Mahardika Kusuma, seorang pengusaha sukses tak menyangka bisa dibodohi begitu saja oleh Azalea Wardhana, wanita yang sangat ia cintai sejak kecil.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dika seketika terduduk. Dia tak mengira jika wanita yang sekarang telah resmi menjadi istrinya telah membawa benih orang lain.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
Hanya itu yang bisa Dika lakukan, tanpa ingin menyentuhnya sampai anak itu lahir.
🌺
"Lea."
"Papa salah, aku Ayu bukan mama," kata putri yang dulu pernah dia senandungkan azan di telinganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Kembali ke Indonesia
Waktu Ayudia masih dalam pengasuhannya, Dia tetap memasukkan Ayudia dalam kartu keluarga sebagai putrinya. Untuk Akte kelahiran, dia tak berani mengurusnya. Binti-nya dipertanyakan. Akan menyantumkan namanya, ia takut dosa. Mencantumkan nama Lea, ia ragu.
Dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Ayudia kelak. Dia sangat peduli dengan perasaan Ayu dan tumbuh kembangnya. Anak sekecil itu tak perlu tahu dengan predikat tabu yang mungkin akan diterima dari lingkungannya yang sering tak bersahabat.
Untuk sementara, ia urungkan mengurus akte kelahirannya. Kalau ada keperluan, ia mencantumkan surat keterangan kelahiran dari dokter yang menanganinya.
Dia agak terkejut juga dengan apa yang Ayu katakan barusan. Bahwa mereka mengangkat Ayu sebagai anak adopsi. Apakah mereka sudah tahu kalau dirinya bukan ayah kandung Ayu.
“Benarkah begitu. Papa tak tahu. Mungkin tujuan agar mudah dalam mengurus sekolah Ayu di sini.”
“Oooo…” Ayu pun mengangguk, meski dia tak mengerti-mengerti amat.
“Oh ya, Ayu. Doakan Papa, ya. Tahun ini bisa mengembangkan bisnis ke Brazil." Dika mencoba mengalihkan pembahasan. Dia tak mau cawe-cawe masalah administrasi Ayu yang rumit. Dia hanya ambil baiknya saja.
Kalau mereka sudah tahu, berarti ia tak perlu lagi mencari ayah biologis putrinya.
“Ayu selalu doakan. Tapi Ayu sedih. Ini berarti, kita semakin jarang bertemu.”
“Putri Papa kan sudah dewasa. Masak harus selalu dijenguk.”
“Yeacch… Papa.”
“Makanya, sekolah yang rajin. Nanti kalau sudah lulus S1. Papa baru membolehkan kamu pulang. Soalnya sudah bisa bantu Papa untuk mengurus perusahan yang ditinggalkan mamamu.”
“Yeaaah Papa. Kok gitu sih. Itu sih ada maunya”
Dika tersenyum tipis dengan protes dari putrinya. Tapi bagaimana lagi, memang begitu keadaannya. Semoga dengan begini Ayu makin dewasa, tak lagi bergantung padanya.
Terus terang, semakin dekat dengan Ayu, perasaannya semakin terombang-ambing antara menganggapnya sebagai putrinya atau sebagai gadisnya. Dika tak ingin berada dalam dilemma seperti ini.
Ini lah saatnya yang tepat untuk menjauh dari keluarga Lea. Bukankah mereka sudah berniat menjauhkan dirinya dengan putrinya.
“Ayu, sebentar lagi Papa mau meeting. Ayu mau dipesankan makanan untuk makan malam, atau menunggu Papa kembali. Kita makan di luar,” ucapnya sambil melihat jam yang melingkar di tangannya.
“Ayu nunggu Papa saja.”
“Baiklah. Papa pergi dulu,” pamitnya dengan terburu-buru.
“Papa,” panggil Ayu sambil menunjuk di dahinya.
Ah, kau ada-ada saja. Tapi Dika tak bisa menolaknya. Diapun mencium kening Ayu dan wajahnya berulang, sebelum akhirnya berlari keluar dengan dada yang berdebar-debar.
Semenjak hari itu Dika sudah tak berani lagi untuk bertemu dengan Ayu. JIka Ayu merengek minta bertemu, ia hanya mengatakan, selesaikan dulu S1-mu.
Ayu ingin protes, tapi sudahlah. Tak ada gunanya juga. Papa Dika tak mau menanggapinya. Lebih baik dia menyibukkan diri dengan belajar dan memenuhi keinginan Papa Dika yang tidak ia mengerti ini.Dengan begitu, dia bisa segera bertemu dengan Papa Dika.
Dia yakin papa Dika masih merindukannya. Terbukti dia masih membalas kalau dia chatting. Meski kadang agak lelet.
Untung dia punya teman yang baik seperti Yosep dan Rena yang selalu menghiburnya kala dia sedang sedih.
Ayu sangat senang, akhirnya bisa menyelesaikan kuliahnya S1-nya dalam waktu tak kurang dari 3 tahun. Besok ia akan diwisuda. Namu sayang, Papa Dika tak bersedia hadir. Dia sedih sekali, rasanya ingin menangis.
“Papa Dika kok gitu, sih.” Tulisnya dalam chat.
“Papa akan dimarahi kakek kalau meninggalkan pertemuan dengan klien ini.” Kata-kata balasannya yang sangat menyakitkan. Dia lebih mementingkan pekerjaan dari pada putrinya. Awas!...
“Papa tak sayang Ayu.”
“Papa selalu sayang Ayu. Papa janji akan jemput Ayu kalau nanti pulang ke Indo.”
“Janji, awas kalau tidak.”
“Insyaallah.”
Terlihat handphone Papa Dika sudah tak online lagi. Ayu pun menutup handphonenya. Dia segera menemui kakek Wisnu, Om Steven dan Tante Sofia yang sudah menunggu lama. Dan berangkat menuju tempat wisuda.
Ayu tak mau berlama-lama merayakan kelulusan bersama teman-temannya. Begitu acara selesai, ia pun berpamitan dan segera menuju ke bandara. Dia ingin sekali bertemu papa.
“Kamu mau pergi sekarang?” tanya Tante Sofia.
“Iya, aku kangen Papa,” jawab Ayu dengan polosnya.
Mereka bertiga pun saling berpandangan.
“Pergilah! Tapi Om dan Tante tak bisa menemanimu.”
“Tak apa-apa, Tante. Aku bisa pergi sendiri, kok.”
“Apa tidak bersama Kakek saja,” tawar Wisnu.
“Ah, enggak. Yang ada malah nggak pulang-pulang. Kakek kan mau berkencan dengan Oma Alda. Iya, kan.”
Wisnu pun tersenyum lebar. Memang begitu tujuannya datang ke sini. Selain menghadiri wisuda cucunya, juga sambang pada istri ke duanya yang ada di Melbourne.
“Ya sudah, pergilah,” ucapnya kemudian.
Tanpa menoleh lagi, Ayu berjalan cepat menuju mobilnya.
“Ayo berangkat, Mbak Nelly!” kata Ayu pada wanita yang setia menjadi sopirnya sekaligus pengawal selama ini.
Tak lama kemudian mobil itu pun melaju berlahan, meninggalkan mereka semua.
***
Ayu sangat lelah dengan rasa rindu yang selama ini ia simpan. Meski matanya terpejam, namun jiwanya tetap mengembara. Sehingga waktu yang cukup lama dalam pesawat, tak bisa membuat lelahnya sirna.
Hanya satu obat untuk meredam kelelahan jiwanya kali ini. Yaitu bertemu dengan papa Dika.
Ketika masuk ke ruang penjemputan, ia segera mencari sosok itu. Dia segera mengedarkan pandangannya di seluruh sudut ruangan. Dia pun melonjak kegirangan, saat tahu bahwa sosok itu telah menantinya.
Dari jauh ia sudah melihatnya. Meski papa Dika telah berumur, tapi ia tampak awet muda. Rambutnya masih hitam semua. Dan semakin tampan dengan pakaian casual membalut tubuhnya yang tegap.
Ayu yang menyimpan rindu yang mendalam pada papa Dika, segera berlari menghampiri sosok laki-laki yang kini berdiri membelakanginya.
“Papa,” panggil Ayu. Namun langkahnya harus terhenti, manakala melihat papa Dika melihat dirinya dengan wajah bingung. Apakah papa Dika tak mengenalinya lagi.
“Lea,” ucap Dika tak percaya. Dia yang hampir 4 tahun tak berjumpa, hampir tak bisa membedakan lagi antara Lea dan Ayudia
Ayu seketika tersenyum. Bukan kali ini saja, Ayu mendapatkan panggilan seperti itu. Kakek, bibi dan pamannya juga menyebutnya demikian.
Mereka mengatakan kalau dirinya fotokopi dari mama Lea, bak pinang dibelah dua. Apalagi sekarang ia berumur sama saat mama Lea meninggal dunia, 20 tahun.
Hanya satu yang membedakan mereka berdua. Bola mata mama Lea hitam, sedangkan dia memiliki bola mata coklat. Ia juga sering bertanya, mengapa bola matanya bisa coklat. Padahal keluarga papanya asli orang Indo, demikian juga dengan keluarga mama Lea asli orang Indo. Masak ia bukan keturunan mereka?
Kalau bukan keturunan mereka, lalu dia siapa?
Tapi mana sempat ia berfikir. Yang penting mereka menyayanginya. Itu sudah cukup baginya dan menyebut mereka keluarga.
Ayu tak mau papa Dika berlama-lama berfikir. Ia pun segera memeluknya sambil berkata, “Papa. Aku Ayu, putrimu dari mama Lea.”
Dika yang sampai saat ini masih terbayang sosok Lea agak gemetar. Dia membalas pelukannya dengan sangat erat dan penuh kerinduan, sambil berkata lirih, “Lea, tenanglah tidur di sana. Biarlah putrimu denganku.”
Sontak membuat Ayu tertawa.
“Lihat mata Ayu, Papa.” Ayu segera menarik dirinya dan melebarkan matanya sampai benar-benar bulat sempurna. Agar Papa Dika segera mengenali dirinya.
Dika pun memperhatikannya. Ia pun tertawa lepas. Mentertawakan dirinya yang tak mengenali putrinya dengan baik.
“Aaayuuu…kamu itu membuat kaget Papa. Aku kira kamu itu hantu mamamu yang mau menghukum papa karena akhir-akhir ini abai sama kamu.”
“Papa ini ada-ada saja. Masak hantu muncul di siang bolong. Ah, pasti karena Papa sedang rindu dengan Mama. Makanya Papa seolah-olah melihat mama. Kita ke makamnya mama dulu ya, Pa. Ayu juga kangen, lama tak mengunjungi makam mama.”
“Ok.”
mampir juga di karya aku ya🤭