Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Ruang rapat di lantai atas gedung perusahaan itu penuh dengan orang-orang penting. Presentasi tentang proyek kerjasama besar sedang berlangsung, grafik demi grafik terpampang di layar. Semua mata tertuju pada Miko, yang duduk di kursi ujung meja panjang. Ia tampak serius, tangan kirinya mengetuk meja pelan, sikap khas seorang pemimpin yang disegani.
Namun ketegangan rapat itu terpecah ketika ponsel Miko bergetar. Sekilas ia ingin mengabaikannya, tapi nama yang muncul di layar membuat alisnya terangkat tinggi, Jay.. Salah satu orang kepercayaannya, yang biasanya tak pernah menelepon di jam genting seperti ini kecuali ada hal luar biasa.
Miko menekan tombol hijau tanpa pikir panjang. “Ya, Jay? Singkat saja, aku di rapat.”
Suara jay terdengar pelan tapi jelas, “Tuan… saya mendapat kabar yang mungkin akan mengejutkan Anda. Rania… dia muncul kembali di kota ini.”
Mata Miko membelalak, lalu genggamannya di ponsel semakin erat. “Apa kau bilang?!” suaranya meninggi, membuat beberapa peserta rapat melirik dengan bingung.
Jay menegaskan lagi, “Benar, Tuan. Sumber saya bisa dipercaya. Rania ada di kota. Dia baru saja masuk kei kapal-”
“Cukup!” potong Miko dengan suara dalam, penuh amarah bercampur gejolak lain yang bahkan ia sendiri tak mampu pahami. Kursinya langsung ia geser ke belakang dengan kasar, berdiri begitu tiba-tiba hingga semua orang di ruangan menatap heran.
“Pak Miko?” salah seorang direktur mencoba menghentikan. “Tapi rapat—”
“Aku harus pergi sekarang.” suara Miko tegas, dingin, tak memberi ruang untuk sanggahan. Ia meraih jasnya, langkah kakinya menghentak lantai marmer, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.
Para peserta rapat saling pandang, penuh tanda tanya. Tapi Miko tak peduli. Ardi, tangan kanannya, ia berikan tugas untuk tetap melanjutkan rapat.
Dalam lift yang meluncur turun, Miko mengepalkan tangannya. Detak jantungnya kacau. Nama yang selama ini ia cari-cari dengan berbagai cara, kini tampak ada titik terang.
“Rania…” bisiknya lirih. “Aku memang sangat membencimu. Tapi… entah kenapa… terasa ada banyak hal yang belum selesai diantara kita.”
Lift terbuka, dan tanpa ragu Miko melangkah cepat keluar, langsung menuju mobilnya. Ia meninggalkan urusan bisnis bernilai miliaran hanya demi satu hal: mencari perempuan yang dulu ia benci, tapi juga secara tak terhindarkan mengikatnya lewat darah daging yang kini tumbuh besar di sisinya.
___
Bunyi derap langkah terburu-buru masih menggema di telinga Rania saat ia akhirnya berhasil kembali menapaki tangga kapal.
Begitu melewati lorong sempit kapal, aroma makanan sisa bercampur dengan sabun menyambutnya. Dapur kapal yang sederhana sudah penuh dengan piring dan gelas kotor menumpuk di bak cuci. Rania menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya, lalu mengenakan celemek usang yang biasa ia pakai.
Sebenarnya, kepulangannya beberapa hari lalu, hati dan pikirannya sangan ingin membawanya menemui Alan, putranya. Sesungguhnya, rasanya tidak rela kembali bekerja kalau belum bertemu dengan sosok yang ia rindukan itu. Tapi...
Tangannya mulai bergerak, merendam piring ke dalam air sabun yang hangat. Buih sabun menempel di jemarinya, air keruh mengalir ke selokan dapur. Satu demi satu piring dibersihkan, seolah itu cara terbaik menghapus sisa rasa rindu yang masih menggantung di hatinya.
Namun bayangan wajah Miko tak bisa ia buang. Lelaki itu memang harus ia hindari jika tetap mau melanjutkan hidup. Masih teringat jelas kata-kata Miko lima tahun lalu bahwa jangan sampai Rania mencari Alan, maka jika tidak hidupnya tidak akan mudah. Bagaimana anakku tumbuh?
Air matanya jatuh, bercampur dengan busa sabun. Ia buru-buru menyeka wajah dengan lengan bajunya, lalu kembali menggosok piring lebih keras.
Di tempat yang sama, langkah Miko terdengar mantap menapaki geladak kapal. Angin laut menerpa wajahnya, namun pikirannya tak sedikitpun goyah. Ia sudah mendapat kabar keberadaan Rania, dan kali ini, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.
Dengan cepat, ia masuk ke lorong sempit, mencari-cari ruang dapur yang disebutkan.
Di dalam, suara air mengalir, bercampur denting piring yang saling beradu. Miko berhenti di ambang pintu. Dari celah, ia melihat Rania berdiri membelakanginya, sibuk mencuci piring.
“Rania…” suara Miko akhirnya terdengar.
Gerakan tangan Rania terhenti. Perlahan ia menoleh. Betapa terkejutnya. Tatapan mereka bertemu tajam, penuh luka.
“Kenapa kau ada di sini?” Rania berbisik, suaranya nyaris tenggelam oleh raungan mesin kapal.
Miko melangkah masuk. “Karena aku harus menemuimu.”
Rania menggenggam erat piring di tangannya, seolah benda itu bisa melindunginya dari guncangan yang baru datang. “Aku hanya mampir ke kota ini. Aku tidak datang menemui Alan. Aku bersumpah. Aku tidak berani melawanmu.”
Rupanya… dia sangat takut padaku… bukan lagi rasa bangga yang Miko rasakan ketika melihat ketakutan Rania, melainkan rasa bersalah yang mengganggu. Miko mendekat, suaranya merendah. “Aku datang kemari karna-?” Ia menoleh pada tumpukan piring kotor di sudut ruangan. “Alan membutuhkanmu.” sungguh, ada rasa kasihan melihat langsung kondisi Rania yang harus bekerja seperti ini.
Rania menunduk, menahan perih di dadanya. “Alan, anakku itu?” Rania berbalik membelakangi Miko. “Apa Kalian merawat anak itu dengan benar? Apa anakku tumbuh dengan baik?” Dengan suara tenang, seolah tak ada emosi apapun.
Miko terdiam sesaat. Untuk pertama kalinya, wajah kerasnya meredup terhadap wanita ini. Tatapannya jatuh pada Rania yang terlihat rapuh “Alan tumbuh dengan baik. Dia sehat.”
“Apa… anak itu terdidik dengan baik? Aku… sedikit kuatir, kalau-kalau, anakku tumbuh jadi orang jahat sepertiku.” Suara terbatah yang bergetar hebat itu tak berhasil menahan air mata Rania yang mengalir dengan sukarela.
Lagi-lagi Miko kembali dihantam rasa bersalah. Ia kini menyadari, Rania bukanlah Rania yang sama seperti enam belas tahun yang lalu. “Dia anak yang sangat baik. Tapi aku tahu dia tersiksa memikirkanmu. Aku tahu dia merindukanmu setiap hari, Rania.”
Rania terbungkam. Ia senang mendengar tentang putranya. Tapi, mendengar bahwa Alan juga merindukannya, Rania merasa sangat sakit.
Dengan hati-hati, “Aku mau Kau ikut denganku, tinggalkan kapal ini. Kau boleh bertemu anakmu dengan bebas. Kau tidak perlu takut lagi padaku.” Miko dengan nada sedikit datar tapi tidak menakutkan.
Rania menghapus air matanya. “Aku belum siap bertemu dengannya setelah kepergianku tanpa pamit waktu itu. Kau pergilah, sekarang aku sedang bekerja.”
“Kalau kau tidak bisa kehilangan gajimu, kita bisa bicarakan itu.”
Sebuah janji yang diucapkan dengan penuh keyakinan, cukup membuat Rania tersenyum getir. “Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku akan menemuinya saat kontrak kerjaku selesai dua bulan lagi.”
Ya, Rania butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Sebab, bukan hanya Alan yang harus ia pertimbangkan, tapi ada Chesna yang tidak memahami situasi yang sebenarnya.
___
Bersambung…