Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27
🌧️ Versi Revisi:
Pagi itu, cahaya matahari Surabaya menembus tirai kamar hotel, menciptakan semburat hangat yang kontras dengan suasana hati Faizan. Ia sudah duduk di sofa sejak subuh, masih mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Di meja depannya, secangkir kopi hitam mengepul, sementara layar laptop memantulkan angka-angka laporan bisnis yang terus ia pelajari tanpa henti.
Semuanya tampak tenang—setidaknya dari luar.
Namun ketenangan itu pecah ketika ponselnya berdering. Nama di layar membuat alisnya langsung menegang: “My Mom.”
Faizan memijat pelipisnya sebelum menjawab.
“Ya, Mah,” ucapnya datar, suaranya tanpa ekspresi seperti biasanya.
Suara di seberang langsung terdengar panik, nyaris gemetar.
“Faiz… Alea tidak ada di kamarnya! Ibu sudah cari ke seluruh rumah, tapi tidak ketemu! Pagi ini Ibu bawa sarapan, kamarnya kosong, nak!”
Faizan terdiam sejenak, menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat apa pun. Rahangnya mengeras, namun raut wajahnya tetap datar.
“Kalau dia pergi,” ujarnya tenang, “berarti dia sedang butuh waktu sendiri.”
“Faiz! Kamu dengar Ibu, tidak?” Nada suara Ibu Maisaroh meninggi karena cemas. “Dia pergi entah ke mana, sendirian! Bagaimana kalau—”
“Mah,” potong Faizan cepat, suaranya tetap dingin tapi terdengar seperti menahan sesuatu di baliknya. “Alea sudah dewasa. Dia bisa jaga diri. Kalau dia butuh sesuatu, dia akan menghubungi Mama.”
Hening sejenak. Di seberang sana, napas Ibu Maisaroh terdengar berat, setengah frustasi.
“Kamu ini, Faiz… Alea itu istrimu! Bukannya khawatir, malah bicaramu seperti orang asing!”
Faizan menutup mata sejenak, menahan emosi yang tidak ingin ia tunjukkan.
“Mah, sudah ya,” katanya akhirnya, dengan nada yang mulai dingin tapi terkontrol. “Jangan ulang terus hal itu. Faiz ada rapat sebentar lagi. Nanti kalau ada kabar, kasih tahu saja. Tidak perlu panik.”
Sebelum ibunya sempat membalas, ia sudah lebih dulu menekan tombol merah.
Suara telepon terputus.
Faizan menatap ponsel itu beberapa detik, lalu menaruhnya perlahan di meja. Ia kembali menyesap kopinya, mencoba menelan pahit yang terasa lebih dari sekadar rasa kafein. Pandangannya kosong. Tapi kemudian, seperti biasa, ia memilih tenggelam lagi dalam angka dan laporan, seolah semua baik-baik saja.
Bagi Faizan, pekerjaan tetaplah prioritas. Masalah rumah? Itu urusan belakangan.
---
Di ranjang, Nayla mulai menggeliat. Mata gadis itu mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan pandangan dengan cahaya pagi. Samar-samar, ia mendengar suara ketikan cepat dari laptop. Saat menoleh, ia melihat Faizan duduk tegap di sofa, wajahnya serius penuh konsentrasi.
Ada sesuatu di raut wajah pria itu yang membuat Nayla tak bisa berpaling—garis rahangnya tegas, pandangan matanya fokus, dan setiap gerakannya seolah memancarkan wibawa dingin yang justru menenangkan.
“Bagaimana seseorang bisa terlihat sesempurna itu bahkan saat diam?” batin Nayla.
Tanpa sadar, ia terus memandangi Faizan cukup lama—terlalu lama—hingga pria itu menoleh. Tatapan dingin sekejap yang membuat jantung Nayla nyaris berhenti.
“Sudah bangun?” tanya Faizan singkat, nadanya datar tapi suaranya dalam.
Nayla tersentak kecil. “I-iya… baru saja.”
Faizan mengangguk tipis, lalu kembali fokus ke laptopnya. Jemarinya mengetik cepat, setiap klik terdengar mantap, seolah ia berusaha menenggelamkan diri dalam pekerjaan agar tak perlu memikirkan hal lain—atau seseorang.
Nayla menarik napas perlahan. Ia masih ingin menatapnya, tapi tahu itu hanya akan membuat dirinya semakin aneh. Dengan hati-hati, ia mencoba bangkit dari ranjang. Kakinya yang diperban masih terasa nyeri, tapi ia ingin sekali mandi untuk menyegarkan diri setelah semalaman berbaring.
Pelan-pelan, ia turunkan kakinya ke lantai.
Satu langkah. Dua langkah.
Namun tiba-tiba—
“Ah!” seru Nayla pelan ketika kakinya terpeleset sedikit. Tubuhnya langsung goyah.
Faizan yang tadinya tampak tenggelam dalam laptop langsung berdiri. “Hati-hati!” serunya cepat. Dalam dua langkah lebar, ia sudah memegang lengan Nayla, menopangnya agar tidak jatuh.
“Mau ke mana?” tanyanya, suaranya tetap datar tapi sorot matanya berubah—ada sedikit khawatir yang tak sempat ia sembunyikan.
Nayla menunduk malu. “Aku cuma mau mandi.”
Faizan menatapnya beberapa detik, lalu dengan nada datar yang samar-samar lembut berkata, “Pegang bahu saya. Jangan pakai kaki yang sakit.”
Dengan hati-hati, Nayla menuruti ucapannya. Ia memegang bahu Faizan—dan bisa merasakan kekuatan di balik genggaman hangat pria itu. Meski wajahnya tetap tanpa ekspresi, keteguhan Faizan terasa nyata, seperti sosok pelindung yang tak ingin diakui perannya.
Sesampainya di depan kamar mandi, Faizan memastikan Nayla bisa bersandar dengan aman sebelum melepaskan pelan.
“Saya tunggu di luar,” katanya tenang. “Kalau butuh bantuan, panggil saja.”
Nayla mengangguk, jantungnya berdegup cepat—antara gugup dan sesuatu yang ia tak bisa jelaskan. Ia masuk ke kamar mandi dengan hati yang berdebar aneh, sementara di luar sana, Faizan berdiri menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya kembali ke laptopnya. Tapi kali ini, pikirannya tak lagi setenang tadi.
---
Sementara itu, jauh dari hiruk-pikuk kota, perjalanan berliku mulai menurun di antara hamparan sawah hijau. Mobil travel yang ditumpangi Alea melaju perlahan, menembus udara desa yang sejuk dan bersih. Di kursi dekat jendela, Alea duduk diam dengan rambut terurai menutupi sebagian wajah.
Pandangannya kosong, mengikuti pemandangan yang terus berganti. Di pangkuannya, tas kain kecil berisi beberapa pakaian dan dokumen penting—satu-satunya barang yang ia bawa dari rumah besar itu.
Ia menarik napas panjang.
"Di sini… mungkin aku bisa tenang sedikit," gumamnya lirih. "Setidaknya sampai aku tahu harus bagaimana dengan hidupku sendiri."
Bayangan wajah Faizan muncul sekilas di benaknya—dingin, jauh, seolah seluruh perasaan yang dulu hangat kini telah membeku di balik dinding bernama ambisi.
Ia menggeleng pelan, menepis kenangan itu.
Mobil mulai berbelok ke jalan kecil, dan dari kejauhan, terlihat rumah kayu bercat putih dengan halaman penuh bunga. Alea menatapnya lama. Di sana, di beranda rumah itu, berdiri sosok wanita paruh baya dengan senyum lebar—Tante Mira.
Ketika mobil berhenti, Alea turun perlahan, menggenggam tas kainnya erat. Udara desa menyentuh kulitnya dengan lembut, membawa aroma tanah basah yang menenangkan.
“Tante…” suara Alea bergetar pelan ketika pintu terbuka.
Tante Mira segera menghampirinya dengan langkah cepat, wajahnya memancarkan kehangatan yang tulus. “Alea! Nak, akhirnya kamu datang juga!”
Tanpa menunggu lagi, Tante Mira memeluk Alea erat-erat. Pelukan itu membuat tubuh Alea kaku sejenak, lalu perlahan melemah—air matanya jatuh begitu saja di bahu tante yang lembut itu.
“Ya ampun, kamu pasti capek sekali. Sini, masuk dulu. Rumah ini selalu terbuka untukmu, Nak,” ujar Tante Mira dengan senyum hangat.
Alea menatap wajah wanita itu dengan mata berkaca. “Terima kasih, Tante… aku… aku cuma butuh tempat untuk tenang sebentar.”
Tante Mira mengusap rambutnya lembut. “Tidak apa-apa, Nak. Di sini, kamu tidak perlu menjelaskan apa pun. Kamu bisa istirahat, makan enak, dan mulai dari awal kalau kamu mau.”
Kata-kata itu sederhana, tapi bagi Alea, rasanya seperti selimut yang membungkus luka hatinya yang selama ini berdarah.
Ia melangkah masuk ke rumah kayu itu, menghirup aroma khas kayu dan bunga melati dari halaman. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alea merasa—mungkin, hanya mungkin—ia bisa bernapas tanpa rasa sesak.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/