Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6. MENGOBROL SERU
Suasana malam di rumah Morelli terasa begitu tenang. Angin musim gugur bertiup lembut melalui jendela besar di ruang tengah, menggoyangkan tirai putih yang menari perlahan di udara. Lampu gantung di atas meja hanya menyala temaram, menciptakan cahaya lembut yang menyelimuti ruangan.
Elena duduk di kursi seberang Hans, sementara Ronald duduk di sebelah Hans dengan tangan menyilang, memerhatikan keduanya dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.
"Theo tidur seperti itu sejak tadi?" tanya Hans penasaran.
Elena mengangguk. "Dia lelah. Seharian bermain, lalu makan dengan lahap. Anak itu penuh energi, tapi hatinya lembut."
Hans tersenyum samar, pandangannya jatuh pada anaknya yang tertidur. "Theo ... dia memang lembut. Tapi juga keras kepala. Seperti ayahnya, mungkin."
Elena mengangkat alis. "Kau sadar itu?"
Hans tertawa kecil, sesuatu yang jarang terlihat dari pria berwibawa seperti dirinya. "Ya. Aku sadar. Ronald sering mengeluh tentang itu," akunya.
Ronald menimpali cepat, "Karena benar! Kau mendidiknya seperti mendidik karyawan, bukan anak-anak."
Hans melirik adiknya tajam
Elena menahan tawa. "Aku rasa, Hans hanya tidak tahu bagaimana cara menjadi ayah sekaligus ibu."
Ucapan itu membuat Hans terdiam. Ada sesuatu yang bergetar halus di balik mata tajamnya. Ia menatap Elena lama sebelum akhirnya bicara pelan, suaranya dalam.
"Dia tidak punya ibu, Elena. Wanita itu ... hanya satu malam bersamaku. Aku mabuk saat itu, dan dia ...," Hans berhenti sejenak, menunduk. "dia hanyalah kesalahan yang menjadi konsekuensi terbesar dalam hidupku. Tapi aku tak menyesal karena dari kesalahan itu ... Theo lahir."
Elena menatapnya diam-diam, mempelajari setiap nada yang keluar dari bibir pria itu. "Dan ibunya?"
Hans menatap meja, lalu menarik napas panjang. "Dia tidak pernah menginginkan Theo. Saat tahu dia hamil, hal pertama yang dia katakan padaku adalah ingin menggugurkannya. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Jadi aku membuat kesepakatan."
"Kesepakatan?" Elena memiringkan kepala.
Ronald ikut menimpali, suaranya rendah tapi tegas. "Hans memberinya sejumlah besar uang. Sebagai gantinya, wanita itu melahirkan Theo dan pergi, tanpa hak apa pun atas anak itu. Sejak saat itu, Theo hanya tahu ayahnya."
Elena mengangguk pelan, tatapannya lembut. "Setidaknya, kau memilih benar. Kau tidak membiarkan anakmu kehilangan hidupnya bahkan sebelum dia lahir."
Hans mengangkat kepala, menatap Elena dengan pandangan sulit dijelaskan. "Aku mungkin ayah yang keras, tapi aku bukan pengecut yang menyerahkan anakku pada wanita yang nyaris membunuhnya bahkan sebelum dia melihat dunia."
Ada nada getir di suaranya. Elena bisa merasakannya, bukan hanya kebanggaan seorang ayah, tapi juga luka yang tertanam jauh di dalam.
"Dan Theo tumbuh tanpa tahu sosok ibunya," lanjut Elena pelan. "Tak heran dia memanggilku 'Mama' saat pertama kali bertemu."
Hans menatapnya, lalu tersenyum kecut. "Mungkin instingnya tahu. Bahwa dia rindu sesuatu yang tak bisa kuberikan."
"Kasih sayang seorang ibu," bisik Elena.
Keheningan menggantung di udara. Suara napas Theo yang teratur menjadi satu-satunya hal yang terdengar di antara mereka bertiga.
Lama mereka hanya diam. Hingga Ronald memecah suasana dengan nada lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
"Elena ... aku masih penasaran satu hal," ujar Roland.
"Apa?" Elena menatapnya.
"Dulu, kau dan Hans hampir selalu berhadapan di dunia bisnis. Kau perempuan pertama yang pernah membuat Alvarez & Morelli harus kerja keras memperebutkan tender. Tapi kemudian ... kau menghilang. Tidak ada lagi Elena Alvarez di rapat-rapat besar, tidak ada lagi di artikel ekonomi, bahkan di jaringan perusahaan pun namamu lenyap. Kenapa?"
Elena terdiam lama. Tatapannya perlahan turun, menatap cangkir teh di tangannya. Ia mengaduk perlahan isinya, mendengarkan suara sendok beradu lembut dengan dinding porselen. Lalu ia berkata lirih.
"Aku menikah," jawab Elena.
Hans mendecih. "Dengan pria Wattson dungu itu."
Elena tersenyum tipis. Senyum yang tidak benar-benar bahagia. "Benar. Aku berpikir ... mungkin aku ingin mencoba hidup normal. Bukan sebagai wanita karier, bukan pesaing keras kepala yang selalu memperebutkan angka, melainkan sebagai istri yang mendukung suaminya."
Hans menyandarkan tubuh ke kursi, matanya menyipit. "Dan suamimu ... membiarkanmu berhenti begitu saja?"
Elena menggeleng. "Dia malah senang. Aku pikir waktu itu, itulah arti cinta. Mendedikasikan hidupku untuknya. Mengurus rumah, menemaninya makan, menjadi 'wanita baik-baik' seperti yang dia mau."
Elena berhenti sejenak, menatap kosong ke arah jendela, lalu melanjutkan, "Tapi aku salah. Ternyata menjadi 'baik' tidak cukup untuk membuat seseorang tetap tinggal."
Ronald menunduk. Hans hanya menatap Elena tanpa berkedip. Ada keheningan panjang sebelum suara lembut ponsel memecah suasana.
Nada dering itu terdengar nyaring di ruang senyap. Elena menatap layar ponselnya sekilas, lalu wajahnya seketika berubah masam. Cahaya kecil dari layar itu menyoroti nama yang terpampang besar; Raven.
Hans menangkap perubahan ekspresi itu. "Kenapa kau tidak mengangkatnya?"
Elena tidak menjawab. Ia hanya menatap layar beberapa detik, lalu tanpa ragu menekan tombol block. Ponsel itu kembali diam.
Hans menatapnya tak percaya. "Kau ... memblokirnya?"
Elena hanya menghela napas dalam, meletakkan ponsel di meja. "Ya."
"Kenapa?" tanya Hans lagi, suaranya tak lagi datar, melainkan mengandung rasa ingin tahu dan kekhawatiran.
Elena tertawa pendek, tapi tawa itu hambar. "Karena kalau aku mendengar suaranya lagi, mungkin aku akan muntah."
Ronald yang mendengar refleks berdeham pelan.
Hans menatap Elena, tidak tahu harus berkata apa.
Dan di sinilah sesuatu yang belum pernah mereka dengar sebelumnya terjadi, Elena Wattson, wanita dingin, logis, dan tegas yang selalu bicara dengan penuh kendali, kini mulai kehilangan ketenangan.
"Pria itu," suara Elena serak, matanya menatap kosong. "Dia selingkuh, Hans. Selama setahun penuh. Mungkin lebih. Dengan perempuan murahan yang aku tidak tahu rupanya. Yang pasti kalau wanita baik-baik tidak akan tidur dengan suami orang."
Hans mengepalkan tangan di atas meja. "Selingkuh?"
Elena mengangguk, kali ini dengan nada getir yang menusuk. "Dan yang lebih gila lagi ... dia bilang akan menikahinya. Dengan alasan aku tidak bisa memberinya keturunan." Suara Elena meninggi, tapi tetap terkendali. "Seolah aku adalah benda rusak yang tidak berfungsi!"
Ronald menatap Hans yang kini rahangnya menegang, urat di pelipisnya menonjol. Ia tahu betul tatapan itu, tatapan seseorang yang sedang menahan amarah.
"Elena ...," kata Ronald pelan, tapi wanita itu sudah melanjutkan.
"Dia bilang aku mandul. Bahwa aku cuma beban. Bahwa tempatku seharusnya bukan di sampingnya karena aku wanita yang 'cacat'. Dan yang paling menjijikkan ...," Elena memejamkan mata sejenak. "Dia ingin aku membesarkan anaknya dengan perempuan itu."
Keheningan membeku di udara selama beberapa detik. Lalu suara serempak terdengar.
"APA?!" Hans dan Ronald bersamaan memaki dengan ekspresi kaget dan marah.
"Bangs*t!" desis Ronald keras.
"Dungu," umpat Hans di antara rahang yang terkunci rapat. "Pria itu benar-benar gila."
Elena, yang melihat ekspresi keduanya, tiba-tiba tertawa kecil di antara air matanya yang nyaris jatuh.
"Akhirnya ada yang setuju denganku. Biasanya aku hanya mengutuknya sendirian," ujar Elena tertawa puas.
Ronald masih menggeleng tak percaya. "Dia menyuruhmu membesarkan anak hasil selingkuhnya? Apa dia pikir kau pengasuh?"
"Dia pikir aku akan tetap tunduk seperti dulu," jawab Elena dingin. "Tapi tidak kali ini. Aku sudah mengajukan gugatan cerai"
Hans terdiam lama. Lalu berkata dengan suara rendah namun tegas, "Kau melakukan hal yang benar"
Elena menatapnya. "Benarkah?"
Hans mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Ya. Kau bukan tipe wanita yang menyerah pada penghinaan. Kau lebih kuat dari itu, Elena. Aku selalu tahu itu, bahkan saat kita saling menjatuhkan di dunia bisnis."
Ronald ikut mengangguk setuju. "Aku baru tahu kenapa Hans dulu selalu kesal kalau kalah tender darimu. Ternyata karena diam-diam dia kagum."
"Ronald," geram Hans pelan, membuat Elena tertawa kecil.
"Tapi jujur saja," lanjut Ronald tanpa dosa, "aku juga kagum. Jarang ada wanita yang bisa tetap setenang ini setelah dihancurkan suaminya."
Elena menghela napas dan tersenyum samar. "Mungkin karena aku sudah terlalu sering hancur olehnya sampai akhirnya kebal."
Hans memerhatikan wanita itu dengan pandangan berbeda kini, bukan lagi sebagai rival, tapi sebagai seseorang yang pernah berdiri sendirian melawan dunia, sama seperti dirinya.
Dan ketika Elena menatapnya balik, tatapan mereka bertemu dalam diam, dua jiwa yang sama-sama tahu rasanya dikhianati oleh orang yang mereka ingin percayai.
Setelah beberapa saat, Elena mencondongkan tubuh sedikit, seolah hendak berbagi rahasia. Suaranya turun menjadi bisikan.
"Ada sesuatu yang belum kukatakan," ujarnya pelan.
Hans dan Ronald otomatis menunduk sedikit, mendekat.
Elena menatap mereka, lalu tersenyum miring.
"Aku tidak hanya menggugat cerai Raven. Aku juga memegang 20% saham perusahaan miliknya ... dan besok pagi aku akan menjual semuanya, kepada rival terbesarnya."
Hans menatapnya terkejut. "Kau jangan bilang ...."
Elena menatapnya bangga dengan senyum penuh kemenangan. "Kepada Morelli Corporation."
Ronald terbahak keras. "Astaga! Hans! Dengar itu?! Ini luar biasa!"
Hans, yang biasanya tenang dan penuh kendali, justru menunduk sambil tertawa kecil. Tawanya pelan, tapi sarat kepuasan.
"Kau benar-benar wanita tak terduga, Elena. Bahkan setelah semua yang terjadi, kau masih punya nyali sebesar itu," puji Hans.
Elena mengangkat bahu. "Kalau dia ingin menjatuhkanku, biarlah. Tapi aku akan memastikan mereka ikut jatuh bersamaku."
"Sekarang itu baru Elena yang kukenal," ucap Hans dengan senyum tipis yang nyaris bangga.
Ronald menepuk tangannya. "Kau tahu, aku suka sisi gilamu ini, Elena. Dunia bisnis butuh lebih banyak orang sepertimu!"
Elena tertawa kecil, untuk pertama kalinya malam itu tertawa tanpa getir. "Terima kasih. Rasanya menyenangkan mendengar seseorang memaki Raven selain aku."
"Percayalah," ujar Hans, nada suaranya rendah tapi jujur, "aku bisa saja melakukannya tiap hari."
Mereka bertiga tertawa, dan suasana yang sebelumnya tegang kini mencair perlahan menjadi hangat. Entah bagaimana, malam itu terasa seperti pelarian kecil dari semua luka masing-masing. Elena bahkan lupa sejenak bahwa ia berada di rumah musuh lamanya.
Ketika jam menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas, Elena bangkit dari kursinya.
"Aku harus pulang. Orang tuaku pasti khawatir. Aku bilang tadi hanya akan singgah sebentar untuk mengepak barang di rumah," kata Elena.
Hans berdiri. "Kau yakin bisa pulang sendiri? Sudah larut."
Elena tersenyum. "Aku bisa. Tapi terima kasih, Hans."
Ronald menatap mereka berdua dengan ekspresi menggoda. "Hans, kau sadar tidak, suasana ini mirip kencan gagal antara dua orang kompetitor?"
Hans menatap adiknya tajam. "Diam, Ronald."
Elena menahan tawa, menggeleng kecil. "Kau tidak pernah berubah, Ronald."
"Dan aku tidak berniat berubah," jawab Ronald cepat.
Hans mengantar Elena sampai ke pintu. Udara malam menusuk lembut, namun entah kenapa terasa lebih hangat dari sebelumnya. Elena menatap pria itu, tersenyum kecil.
"Terima kasih sudah mendengarkan," kata Elena.
Hans membalas dengan anggukan pelan. "Terima kasih juga, sudah membuat rumah ini hidup malam ini dan juga sudah membuat Theo bahagia."
Elena menatapnya sesaat lebih lama, lalu berbalik dan melangkah menuju mobilnya. Hans berdiri di depan pintu, memperhatikan punggung wanita itu sampai menghilang di tikungan jalan.
Tidak tahu bahwa hari itu adalah pembuka pertemuan mereka menjadi sebuah takdir yang tak terduga.
masih penasaran sm mlm pertama mereka berdua, othor nih bikin penasaran aja deh 😁
kalau Elena gak mandul, semoga yg mandul Raven dan ternyata Jessy hamil dgn pria lain, pasti aku akan bersorak kegirangan 🤣
selamat atas pernikahan Hans dgn Elena dan selamat untuk Theo akhirnya Elena jadi Mama nya beneran 😍
jangan jadi hama😤.