Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman
Sindi dan Elsa berdiri kaku di depan pintu ruang rapat fakultas, dada mereka naik turun cepat. Ketika nama mereka dipanggil, kaki seolah kehilangan tenaga. Pintu berdecit saat dibuka, dan di baliknya, hawa dingin segera menyeruak.
Albert duduk di kursi utama dengan wajah setenang batu, tapi tatapan matanya menusuk seperti bilah belati.
“Kalian tahu apa kesalahan kalian?” suaranya datar, namun cukup untuk membuat udara di ruangan itu membeku.
Sindi menunduk, jemarinya meremas ujung kemeja hingga kusut. Elsa di sebelahnya tampak gemetar halus, matanya mulai berkaca.
“Jawab!” suara Albert tiba-tiba meninggi, diiringi gebrakan keras di atas meja,
BRAKKK!
Kedua gadis itu sontak tersentak.
“Ma… maafkan kami, Pak,” suara Sindi bergetar, hampir tak terdengar.
Namun Albert hanya menatap tajam.
“Saya tidak butuh maaf.”
Nada suaranya seperti cambuk yang menyayat keheningan.
Di sudut ruangan, Pak Dani menelan ludah. Dosen itu sama tegangnya. Ia tahu, posisinya kini di ujung tanduk. Bukan hanya karena perbuatannya yang memalukan, tapi karena ia tega mengorbankan orang lain demi menutupi aib sendiri.
Albert menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan terlipat di dada.
“Masih muda, tapi kalian sudah belajar cara paling kotor untuk menjatuhkan orang lain.”
Kata-kata itu keluar perlahan, namun setiap suku katanya terasa menohok.
Tak ada yang berani bernapas terlalu keras. Bahkan Bu Dina dan Bu Ela yang semula sedang memeriksa tumpukan tugas kini berhenti, menatap suasana mencekam di depan mata mereka.
Krekk…
Suara pintu terbuka memecah ketegangan.
Bagas masuk, wajahnya serius, diikuti dua pria paruh baya yang langsung mematung di ambang pintu.
Mereka adalah Pak Pramono, ayah Sindi, dan Pak Rega, ayah Elsa.
Keduanya terpaku, tak percaya melihat putri mereka berdiri di hadapan Albert dengan wajah pucat ketakutan.
“Tu—Tuan Albert…” ucap Pak Pram gugup, berusaha menahan suara agar tetap tenang. Ia jelas mengenal sosok itu, anak muda yang namanya begitu disegani di dunia bisnis, dingin tapi berwibawa, berkuasa namun jarang menunjukkan emosi.
Albert hanya menoleh sekilas. Tatapannya tajam, tapi kosong.
Tanpa sepatah kata pun, ia kembali menatap dua gadis di depannya, dan dalam diam itu, semua orang di ruangan sadar satu hal:
hari ini, tidak ada yang bisa bersembunyi dari amarah Albert.
“Tuan, apa kesalahan anak saya sampai kami selaku orang tua dipanggil ke sini?”
Suara Pak Rega terdengar berat, berusaha terdengar tenang meski nada curiganya tidak bisa disembunyikan.
Albert hanya mengangkat alis, lalu menatap sekilas ke arah Bu Ela.
Tanpa sepatah kata pun, tatapan itu sudah menjadi perintah.
Bu Ela segera berdiri, merapikan map di tangannya sebelum melangkah ke depan.
“Begini, Pak,” ucapnya hati-hati, “Elsa dan Sindi telah melakukan pelanggaran serius. Mereka mengancam Pak Dani agar membuang lembar jawaban olimpiade milik Cantika, tujuannya jelas, supaya Cantika gagal mendapat beasiswa S2.”
Sekejap ruangan terdiam.
Bahkan suara kipas angin pun terasa menguap.
Mata Pak Pram membulat tak percaya.
“Apa? Mengancam?! Gak mungkin! Anak saya bukan tipe seperti itu,” suaranya meninggi, nada defensif terdengar jelas. “Jangan-jangan dosen yang bernama Pak Dani itu yang mengada-ada!”
Wajah Pak Dani seketika memerah. Ia tak tahan menahan tuduhan itu.
“Saya tidak mengada-ada!” suaranya bergetar karena campuran marah dan takut.
“Sindi dan Elsa sendiri yang datang ke ruangan saya, mereka bilang kalau saya tidak membuang lembar jawaban Cantika, mereka akan menyebarkan foto saya dengan Bu Arlin!”
Semua mata langsung beralih padanya.
Ketegangan makin terasa, terutama saat nama “Bu Arlin” disebut.
Pak Pram mendengus sinis.
“Haha… kau memang bodoh, Pak Dani. Punya hubungan dengan perempuan yang sudah bersuami?” cibirnya, nada merendahkan menggema di ruangan itu.
“Jangan pernah ikut campu—”
BRAAKKK!!
Gebrakan keras dari meja Albert memutus semua kalimat yang hendak keluar.
Suara kayu beradu dengan marmer menggema tajam, membuat jantung semua orang berdegup kencang.
Albert berdiri perlahan, wajahnya datar namun matanya menyala tajam seperti bara yang siap membakar.
“Cukup.”
Suaranya pelan, tapi lebih menakutkan daripada teriakan.
“Di ruangan ini bukan tempat untuk berdebat…” ucapnya dingin, menatap satu per satu orang di hadapannya.
“Kita bukan sedang membicarakan urusan rumah tangga atau siapa yang paling benar. Yang kita bicarakan di sini adalah kejahatan moral. Pengkhianatan terhadap kejujuran.”
Tak ada yang berani menjawab.
Sindi dan Elsa hanya bisa menunduk, tubuh mereka gemetar.
Pak Dani menunduk pula, penuh rasa bersalah.
Sementara kedua ayah mereka kini mulai sadar, di hadapan Albert, tidak ada pembenaran yang bisa menyelamatkan siapa pun.
Sementara di ruang kelas, suasana siang itu terasa berbeda.
Bisik-bisik lirih terdengar dari berbagai arah, menciptakan gelombang gosip yang menyebar cepat seperti angin.
“Parah banget, ya, mereka. Tega banget sama si Tika.”
“Iya, demi ngerebut beasiswa aja sampai segitu kejamnya.”
“Mentang-mentang punya koneksi, pikir bisa lolos.”
Kata-kata itu berbisik pelan, tapi cukup jelas untuk sampai ke telinga Cantika.
Wajahnya menegang. Ia berusaha tetap menunduk, berpura-pura fokus pada buku, tapi jantungnya berdetak tak karuan.
Jesika, yang duduk di sebelahnya, langsung menangkap perubahan ekspresi sahabatnya.
“Udah, yuk. Ke kantin aja,” ujarnya lembut sambil menarik tangan Cantika.
Cantika mengangguk pelan. Ia berdiri, memeluk tasnya erat—seolah masih takut sesuatu buruk akan terjadi.
Langkah mereka menyusuri koridor yang kini terasa begitu panjang dan penuh tatapan.
“Gila ya mereka berdua,” kata Jesika akhirnya, mencoba memecah keheningan. “Berani banget ngelakuin hal kotor kayak gitu.”
Cantika menatap ke depan, matanya sendu.
“Aku juga gak ngerti, Jes. Kenapa mereka berdua benci banget sama aku…”
Suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk mahasiswa yang lewat.
Jesika menatapnya penuh empati.
“Udah, gak usah dipikirin. Yang penting, keadilan berpihak sama kamu, Tik. Dan aku yakin, Tuan Albert gak akan biarin mereka lolos. Dia gak pernah main-main soal hukuman.”
Deghhh…
Langkah Cantika tiba-tiba terhenti. Ia menoleh cepat ke arah Jesika.
“Tuan… Albert?”
Jesika mengangguk santai, seolah hal itu sudah umum diketahui.
“Iyah. Tamu VIP kamu kemarin itu.”
Cantika menatapnya tak percaya.
“Maksud kamu… Tuan Albert itu… pemilik kampus ini?”
Jesika menghela napas, mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah.
“Ya bisa dibilang gitu. Katanya sih, kampus ini peninggalan kakeknya, Tuan Bratajaya. Tapi setelah beliau meninggal, semuanya diwariskan ke anaknya, Pak Arlo. Nah, karena Pak Arlo terlalu sibuk dan gak peduli sama urusan kampus, akhirnya kepemilikan itu jatuh ke tangan Albert.”
Cantika terdiam.
Dunia seolah berhenti sesaat. Ia memandangi lantai dengan tatapan kosong, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.
**
Sementara di parkiran kampus...
Udara sore terasa panas dan pengap. Suara mesin mobil yang sesekali menyala tak mampu menutupi nada tinggi Pak Pram yang sedang meluapkan amarah.
“Kamu memang anak bodoh!” bentaknya sambil menarik tangan Sindi dengan kasar.
“Aduh! Sakit, Pah!” jerit Sindi, mencoba melepaskan pegangan itu.
Kulit tangannya memerah, tapi tatapan Pak Pram lebih tajam daripada rasa perih di kulitnya.
Begitu sadar, Pak Pram melepas pegangan itu, namun amarah di wajahnya tak juga reda.
“Bisa-bisanya kamu berbuat hal sehina ini sampai dikeluarkan dari kampus! Harusnya kamu contoh kakak kamu, dia pintar, penurut, dan gak pernah bikin malu keluarga!”
Sindi menunduk, tapi bukan karena menyesal.
Rahangnya mengeras, matanya berkilat menahan emosi. Jemarinya mengepal kuat di sisi tubuhnya.
“Terus aja salahin aku,” gumamnya pelan, namun suaranya sarat dengan perlawanan.
Pak Pram mendengus kasar.
“Ya memang salah kamu! Sekarang cepat masuk mobil, pulang! Papah akan kasih kamu pelajaran biar tahu rasanya bikin malu keluarga!”
Tanpa memberi kesempatan membela diri, Pak Pram kembali menarik tangannya dan memaksanya berjalan.
Beberapa mahasiswa yang masih berada di parkiran hanya bisa menatap dengan tatapan iba dan terkejut, namun tak ada yang berani mendekat.
Sindi menunduk, air mata mengalir diam-diam di pipinya.
Bukan karena takut. Tapi karena terlalu banyak yang ia tahan, marah, kecewa, dan sakit hati yang sudah menumpuk lama.
Saat mobil ayahnya melaju meninggalkan parkiran, Sindi menatap keluar jendela, menatap gedung kampus yang semakin menjauh.
Di dalam dirinya, satu nama berputar kuat seperti bara api yang tak padam.
Cantika.
Gadis itu.
Yang selalu dipuji.
Yang selalu menang.
Yang kini membuat semua orang memandang Sindi seolah ia sampah.
Sindi mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih.
Matanya berkilat tajam, dan di balik tangisan yang menetes, mulai tumbuh sesuatu yang berbahaya, rasa benci yang bisa berubah menjadi dendam.