Semua orang mengira Zayan adalah anak tunggal. Namun nyatanya dia punya saudara kembar bernama Zidan. Saudara yang sengaja disembunyikan dari dunia karena dirinya berbeda.
Sampai suatu hari Zidan mendadak disuruh menjadi pewaris dan menggantikan posisi Zayan!
Perang antar saudara lantas dimulai. Hingga kesepakatan antar Zidan dan Zayan muncul ketika sebuah kejadian tak terduga menimpa mereka. Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27 - Niken
Restoran itu sepi malam itu, hanya suara denting sendok dan alunan piano lembut yang terdengar. Zayan duduk di pojok ruangan, mengenakan kemeja hitam yang disetrika rapi. Namun wajahnya jauh dari tenang. Ia menatap pintu dengan gelisah, menunggu seseorang yang mungkin sudah tidak ingin menemuinya lagi.
Ketika Niken akhirnya datang, langkahnya cepat, matanya merah, dan aura marahnya langsung terasa sejak pertama kali ia menatap Zayan. Perempuan itu mengenakan dress sederhana berwarna biru tua, rambutnya diikat asal, tapi kecantikannya tetap memancar di balik amarah yang ditahannya.
“Duduklah dulu, Nik!” ucap Zayan dengan nada hati-hati.
Niken tak menjawab. Ia berdiri di hadapannya, menatap pria itu dengan mata yang bergetar antara marah dan sedih.
“Jadi… ini alasan kenapa kau tak menjawab pesanku tiga hari ini?” suaranya lirih, tapi menggigit. “Kau terlalu sibuk menyiapkan pernikahan dengan wanita itu?”
Zayan menelan ludah, menatap meja di depannya. “Aku bisa jelaskan--”
Plak!
Tamparan itu keras, membuat kepala Zayan menoleh ke samping. Beberapa pengunjung sempat menoleh, tapi Niken tidak peduli. Matanya basah, suaranya pecah saat berbicara.
“Kau janji padaku, Zayan! Kau janji tidak akan pernah ninggalin aku, apa pun yang terjadi! Tapi ternyata kau sama saja seperti lelaki lain!"
Zayan mengusap pipinya perlahan. Tamparan itu menyakitkan, tapi rasa bersalahnya jauh lebih perih. “Aku tahu, Nik. Aku tahu aku salah. Tapi dengarkan dulu…”
“Dengarkan?!” potong Niken dengan nada tinggi. “Kau pikir aku belum cukup dengar dari berita? Kau akan menikah minggu depan, Zayan! Minggu depan! Dan kau bahkan tidak punya keberanian untuk mengatakannya langsung padaku!”
Zayan bangkit dari kursinya. “Aku terpaksa, Nik. Aku nggak punya pilihan lain.”
“Terpaksa?” Niken tertawa sinis, menatapnya dengan mata berair. “Kau punya pilihan, Zayan. Kau selalu punya pilihan. Tapi kali ini, kau memilih menyakiti aku.”
Zayan menggeleng cepat. “Tidak, bukan begitu. Aku melakukannya karena keluarga. Karena… karena aku harus mempertahankan kepercayaan papah. Kalau aku menolak pernikahan ini, semuanya hancur, Nik. Aku bisa kehilangan segalanya.”
Niken menatapnya dingin. “Kehilangan apa? Nama besar keluarga? Uang? Atau kebanggaanmu sebagai pewaris?”
Zayan menunduk, tidak bisa menjawab.
Niken menahan napas panjang, berusaha agar suaranya tidak pecah lagi. “Kau tahu apa yang paling menyakitkan, Zayan? Aku tidak pernah memintamu jadi sempurna. Aku cuma ingin kau jujur. Tapi ternyata kau lebih memilih menjaga nama keluarga daripada menjaga hatiku.”
Zayan maju selangkah, berusaha mendekatinya, tapi Niken mundur.
“Nik, aku cinta sama kamu,” katanya lirih. “Kau satu-satunya orang yang buat aku merasa hidup. Aku tahu aku bodoh, aku tahu aku pengecut, tapi tolong… jangan tinggalkan aku.”
Air mata menetes di pipi Niken. “Kau akan menikah dengan perempuan lain, Zayan. Apa yang harus aku pertahankan dari hubungan seperti ini?”
Zayan menarik napas panjang, lalu dengan gerakan yang mengejutkan, ia berlutut di hadapan Niken. Restoran mendadak hening. Beberapa orang mulai menatap mereka, tapi Zayan tidak peduli. Ia menggenggam tangan Niken erat-erat, suaranya parau, penuh putus asa.
“Tolong, Niken. Jangan pergi. Aku butuh kamu. Aku janji, pernikahan itu cuma formalitas. Aku nggak cinta dia, sama sekali tidak. Aku hanya melakukannya demi menunjukkan pada papahku bahwa aku bisa bertanggung jawab. Tapi aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”
Niken menatapnya dari atas, air matanya mengalir deras. “Kau tahu betapa egoisnya kalimatmu barusan? Kau minta aku menunggu sambil kau menikah dengan wanita lain?”
Zayan menggeleng keras. “Aku nggak minta kau menunggu. Aku cuma minta kau percaya… sedikit saja. Aku nggak cinta sedikit pun sama wanita itu. Pokoknya selama menikah, aku nggak akan menyentuhnya. Aku akan bereskan semuanya setelah pernikahan itu selesai. Aku janji, Nik. Aku akan kembali padamu.”
Niken menarik tangannya, tapi genggaman Zayan kuat. “Zayan, berdirilah!” katanya dengan suara bergetar. “Kau mempermalukan dirimu sendiri.”
“Aku nggak peduli,” jawab Zayan tanpa ragu. “Aku rela kehilangan segalanya, asal bukan kamu.”
Tangis Niken pecah. Ia ingin marah, ingin menendang pria itu, tapi hatinya justru hancur melihat Zayan berlutut seperti itu. Pria yang dulu begitu angkuh, begitu yakin pada dirinya sendiri, kini tampak rapuh seperti anak kecil yang ketakutan.
“Kenapa, Yan?” bisiknya pelan. “Kenapa harus seperti ini?”
Zayan menatapnya, matanya merah. “Karena aku nggak mau kalah, Nik. Aku harus mempertahankan semuanya. Tapi aku juga nggak bisa kehilangan kamu. Aku dulu memang playboy, tapi itu dulu, sebelum aku punya kamu. Kau satu-satunya wanita yang bisa membuatku merasakan cinta.”
Niken memejamkan mata. Ada bagian dirinya yang ingin percaya, tapi logika berteriak untuk pergi. Ia menarik tangannya dengan lembut, lalu melangkah mundur.
“Cinta yang membuatku harus melihatmu menikah dengan orang lain bukan cinta yang ingin aku pertahankan,” katanya akhirnya. “Aku mencintaimu, Zayan. Tapi aku tidak bisa ikut dalam kebohonganmu.”
Zayan berdiri perlahan, wajahnya kacau, napasnya berat. “Niken, tolong…”
Namun Niken sudah berbalik, meninggalkannya di tengah ruangan.
Zayan berdiri diam di sana, menatap punggung gadis yang perlahan menjauh. Di antara musik piano yang kembali mengalun, satu hal terlintas di pikirannya. Ia mungkin memenangkan keluarga, tapi kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar ia cintai.
Niken pergi dengan mobil yang melaju. Sialnya mobil Niken mendadak mogok. Tangisan cewek itu semakin pecah. Dia tidak hanya kesal pada Zayan, tapi juga dirinya sendiri. Apalagi Niken sudah beberapa kali tidur dengan Zayan, dan dirinya menyesali itu. Suara klakson mobil terdengar bersahutan karena mobil Niken yang berhenti di tengah jalan.
Seorang pengendara motor mendadak menepi. Pengendara motor itu tidak lain adalah Zidan. Ia baru pulang bekerja. Zidan berhenti karena mencemaskan pemilik mobil itu. Terlebih mobilnya berhenti di tengah jalan.
Zidan melepas helm dan kacamatanya. Dia tidak dalam mode penyamaran lagi. Zidan lantas mengetuk jendela mobil Niken.
"Halo, Mbak? Apa mobilnya mogok? Mungkin aku bisa bantu," kata Zidan.
Perlahan Niken menatap Zidan. Bukannya merasa tenang, dia malah semakin kesal. Bagaimana tidak? Wajah Zidan serupa dengan Zayan.
"Kenapa kau mengikutiku?! PERGI!" usirnya.
Cinta yang sehat dapat membantu seseorang merasa lebih bahagia dan lebih sehat secara keseluruhan.
Ketika seseorang merasa dicintai dan mencintai, tubuh dan pikirannya akan bekerja lebih baik untuk mendukung kesejahteraan secara menyeluruh...🤨☺️
Ketika seseorang mencintaimu sepenuh hati, itu memberimu rasa aman dan penerimaan yang membantumu menjadi versi terbaik dirimu. Mengetahui bahwa seseorang mendukungmu, bahwa kamu dihargai dan disayangi apa adanya, memberimu rasa stabilitas.
Kamu merasa lebih kuat karena seseorang percaya padamu, terkadang bahkan ketika kamu berjuang untuk percaya pada diri sendiri...🥰💪
Konsep ini menyatakan bahwa setiap tindakan (baik atau buruk) memiliki konsekuensi yang akan kembali kepada pelakunya, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya.
Jika kamu melakukan hal baik, maka efeknya pun baik, begitu pula sebaliknya.
Dalam konteks modern, karma juga dapat dipahami sebagai prinsip tanggung jawab pribadi dan kesadaran atas tindakan kita.
Karma berlaku bagi siapapun yang melakukan hal buruk.
Jangan pernah berbuat hal buruk sekecil apapun dan dalam kondisi apapun.
Karena hal itu akan membawa sesuatu yang buruk pula ke dalam hidupmu, atau bahkan bisa terbalas dengan keburukan yang lebih besar...😭
Amarah, kesedihan atau kebencian yang berlebihan, jika dibiarkan merajalela, akan membutakan mata hati dan menyesatkan akal sehat.
Kita kemudian menjadi tawanan dari perasaan kita sendiri, terperangkap dalam labirin pikiran yang gelap dan berliku.
Setiap langkah yang kita ambil didikte oleh emosi sesaat, tanpa pertimbangan yang matang dan tanpa visi yang jernih.
Kita kehilangan kemampuan untuk berpikir rasional, untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang, dan untuk mengambil keputusan yang bijaksana...😥