sebuah pria tampan CEO bernama suga yang menikah dengan wanita cantik bernama cristine namun pernikahan itu bukan atas kehendak suga melainkan karena sedari kecil suga dan cristine sudag di jodohkan dengan kakek mereka, kakek cristine dan suga mereka sahabat dan sebelum kakek cristine meninggal kakeknya meminya permintaan terakhir agar cucunya menikah dengan suga, namun di sisi lain suga sebenarnya sudah menikah dengan wanita bernama zeline suga dan zeline sudah menikah selama dua tahun namun belum di karuniai seorang anak, itu juga alasan suga menerima pernikahan dengan cristine.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika kookie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
cinta di antara dua istri sang ceo
Matahari pagi menembus tirai tipis kamar pengantin. Cahaya lembutnya menyentuh wajah Cristine yang masih terbaring di ranjang besar berhias kelambu putih. Wajahnya terlihat pucat, tapi itu bukan karena sakit , melainkan karena sengaja dibuat begitu. Bibirnya tersenyum samar, mengingat kejadian semalam.
Ia bisa merasakan lengan Suga di sisi tempat tidur, masih menggenggam tangannya erat.
Suga belum berganti pakaian sejak malam.
Mata pria itu tampak lelah, tapi tetap menjaganya sepanjang malam.
Cristine membuka mata perlahan, mengatur napasnya agar terdengar lemah.
Cristine:
(suaranya lirih)
“S-Suga…?”
Suga yang semula tertidur di kursi segera bangkit, wajahnya khawatir.
Suga:
“Cristine… kau sudah sadar? Kau sempat membuatku sangat khawatir. Semalam kau pingsan tiba-tiba.”
Cristine tersenyum kecil, menatapnya dengan mata berkaca-kaca yang sengaja dibuat bergetar.
Cristine:
“Aku… aku tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin karena terlalu lelah setelah pesta… maaf, aku sudah merepotkanmu di malam pertama kita.”
Suga menggeleng cepat.
Suga:
“Jangan bicara begitu. Kau harus istirahat dulu. Dokter bilang tubuhmu drop karena kelelahan.”
Cristine mengangguk pelan, lalu dengan manja menggenggam tangan Suga lebih erat.
Cristine:
“Terima kasih, Suga… karena kau tak meninggalkanku.”
(suaranya melemah)
“Aku takut kalau kau marah padaku… karena pernikahan ini membuat banyak orang terluka.”
Suga terdiam, pandangannya menurun. Ia tahu siapa “orang yang terluka” itu , Zeline.
Rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya.
Melihat reaksi Suga, bibir Cristine melengkung pelan. Ia menunduk seolah sedih, tapi di balik wajah lembut itu, pikirannya berbicara lain.
“Lihatlah, Suga… hanya dengan sedikit air mata, kau kembali padaku.
Sebentar lagi, Zeline tidak akan punya ruang di hatimu.”
Suga menatap wajah Cristine lama, lalu mengusap lembut rambutnya.
Suga:
“Istirahatlah dulu, aku akan memintakan sarapan ringan untukmu.”
Begitu Suga keluar dari kamar, senyum licik Cristine langsung muncul. Ia memejamkan mata dan berbisik pelan, nyaris tanpa suara:
Cristine:
“Permainan baru dimulai, Zeline. Kali ini aku yang akan menang.”
Udara pagi itu lembut, aroma roti panggang dan mentega mulai memenuhi udara. Zeline berdiri di dapur dengan rambut yang diikat sederhana, mengenakan apron putih yang sudah sedikit lusuh. Tangan mungilnya sibuk menyiapkan sarapan, seperti kebiasaannya setiap pagi.
Suara langkah sepatu terdengar di lantai marmer. Suga muncul di ambang pintu dapur.
Ia berhenti sejenak.
Matanya tertuju pada punggung wanita yang begitu dikenalnya,punggung yang dulu selalu ia peluk dari belakang setiap pagi, sambil tertawa dan mencicipi masakan yang belum matang.
Bayangan masa lalu menyeruak di benaknya:
Zeline yang tertawa dengan tepung di pipinya,
tangan mereka yang saling berebut sendok kayu,
dan canda sederhana yang dulu terasa begitu hangat.
Kini, semua itu terasa begitu jauh.
Suga menghela napas pelan dan melangkah masuk.
Zeline tersadar akan kehadirannya, namun tak menoleh. Ia tetap memasak, suaranya tenang namun dingin.
Zeline:
“Pagi. Kau mau sarapan apa?”
Suga menatap meja, lalu berkata pelan.
Suga:
“Tidak… aku hanya ingin membuatkan bubur untuk Cristine. Dia masih lemah.”
Tangannya refleks meremas spatula di genggamannya.
Tapi Zeline tak berkata apa pun.
Wajahnya tetap datar, meski dadanya serasa diremas dari dalam.
Ia menatap api kompor, berusaha fokus pada panci di depannya, tapi matanya mulai berembun.
Bibirnya bergetar kecil sebelum akhirnya ia bicara lirih nyaris tak terdengar.
Zeline:
“Begitu ya…”
Suga menatap punggung Zeline lama, hatinya mulai terasa berat. Ada sesuatu dalam nada suara wanita itu yang menusuk jauh lebih dalam dari kemarahan mana pun.
Ia ingin bicara ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa semuanya tidak seperti yang terlihat. Tapi kata-katanya menguap begitu saja.
Zeline menurunkan panci dari kompor, lalu meletakkannya di meja makan seperti biasa.
Ia memanggil pelayan dan berkata dengan nada datar,
Zeline:
“Tolong siapkan meja untuk Tuan Suga. Sarapannya sudah siap.”
Pelayan mengangguk dan berlalu, meninggalkan keduanya dalam keheningan yang menyesakkan.
Suga melangkah ke rak bahan makanan, mulai membuat bubur untuk Cristine.
Setiap kali ia mengambil sendok, suara logam itu terdengar begitu nyaring di telinga Zeline seolah menggores hatinya perlahan.
Ia menatap punggung suaminya dari jauh, berusaha menelan rasa sakit yang tumbuh di dada.
Hatinya berteriak, tapi bibirnya diam seribu bahasa.
Zeline menunduk, mengusap sudut matanya cepat-cepat.
Zeline (dalam hati):
“Aku istrinya… tapi mengapa aku merasa seperti orang asing di rumah ini?”
Ketika bubur itu matang, Suga mematikan kompor. Ia menoleh, ingin mengucap sesuatu tapi Zeline sudah lebih dulu berjalan pergi, meninggalkan aroma masakan dan keheningan di belakangnya.
Dan di ruang dapur itu, hanya tersisa Suga… menatap mangkuk bubur di tangannya, dengan hati yang mulai dihantui oleh bayangan cinta yang perlahan ia hancurkan sendiri.
Suga melangkah perlahan menyusuri koridor panjang menuju kamar pengantin.
Di tangannya, nampan berisi semangkuk bubur ayam hangat dan segelas air putih masih mengepulkan uap tipis.
Setiap langkah terasa berat bukan karena lelah, tapi karena bayangan Zeline di dapur tadi terus menari di pikirannya.
Ia sempat berhenti sejenak di depan pintu kamar.
Menghela napas panjang.
Lalu dengan pelan, ia mengetuk dan masuk.
Cristine masih berbaring di atas ranjang. Rambutnya terurai lembut di atas bantal, wajahnya tampak pucat tapi sorot matanya hidup, penuh perhitungan. Begitu melihat Suga datang, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.
Cristine:
(suaranya lemah namun lembut)
“Suga… kau membuatkan sarapan untukku?”
Suga tersenyum tipis dan berjalan mendekat.
Suga:
“Iya, kau harus makan dulu. Badanmu masih lemah.”
Ia meletakkan nampan di atas meja kecil di samping ranjang.
Aroma bubur hangat langsung memenuhi ruangan.
Cristine menatapnya dengan tatapan penuh rasa haru setidaknya, begitulah yang terlihat di permukaan.
Cristine:
“Kau… benar-benar perhatian, Suga. Aku tidak tahu harus bagaimana membalas semua ini.”
Suga duduk di sisi ranjang, mengambil sendok, lalu meniupnya perlahan sebelum menyuapkannya ke bibir Cristine.
Cristine membuka mulut pelan, menatapnya tanpa berkedip.
Cristine:
“Kau tidak makan?”
Suga:
“Belum… nanti saja.”
Cristine menatapnya lama, lalu tersenyum kecil.
Cristine:
“Zeline yang memasak, ya?”
Suga sempat terdiam.
Pertanyaan itu menusuk tiba-tiba.
Suga:
“…Iya. Dia seperti biasa, menyiapkan sarapan.”
Cristine pura-pura menunduk, seolah merasa bersalah.
Namun senyum tipis muncul di sudut bibirnya tanpa Suga sadari.
Cristine:
“Kasihan dia. Aku tidak ingin membuatnya merasa tersingkir, Suga. Tapi… aku juga ingin menjalankan peranku sebagai istrimu sekarang.”
Suga menatap Cristine dengan wajah sendu.
Ia ingin berkata bahwa hatinya masih terbelah dua, tapi lidahnya kelu.
Ia hanya diam.
Cristine menatapnya lembut, tangannya menggenggam tangan Suga erat.
Cristine:
“Berjanjilah padaku, Suga… apa pun yang terjadi, kau tidak akan meninggalkanku seperti dia.”
Suga menunduk, genggamannya melemah.
Bayangan Zeline yang berdiri di dapur, menahan air mata tanpa suara, kembali muncul di kepalanya dan entah kenapa, rasa bersalah itu kini mulai berubah menjadi sesak yang menyesakkan dada.
Namun di saat yang sama, dari luar kamar…
Zeline berdiri diam di balik pintu, mendengarkan setiap kata.
Matanya berkaca-kaca, tapi ia tak ingin masuk.
Ia hanya berdiri di sana, menatap ke lantai, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri:
Zeline:
“Bahkan sarapan yang kubuat… tak lagi untuknya.”
Cristine sedang duduk di tepi ranjang, memainkan ujung selimut sambil tersenyum kecil. Wajahnya tampak lembut dan polos, tapi sorot matanya menyimpan maksud lain. Di tangan kirinya, ponsel masih menampilkan pesan dari sahabatnya Lisa tentang acara pelelangan di kota Busan hari ini.
Tanpa berpikir lama, Cristine segera berdiri dan berjalan keluar kamar. Ia melihat Suga yang baru saja selesai berpakaian rapi dan bersiap pergi ke kantor.
Cristine langsung menghampirinya dengan langkah pelan, suaranya dibuat selembut mungkin.
Cristine:
“Suga…”
Suga menoleh, sedikit terkejut melihat istrinya yang baru sembuh sudah berdiri tegak di hadapannya.
Suga:
“Kau sudah merasa lebih baik?”
Cristine tersenyum manis, pura-pura lemah sambil menepuk dadanya.
Cristine:
“Masih agak pusing sih, tapi aku baru saja mendapat pesan dari Lisa. Katanya hari ini ada acara pelelangan besar di Busan… barang-barangnya langka dan sangat berharga. Aku ingin sekali melihatnya.”
Suga terdiam sejenak, menatap wajah Cristine yang memelas.
Suga:
“Pelelangan di Busan? Tapi kau baru saja jatuh pingsan semalam. Kau yakin kuat pergi sejauh itu?”
Cristine menatapnya dengan tatapan penuh harapan, lalu menggenggam tangan Suga.
Cristine:
“Aku janji tidak akan memaksakan diri. Aku hanya ingin ditemani olehmu, Suga. Aku jarang sekali bisa jalan berdua denganmu. Lagipula… kau sudah lama janji mau mengajakku ke Busan, kan?”
Nada suaranya lembut, tapi setiap kata terasa seperti tusukan halus ke hati Suga. Ia tak tega menolak.
Sementara itu, di balik tembok koridor, Zeline berdiri diam mendengar semua percakapan mereka. Tatapannya kosong, tapi bibirnya bergetar menahan perih.
Suga menghela napas panjang, lalu mengangguk.
Suga:
“Baiklah… kalau kau benar-benar ingin pergi, aku akan temani. Tapi kalau kau mulai merasa tidak enak badan, kita langsung pulang.”
Cristine menatapnya dengan senyum lega, pura-pura tersentuh.
Cristine:
“Terima kasih, Suga… kau memang suami yang paling perhatian.”
Ia pun memeluk Suga dengan lembut. Namun di balik pelukannya, Cristine tersenyum licik.
Karena dalam pikirannya, rencana berikutnya sudah mulai terbentuk rencana untuk membuat semua orang tahu bahwa dialah satu-satunya wanita yang pantas berdiri di sisi Suga.
Zeline yang sedang berdiri di depan cermin menatap bayangan dirinya sendiri. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan sejuta luka yang tak terucap. Ia baru saja menata rambutnya dan berusaha terlihat biasa seolah dirinya tak tahu apa pun tentang rencana Suga dan Cristine ke Busan.
Namun, ketenangan itu buyar ketika terdengar suara ketukan lembut di pintu kamarnya.
Suga (dari luar):
“Zeline? Apa kau ada di dalam?”
Zeline menghela napas pelan. Suaranya dingin namun terdengar tenang.
Zeline:
“Masuk saja. Pintu kamarku tidak dikunci.”
Suara langkah kaki Suga terdengar perlahan mendekat.
Pintu terbuka, dan pria itu muncul masih dengan jas rapi, rambut tersisir sempurna, dan aroma parfum khasnya yang dulu selalu membuat Zeline tenang.
Kini aroma itu justru membuat dadanya sesak.
Suga menatap sekeliling kamar sederhana, bersih, dan beraroma lembut lavender. Kamar yang dulu sering ia datangi, kini terasa asing baginya.
Zeline berbalik perlahan, menatap Suga tanpa senyum.
Dalam hatinya, ia berbicara pada diri sendiri:
Bahkan untuk memasuki kamarku saja… kau harus mengetuk terlebih dahulu, Suga. Dulu kau tidak seperti ini.
Suga:
“Maaf mengganggu… aku hanya ingin memberi tahu, hari ini aku akan ke Busan bersama Cristine.”
Nada suaranya datar, seperti seseorang yang sekadar menyampaikan informasi tanpa perasaan.
Zeline menatapnya lama tidak marah, tidak juga tersenyum.
Zeline:
“Oh begitu… kalau begitu hati-hati di jalan.”
Suga tampak sedikit canggung. Ia tahu Zeline pasti tahu lebih banyak daripada yang terlihat, tapi wanita itu terlalu tenang.
Suga:
“Kau… tak apa di rumah sendirian? Kalau kau butuh sesuatu, minta saja pada pelayan.”
Zeline menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi.
Zeline:
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendirian.”
Kalimat itu meluncur pelan, tapi tajam menembus hati Suga tanpa ia sadari.
Ia ingin menjawab sesuatu, tapi lidahnya kelu. Hanya ada keheningan yang menggantung di antara mereka.
Zeline kemudian berbalik lagi, melanjutkan aktivitasnya menata bunga di vas kaca di dekat jendela.
Sinar matahari pagi jatuh di wajahnya, membuat air matanya yang hampir jatuh tampak berkilau namun segera ia hapus sebelum sempat terlihat.
Zeline (pelan):
“Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kau bisa berangkat sekarang. Jangan buat Cristine menunggu.”
Suga terdiam beberapa detik, menatap punggung Zeline yang tegak tapi dingin.
Ia ingin mengatakan sesuatu tapi yang keluar hanya bisikan singkat.
Suga:
“Baiklah.”
Lalu ia melangkah pergi, menutup pintu perlahan.
Begitu pintu tertutup sepenuhnya, Zeline akhirnya tak mampu menahan air matanya.
Tangannya menggenggam vas bunga erat hingga ujung jarinya memutih.
Zeline (dalam hati):
Bahkan pintu hatimu pun kini tertutup untukku, Suga…
Setelah pintu kamar tertutup rapat, keheningan menyelimuti ruangan itu.
Tak ada lagi langkah kaki, tak ada lagi suara hanya detak jam dinding yang terdengar jelas, berdentang pelan seirama dengan degup jantung Zeline yang hancur.
Zeline melangkah pelan menuju meja rias di sudut kamar.
Di sana, berdiri sebuah bingkai foto kecil foto yang sudah mulai memudar warnanya, menampilkan sepasang wajah yang tersenyum hangat: Eomma dan Appa-nya.
Tangannya gemetar saat meraih bingkai itu.
Begitu foto itu berada di genggamannya, air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
Zeline (lirih, di antara tangis):
“Appa… Eomma…”
Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Ia menatap foto itu lama, matanya memburam oleh air mata yang terus mengalir.
Zeline:
“Kalau saja Eomma masih ada… mungkin aku tidak akan seperti ini. Menjadi istri pertama yang tak lagi dianggap… istri yang disisihkan karena kehendak orang lain.”
Ia menunduk, air matanya jatuh di permukaan kaca bingkai itu.
Tangannya menggenggam erat foto tersebut, seolah dengan begitu ia bisa memeluk kenangan masa kecil yang dulu penuh kehangatan.
Zeline (pelan, penuh sesak):
“Kenapa aku harus mencintainya sedalam ini, Eomma? Kenapa aku harus menikah dengan pria yang kini membagi cintanya dengan wanita lain? Aku… aku lelah, Eomma…”
Ia jatuh berlutut di lantai, memeluk bingkai foto itu ke dadanya.
Tangisnya pecah, menggema dalam kamar yang sepi.
Di luar jendela, angin meniup tirai perlahan, membawa aroma pagi yang lembut tapi bagi Zeline, semuanya terasa hampa.
Ia menatap langit dari balik jendela, berbisik lirih di antara isak:
Zeline:
“Appa, Eomma… doakan aku kuat. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan di rumah ini, di samping pria yang kini bukan lagi milikku seutuhnya.”
Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu, Zeline benar-benar merasa sendirian.
Tak ada pelukan, tak ada suara lembut yang menenangkan.
Hanya dirinya… dan luka yang perlahan-lahan menelan hatinya hidup-hidup.
Zeline duduk di tepi ranjang, matanya masih sembab setelah menangis lama.
Di tangannya, bingkai foto keluarga masih tergenggam erat foto dirinya saat kecil bersama Appa dan Eomma.
Wajah Eomma yang tersenyum lembut di dalam foto itu membuat dadanya kembali sesak.
Ia mengusap pipinya pelan, menatap foto itu dengan pandangan penuh rindu.
Zeline (lirih):
“Appa… bagaimana kabar Appa?”
Suaranya pelan, nyaris hanya bisikan.
“Sudah lama aku tidak mengunjungimu… setelah kepergian Eomma untuk selamanya.”
Air matanya kembali jatuh, membasahi kaca bingkai foto itu.
Ia menarik napas panjang, mencoba menahan isak yang nyaris pecah.
Zeline (masih dengan suara gemetar):
“Appa pasti sendirian di rumah sekarang, ya? Aku anak yang buruk… bahkan setelah menikah, aku jarang pulang. Aku sibuk menenangkan hatiku sendiri… padahal mungkin Appa juga butuh seseorang untuk menemaninya setelah Eomma pergi.”
Tangannya menggenggam bingkai itu erat, seolah sedang memeluk kenangan.
Tatapannya kini lebih lembut, penuh penyesalan dan rindu.
Zeline (pelan):
“Appa, aku akan datang menemuimu. Hari ini… aku ingin pulang sebentar, Appa. Aku ingin melihatmu, ingin mendengar suaramu, walau mungkin aku tak bisa menceritakan semua luka di hatiku.”
Ia tersenyum kecil meski air matanya masih jatuh perlahan.
Zeline (dalam hati):
Setidaknya di depan Appa… aku bisa jadi Zeline yang dulu. Bukan istri yang diabaikan, bukan wanita yang kalah. Tapi anak yang masih punya tempat untuk pulang.
Zeline berdiri perlahan, meletakkan bingkai foto itu kembali di atas meja.
Ia menatapnya sekali lagi dan berbisik lembut:
Zeline:
“Tunggu aku, Appa. Aku akan datang hari ini.”