada tinggi, diikuti oleh raungan robotik, seolah-olah CPU-nya terbakar.
Reina hanya punya satu reaksi: lari.
Sekolah Adhirana kini gelap total, ditelan oleh kegelapan yang bukan hanya karena listrik padam, tetapi kegelapan yang memangsa cahaya. Di koridor Ruang Klub Jurnalistik, Reina mengabaikan suara mengerikan Zio yang mulai merayap di lantai, menyentuh tiang-tiang, merusak segala sesuatu yang disentuhnya. Kesadaran Lantai Tujuh telah mengaktifkan mode penghapusan data.
Zio hanyalah variabel. Abaikan dia, Reina. Ingat tujuanmu. Loker Aksa. Suara Rhea yang kini bercampur dengan suara gemerisik dimensi memandu Reina.
Reina berlari ke Gedung Lama. Nafasnya terengah-engah, setiap langkahnya menghasilkan gema yang terlalu nyaring di kesunyian yang menindas. Ia menggunakan senter ponselnya, yang cahayanya tampak redup dan bergetar, seolah takut pada bayangan yang ada di sekitarnya.
Loker. Loker Aksa. Tempat Aksa menyembunyikan 'jiwa bebas dosanya'.
Reina tiba di bagian terdalam Gedung Lama, tempat loker-loker tua berderet. Di sinilah ia seharusnya menemukan loker yang dikunci oleh rasa bersalah Aksa. Logikanya mengatakan loker itu harus memiliki nomor, tetapi Rhea dalam rekaman wasiatnya hanya menunjuk ke sebuah loker.
Reina mulai menyusuri barisan loker. 110, 111, 112... Semuanya terkunci. Debu tebal menyelimuti setiap permukaannya. Tiba-tiba, senter Reina berhenti pada satu loker. Loker itu tidak memiliki nomor. Catnya terlihat lebih baru, atau setidaknya, tidak seburuk loker lain.
Dan, di atasnya, ada torehan. Bukan torehan pisau. Torehan yang terlihat seperti senyawa kimia yang melelehkan baja. Torehan itu membentuk tiga huruf yang familier: R. L.
Reina Laksana.
Reina terhuyung mundur. Loker itu bukan hanya disiapkan Aksa; itu disiapkan untuk kembalinya dia. Loker itu adalah kotak pandora yang harus ia buka untuk memperbaiki masa lalunya yang terlupakan.
Saat Reina mengangkat tangan untuk menyentuh pegangan logamnya, bayangan gelap melompat dari kegelapan.
"Jangan sentuh itu!"
Daren. Daren Kurniawan yang sempurna. Wajahnya tertekuk dalam ekspresi marah dan khawatir.
"Kamu mendengar suara itu, kan?" Daren maju, perlahan. "Suara Rhea. Suara Kesadaran Lantai Tujuh. Dia sudah tahu kita dekat. Dia ingin kamu menyerahkan diri."
Reina menahan air matanya. "Dia bilang aku harus menukar diriku dengan Aksa. Dia bilang Aksa tidak hilang, dia hanya menukar dirinya dengan versi yang bebas dosa—seorang Admin tanpa dosa. Aku... aku yang harus jadi jangkar Lantai Tujuh."
"Itu adalah kebohongan terakhir Rhea," potong Daren, suaranya dingin dan tegas. "Aku sudah berada di sini sejak awal. Aku tahu apa yang Aksa lakukan. Aksa tidak menciptakan Lantai Tujuh; dia hanya mengubah fungsinya. Dia tidak menukar jiwanya; dia memperangkap jiwanya sendiri agar Lantai Tujuh tidak bisa lagi mengulang waktu."
"Apa maksudmu?"
"Jiwa Aksa bukan di dalam loker ini! Aksa melakukan pengorbanan yang lebih besar: dia mengubah dirinya menjadi algoritma penebusan yang menjaga Loop Waktu ini. Dia yang mempertahankan 07:07 agar kamu bisa punya kesempatan memecahkannya. Dia yang selalu gagal di detik terakhir 07:07 agar waktu tidak reset sepenuhnya."
Reina menatap Daren, bingung. "Lalu, apa isinya?"
Daren menunjuk loker itu. "Loker ini berisi cermin dari Kamar Kosmu. Cermin yang kamu bawa dari dimensi itu. Cermin yang memungkinkan Kesadaran Lantai Tujuh—Rhea yang sekarang—untuk mengirimkan kloningnya, termasuk kloningku, dan membuatmu percaya bahwa ada dua Daren."
Reina mengingat cermin di kamarnya, cermin yang diminta Daren pertama untuk dihancurkan. Portal Jembatan.
"Di dalam loker itu juga ada flash drive," lanjut Daren. "Rhea tahu kamu akan mencarinya. Dia berharap kamu akan memasukkan flash drive itu ke dalam dirimu. Flash drive itu bukan jiwa Aksa. Itu adalah algoritma pengendali diri yang membuatmu menjadi kloning sempurna, tanpa dosa, siap menjadi pengorbanan abadi Lantai Tujuh."
Daren menggenggam bahu Reina, menatap matanya. "Reina, kamu tidak boleh menjadi penebus. Kamu harus menjadi penghancur."
Tiba-tiba, suara Daren terdistorsi. Matanya berkedip, menampilkan error sekejap.
"Daren Kurniawan... Varian Sempurna... Dideteksi sebagai ancaman. Pengurangan izin." Suara berlapis Rhea terdengar dari udara.
"Waktuku singkat," bisik Daren, berusaha melawan error sistem. "Dengarkan aku. Hancurkan loker itu. Hancurkan isinya. Begitu cerminnya hancur, ikatan antara dunia ini dan Lantai Tujuh terputus. Lalu, kamu akan bebas. Aksa akan..."
Daren terdiam. Ia menunduk, tubuhnya bergetar, wajahnya seperti topeng ketakutan.
"Reina. Lakukan. Sekarang." Terdengar suara Daren yang lain, suara Daren yang putus asa, yang muncul lagi. Kali ini, suara itu terdengar murni, bukan bug, tetapi jiwa yang sebenarnya yang menembus programnya. "Aku yang asli... aku mencintaimu. Jangan jadi tumbal. Hancurkan saja!"
Reina melihat dua Daren di depannya. Yang satu Sempurna, yang satu Putus Asa, berjuang di tubuh yang sama.
Saat itu, pintu lift Pertama di ujung koridor tua berderit. Pintunya terbuka dengan bunyi gesekan logam yang mengerikan. Dari kegelapan lift, muncul Daren yang ketiga.
Daren yang ketiga ini mengenakan seragam sekolah dengan pin Adhirana yang berkilauan. Wajahnya tidak berekspresi, matanya hanya menyala dengan cahaya merah tipis. Dia bergerak dengan ketenangan yang menakutkan.
"Daren ketiga. Varian Penjaga," bisik Daren yang Sempurna/Putus Asa. "Kesadaran Lantai Tujuh sudah mengendalikan cermin. Dia mengirim penjaga untuk menghentikanmu. Reina, jangan tunggu lagi!"
Reina mengeluarkan palu karet kecil dari tasnya—palu yang ia bawa untuk berjaga-jaga. Ia memegang erat pegangan loker, menariknya. Loker itu, meskipun tanpa kunci, terasa sangat berat.
"Buka loker itu, Reina," perintah Daren yang Putus Asa/Sempurna, suaranya kembali pecah.
Daren Penjaga berjalan mendekat, kakinya tidak menyentuh lantai. Gerakannya senyap, mematikan.
Reina menarik sekuat tenaga. Pegangan itu lepas. Loker terbuka.
Di dalamnya, bukan cermin. Hanya ada satu objek: Sebuah flash drive logam perak yang diukir dengan angka 707. Di samping flash drive itu, ada secarik kertas.
Reina meraih kertas itu, membacanya cepat di bawah cahaya ponselnya.
Reina—Aku tidak pernah ingin kamu tahu ini. Aku mencintaimu, tapi aku lemah. Jiwa yang di flash drive ini... adalah milikmu. Versi 2019 yang kamu sebut 'bersih'. Jiwa yang tidak pernah berharap aku hilang. Jika kamu memasukkannya, kamu akan menjadi Admin sejati Lantai Tujuh. Jika kamu menghancurkannya, kamu akan menghancurkan rantai ini.
— Aksa.
Reina menatap flash drive itu, kemudian Daren yang datang sebagai Penjaga. Daren yang Putus Asa/Sempurna kini berlutut, melawan kendali Kesadaran Lantai Tujuh.
Waktu kini menunjukkan 07:06:58.
"Hancurkan, Reina!" Daren yang Putus Asa menjerit.
Daren Penjaga melayang.
Reina mengangkat palu karetnya. Ia harus memilih: menghancurkan flash drive itu dan menghancurkan loop waktu ini, atau memasukkan flash drive itu, menjadi Admin Lantai Tujuh, dan membebaskan Aksa.
Tiba-tiba, Daren Penjaga membuka mulutnya. Bukan suara Daren yang keluar. Itu adalah Suara Aksa yang penuh kesedihan.
"Reina, jangan hancurkan! Aku lelah sendirian. Ambillah tempatku!"
Daren Penjaga adalah jebakan Rhea, tetapi suara di dalamnya adalah Aksa yang asli, yang jiwanya kini berteriak minta dibebaskan.
Reina menjatuhkan palunya. Ia meraih flash drive perak itu, tangannya bergetar hebat di ambang pilihan yang paling mengerikan.
07:07:00.