Penyihir yang menjadi Buku Sihir di kehidupan keduanya.
Di sebuah dunia sihir. Dimana Sihir sudah meraja rela, namun bukan berarti tidak ada Pendekar dan Swordman di Dunia Sihir ini.
Kisah yang menceritakan pemuda yang memiliki saudara, yang bernama Len ji dan Leon ji. Yang akan di ceritakan adalah si Leon ji nya, adek nya. Dan perpisahan mereka di awali ketika Leon di Reinkarnasi menjadi Buku Sihir! Yang dimana buku itu menyimpan sesuatu kekuatan yang besar dan jika sampulnya di buka, maka seketika Kontrak pun terjadi!.
"Baca aku!!" Kata Leon yang sangat marah karena dirinya yang di Reinkarnasi menjadi Buku. Dan ia berjanji, siapa pun yang membaca nya, akan menjadi 'Penyihir Agung'!. Inilah kisah yang menceritakan perjalanan hidup Leon sebagai Buku Sihir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karya Penulis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Akhirnya selesai~" Kata Risver. Dia bersama Den. Akhirnya mereka menyelesaikan pembelajaran mereka, sepertinya mereka ingin bertemu Rafael.
"Kira-kira dimana mereka ya?.." Risver mencari Rafael dan Nel. Mereka sepertinya ingin bermain dengan mereka.
Risver dan Den mencari dimana-mana, namun mereka tidak kelihatan. Mereka juga tidak tahu dimana asrama Rafael dan Nel.
Membuat mereka sedikit susah mencarinya. Namun, keberuntungan datang, Den melihat Nel. Tampaknya Nel sedang membawa sesuatu.
"Eh, itu Nel, kan?.." Kata Den, Sembari menunjuk Nel. Risver menoleh. Dan benar, itu Nel. Mereka langsung menghampiri nya.
"Nel!" Panggil mereka, membuat Nel menoleh. Risver dan Den sedang berlari menuju nya.
"Ada apa? Mau main? Aku lagi tidak bisa, lihatlah, aku lagi sibuk," kata Nel. Dia membuang nafas berat. Rupanya dia lagi membuat Alat Sihir untuk Rafael nanti.
"Begitukah? Boleh kami bantu?" Risver ingin membantu Nel. Den menaikkan satu alisnya, Risver baik? Bukannya dia kasar?
"Hah.. Tak perlu, yang ada kalian akan membuat ku repot," Nel menolak nya dengan halus. Dia ingin membuat hadiah Rafael dengan tangan nya sendiri.
Risver tampak sedih, padahal dia ingin membantu Nel, dia ingin Nel melirik dirinya.
"Omong-omong, Rafael mana?" Kata Den. Dia bertanya kepada Nel.
"Rafael? Kalau tidak diasramanya pasti di Gudang Buku. Dah ya, aku harus cepat." Nel langsung bergegas meninggalkan mereka.
"Terima kasih!" Teriak Den. Dia melambai-lambai tangannya.
"Sayang sekali, aku lupa menanyakan dimana asrama Rafael," kata Den.
Lalu mereka bergegas mencari Gudang Buku, mereka sangat ingin bermain dengan Rafael.
"Anak itu lumayan cantik, kan?" Kata Risver. Pertanyaan nya lebih ke pernyataan. Membuat Den menoleh.
"Kau suka?" Den menaikkan satu alisnya. Mereka berbicara ditengah perjalanan.
Risver tersenyum malu, senyumannya lembut. "Sedikit," katanya. Membuat Den mengembangkan lubang hidungnya.
"Cie, cie..." Kata Den. Mereka bercanda dengan candaan yang menyenangkan.
Namun, mereka melihat Rafael tak lama setelahnya. Den menghentikan candaannya.
"Rafael!" Panggil Risver. Mereka langsung menghampiri Rafael. Sepertinya Rafael baru saja keluar dari Gudang Buku.
"Main yok!" Ajak Risver langsung setelahnya. Rafael menatapnya sembari membuang nafas berat.
"Apa kalian tidak capek? Aku baru saja selesai belajar dengan kak Riley tadi, kalian pun juga, sebaiknya istirahat," kata Rafael. Dia hanya beralasan.
Risver berpikir. Walau jelas mukanya menunjukkan kesuntukan.
"Bukannya kau baru selesai membaca ya?" Den menyela. Rupanya Den juga ingin bermain dengan Rafael.
"Haish!.. Baca tidak terlalu banyak menguras energi loh. Ajak Nel aja sana, pasti dia mau," kata Rafael. Dia lupa bahwa Nel sedang sibuk membuat Magic Tools nya.
"Tidak bisa, Nel sedang sibuk, makanya kami mencarimu." Risver menjawabnya.
'Hah.. iya ya.. Nel pasti sedang membuat hadiah yang dia janjikan,' Rafael membatin. Dia baru ingat. Tapi keputusannya untuk tidak bermain tetap teguh.
"Hah.. Yaudah kalau begitu, kalian beristirahat saja sana. Aku juga ingin tidur. Maaf ya... Besok-besok lagi aja.." Kata Rafael.
Dia tersenyum canggung seraya menggaruk dahinya yang tidak gatal. Sebisa mungkin tidak menyakiti hati mereka berdua.
Walau tampaknya Risver tidak mau dan terpaksa, tetapi Den meyakinkan Risver. Walau tak menyita banyak waktu, tetapi bagi Rafael itu membuang-buang waktu.
Setelah Den dan Risver pergi, Rafael langsung merubah ekspresi-nya.
"Pandai juga kau membuat alasan," kata Leon. Dia melipat tangan depan dada. Itu pujian.
'Ayo, kita harus cepat sebelum gelap,' Kata batin Rafael. Dia berkata kepada Leon. Seperti nya mereka akan ke hutan, menemui Viperlion.
Mereka langsung bergegas karena ini juga sudah sore. Ada keperluan yang harus mereka lakukan disana. Sembari menunggu Damian dan Laura.
Tentu jalannya sama, Rafael masih mengingatnya dengan jelas. Suasananya sedikit berubah, tiada kehadiran Nel ternyata membuat suasana sedikit berubah.
"Ku harap kau masih mengingat nya, soalnya aku sudah lupa," kata Leon, tertawa setelahnya. Itu karena umurnya yang sudah tua.
Mereka berjalan, sembari mereka melihat sekeliling, sungguh indah hutan yang masih murni ini. Dedaunannya masih tampak segar, walau sore tetapi embun masih tampak, bahkan matahari membuat nya semakin cantik.
Mereka berjalan di tengah keindahan yang tidak murah.
"Oh... Jadi disini perbatasannya, wilayah Crimson Horse dan Crimson Bear," kata Leon. Perbedaan itu begitu tampak. Wilayah Crimson Bear lebih tampak gelapnya, pepohonan lebih rimbun.
Membuat sinar matahari sedikit sulit menembus. Tidak tahu apakah matahari sudah terbenam atau belum.
"Benar... Suasana nya berbeda," kata Rafael. Dia melihat sekeliling, tidak menghentikan langkahnya.
Hutan itu lebih gelap dari sebelumnya. Namun penguasa wilayah itu sudah tiada, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Akhirnya mereka sampai. Tempat kejar-kejaran terjadi. Mayat Crimson Bear masih tergeletak disana, dengan urat ungu yang tampak bermunculan.
"Hmm... Dimana dia?" Tanya Rafael. Melihat sekeliling sembari berjalan pelan. Dia mencari Viperlion dan anaknya.
Namun tak lama setelahnya suara desisan ular terdengar. Seperti nya Viperlion mencium aroma Rafael, makanya ia langsung datang.
Dan, benar saja, itu adalah Viperlion. Dengan tubuh nya yang kecil, tidak sebesar yang kemarin.
"Hai," kata Rafael. Dia tersenyum senang, melihat Viperlion masih mengingatnya.
Ular itu mendekatkan kepalanya kepada Rafael, dan Rafael mengelusnya. Itu sebagai bentuk sapaan.
Namun, kejadian setelah ini membuat Rafael tidak menyangka. Terdengar suara, "Hai," yang entah dari mana asalnya.
Bukan dari Leon, Rafael melihat sekeliling, begitu juga dengan Leon, namun mereka tidak menemukan siapa pun. Hanya tinggal satu, hewan yang ada di depannya, Viperlion.
"Hai manusia. Akulah yang berbicara," suara itu muncul lagi. Begitu berwibawa dan dalam. Namun mulut Viperlion tidak terbuka.
"Kau?" Tanya Rafael. Dia menunjuk Viperlion. Suara nya penuh dengan keraguan.
Viperlion mengangguk. Rupanya benar dia yang berbicara. Membuat Rafael tersentak dan mundur selangkah.
Leon tertegun. Dia baru ingat, bahwa semua Makhluk Mistis bisa berbicara! Itu adalah ingatan lamanya.
"Nah, iya! Makhluk Mistis itu bisa berbicara! Aduh!.. Ingatan ku, padahal sedari awal seharusnya kau tidak akan terluka..." Kata Leon. Dia baru ingat. Dan tampak merasa bersalah.
Setelah mendengar kata Leon, Rafael menjadi tenang.
"Wah.. Kau bisa berbicara rupanya, salam kenal, aku Rafael, dan ini Leon, Master ku," Rafael memperkenalkan dirinya. Namun, kenapa Leon juga harus disebut? Padahal Viperlion tidak melihatnya.
"Siapa? Kau menunjuk siapa?" Ular itu tampak bingung sembari mengeluarkan lidahnya keluar masuk.
"Hah? Kau tidak melihat nya?" Tanya Rafael. 'Bagaimana ini Leon?..' Tanya batin Rafael. Dia sudah keceplosan.
Leon tampak memegang dahinya, bisa-bisanya Rafael mengatakannya.
"Hah.. Sudahlah, katakan saja yang sebenar nya," kata Leon. Tidak masalah juga kalau hewan tahu, kan dia tidak peduli dengan itu.
Lalu, Rafael menjelaskan kebenarannya. Tanpa berbohong sama sekali. Dia cukup tenang menceritakannya. Semua tentang Leon telah diketahui sepenuhnya oleh Viperlion.
"Baiklah kalau begitu.. Hai Leon dan Rafael, aku Xeno, namun spesies kami dikenal dengan nama Viperlion, tapi panggil saja aku Xeno," kata Ular itu, Xeno.
"Hai. Xeno... Bagaimana keadaan anak-anak mu?" Rafael bertanya kepada Xeno. Leon mendengarkan saja, suaranya tidak terdengar sama sekali oleh Xeno.
"Mereka belum menetas. Dan terima kasih atas pertolongan mu." Sembari menundukkan kepala nya.
"Aku akan memberikanmu satu anak ku padamu, anak ku akan mencegah hal yang buruk terjadi ketika racun itu mengulah," kata Xeno. Dia berniat memberi satu anaknya kepada Rafael.
Mendengar itu Rafael menolak, namun Xeno tetap memaksa.
"Kau tidak masalah? Anak mu terpisah loh..." Kata Rafael. Dia sungguh mengkhawatirkan akan hal itu. Saudara tidak boleh dipisah.
"Tenang saja... Bukannya kau bisa membawanya kemari? Sesekali kau harus kemari. Kalau anak ku tidak bersama mu, maka racun itu akan mengulah kepada manusia juga."
Jelas Xeno. Itu sebagai permintaan maafnya karena telah meracuni Rafael.
Mendengar itu, Leon menyuruhnya menerima nya, dan Rafael akhirnya menerima nya.
"Kalau begitu, dimana anak-anak mu?" Rafael bertanya. Dia ingin segera melihat rumah Xeno dan anak nya nantinya.
"Baiklah, ikuti aku," ajak Xeno. Dia jalan menelusuri tanah, dengan otot perutnya. Sirip nya yang berwarna putih cerah, sungguh indah.
Tak lama mereka sampai. Terlihat rumah pohon di atas pohon yang begitu tinggi. Rumahnya bukan seperti rumah, hanya papan yang begitu besar.
"Waw, kau pandai membuat rumah rupanya," puji Rafael, seraya melihat keatas, rumahnya juga ada atapnya ternyata.
"Kau harus memanjat dong," kata Leon. Pohon itu bukan main tinggi nya, melebihi 6 meter. Seperti nya itu pohon tertinggi di antara pohon lainnya.
"Ayo.." Ajak Xeno, dia mulai memanjat dengan melilit pohon yang tidak kalah besarnya dengan tubuhnya yang dalam mode kecil.
Namun, belum lagi Rafael memanjat, dia melihat babi hutan. Seketika saraf dan otaknya berkata lain.
Seolah dirinya adalah pemangsa, menatap babi hutan itu dengan mata nya. Matanya juga seketika berubah menjadi garis, seperti mata singa yang kelaparan.
"Loh, kok berhenti? Oi! Ada apa?" Tanya Leon. Padahal dia sudah bersiap mengatasi ketinggian, tetapi Rafael berhenti dan mulai membungkuk seperti seakan bersiap ingin menerkam.
"Woi! Sadar woi!" Teriak Leon. Dia berusaha menyadarkan pikiran Rafael.
Rafael sedang dikendalikan oleh racun itu. Tampak urat ungu mulai muncul di tangannya.
'Gawat! Xeno telah naik!' Kata Leon. Dia menyempatkan melihat keatas.
Rafael mengendap-ngendap di balik rerumputan. Menampakkan giginya seolah ia memiliki taring. Mulai mengerang seperti singa.
Sekarang pikiran Rafael terjebak di dimensi yang lain, digantikan dengan jiwa hewan buas yang disalurkan oleh racun itu.