Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 7.
Setelah konferensi singkat itu selesai, Ardan keluar ruangan dengan langkah tenang. Nadira mengikuti di belakang, namun tatapan orang-orang seolah menembus kulitnya. Beberapa staf hotel berbisik, sebagian bahkan menyeringai sinis.
“Nadira!” suara Ardan berat, membuat tubuhnya refleks menegang. “Jangan tertinggal! Kau mau membuat orang semakin percaya gosip itu?”
Nadira buru-buru berjalan kembali. “Maaf, Tuan…”
Di dalam mobil Ardan menatap layar ponselnya, nama ayah Claudia muncul. Sekilas ia melirik Nadira, lalu dengan berat hati menekan tombol terima.
“Ya, Om.” Suaranya datar, tapi rahangnya mengeras.
“Ardan!” suara di seberang tajam seperti pisau. “Apa maksud dari berita hari ini? Kau berani mengkhianati putriku?”
Ardan menahan napas, menegakkan tubuhnya. “Dia sekretaris saya, sudah saya tegaskan dalam wawancara tadi.”
“Jangan bermain api!” bentak pria itu. “Jangan lupa dari mana kau dapatkan kekuasaanmu sekarang. Ingat! Dulu kau hanyalah seorang mantan kriminal, dan aku mengangkat mu jadi pegawaiku... semua demi keinginan putriku! Sekali saja kau melukai hatinya, aku bersumpah… aku tidak akan pernah memaafkan mu!”
Jemari Ardan mengepal di sisi pahanya. “Saya ada meeting, Om. Kita bicarakan lagi nanti.”
Tanpa menunggu balasan, ia menutup panggilan. Napas panjangnya terdengar berat, seperti menahan badai di dadanya.
Mobil berhenti di depan gedung meeting. Mereka turun tanpa sepatah kata pun, udara di antara Ardan dan Nadira begitu tebal penuh ketegangan yang tak terucap.
Siang itu, agenda meeting lanjutan dengan Mr. Jonathan kembali digelar. Suasana seharusnya tenang, namun Nadira bisa merasakan atmosfer berbeda. Investor itu ramah seperti biasa, tetapi ada jeda dalam cara investor itu menatap Ardan.
“Mr. Ardan,” ucap Jonathan perlahan, “saya melihat beberapa berita pagi ini. Saya harap… tidak akan memengaruhi citra perusahaan Anda?”
Pembicaraan keduanya memakai bahasa inggris.
Ardan tersenyum tipis, ekspresinya tetap tenang. “Perusahaan saya tidak pernah mengandalkan gosip untuk berjalan, Mr. Jonathan. Kami berdiri dengan kerja keras dan hasil yang terukur, Anda akan melihat itu dari laporan yang saya berikan.”
Jawaban Ardan terdengar mantap, tapi Nadira bisa melihat urat tegang di rahangnya. Pria itu sedang menahan amarah.
Mr. Jonathan mengangguk, walau rautnya masih menyimpan keraguan. “Saya mengerti. Tetapi Anda tahu sendiri, citra publik juga penting…”
Ardan mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya tajam namun suaranya tetap formal. “Saya pastikan, publik akan melupakan isu ini sebelum mereka sempat menuliskannya lagi.”
Nadira merasakan hawa dingin dari kata-kata itu. Ia menunduk, takut menatap langsung.
Setelah pertemuan selesai, mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap. Ardan melempar jasnya ke sofa, lalu berdiri di depan jendela besar. Tangannya terlipat di dada, bahunya tegang.
“Kau tahu apa artinya, Nadira?” suaranya rendah, menahan emosi.
Nadira menggenggam map erat-erat. “A-artinya investor mungkin… bisa membatalkan kerja sama?”
Ardan menoleh cepat, matanya menusuk. “Artinya, aku harus membersihkan namaku secepatnya. Dan itu berarti, kau harus menjauh dariku mulai hari ini.”
Nadira terdiam, kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada tatapan dinginnya. “Jauh… dari Tuan?”
“Ya,” jawab Ardan tegas. “Kau tetap akan jadi sekretarisku. Tapi untuk sementara, jangan muncul di publik bersamaku. Semua urusan hanya lewat dokumen, email atau telepon. Mengerti?”
Nadira menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan asing yang mengaduk-aduk. “Mengerti, Tuan…”
“Besok kita pulang,” ujar Ardan lagi.
“Baik, Tuan.”
Ardan kembali menatap keluar jendela. Namun ia tidak sadar, tangannya mengepal di balik punggung. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak nyaman dengan keputusan itu, tapi ia terlalu keras kepala untuk mengakuinya.
Di lorong hotel saat ia menuju kamarnya sendiri, Nadira berjalan sendirian. Beberapa staf masih membicarakannya, bahkan ada yang berani berbisik cukup keras.
“Pasti dia wanita simpanannya…”
“Cantik sih, tapi kasihan kalau cuma dipermainkan…”
Nadira menunduk, berusaha tidak peduli tapi hatinya terasa nyeri. Ia ingin membela diri, tapi untuk apa? Dunia sudah telanjur menilainya.
Di sudut ruangan, mata lain terus mengintai. Orang suruhan Claudia, orang yang sama yang telah memotret dan menyebarkan foto-foto mereka menginap satu kamar. Dia tetap mengawasi, lalu menelepon Claudia untuk melapor.
.
.
.
Sementara itu di sebuah ruangan remang, Claudia menerima telepon.
“Nona, mereka baru selesai. Apa langkah selanjutnya?” suara anak buahnya terdengar dari seberang.
Claudia tersenyum miring, matanya berkilat dingin. “Cukup untuk sekarang, Ayahku sudah memberi peringatan pada Ardan. Dia akan lebih berhati-hati… terutama dengan wanita itu, mantan istrinya.”
Telepon ditutup.
Claudia menyandarkan tubuhnya di kursi, bibirnya perlahan melengkung membentuk senyuman licik. “Kau pikir bisa lepas dari genggamanku, Ardan? Aku tahu kau tak pernah mencintaiku, kau bahkan selalu bersikap dingin padaku. Tapi… balas budimu akan selalu mengikatmu. Meski kau kembali bertemu dengan mantan istrimu… memangnya kenapa? Dia tak ada apa-apanya dibandingkan aku!“
Wanita itu terkekeh, tawa rendahnya bergema seperti ancaman yang mengerikan.
.
.
.
Di sebuah rumah besar, seorang wanita paruh baya tampak anggun dalam kesederhanaannya. Meski kini bergelimang harta berkat keberhasilan putranya, ia tetap menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.
“Nyonya,” ucap seorang bawahan dengan nada hormat. “Berita tentang Tuan muda dan Nona Nadira sudah berhasil kami take down. Namun, jelas ada pihak yang ingin menjatuhkan Tuan Ardan.”
Wanita itu tersenyum tipis, sorot matanya tenang namun tajam. “Aku tahu siapa dalangnya, biarkan saja. Memang benar... dulu dia menolong Ardan saat putraku terpuruk, saat Ardan dicap kriminal dan terbuang. Tapi, kesuksesan Ardan hari ini bukanlah pemberian siapapun. Itu buah dari kerja keras dan pengorbanannya selama bertahun-tahun.”
Ia menegakkan duduknya, suara lembutnya berubah lebih tegas. “Mereka keliru jika mengira aku akan tinggal diam, ketika hidup anakku dikendalikan oleh mereka. Karena itulah aku mendatangkan kembali mantan istrinya, aku tidak pernah menginginkan Ardan menikahi Claudia hanya karena balas budi.”
Bawahan itu terkekeh kecil. “Jadi, itulah alasan Nyonya menerima Nona Nadira sebagai sekretaris Tuan Ardan. Tak heran, Tuan muda sempat murka pada asistennya karena merekrut sekretaris yang ceroboh. Rupanya... semua ini adalah rencana Nyonya.”
Wanita itu tertawa pelan, penuh perhitungan. Ada rahasia tujuh tahun lalu yang hingga kini ia simpan rapat dari putranya, rahasia yang mengakibatkan Ardan salah paham pada Nadira. Bertahun-tahun ia mencari jejak Nadira, dan baru kali ini ia berhasil menemukannya.
Baginya, tak ada keraguan sedikit pun. satu-satunya wanita yang pantas berdiri di sisi Ardan dan menjadi menantunya... hanyalah Nadira.
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒