Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Waktu berjalan begitu cepat. Malam demi malam, di sela kesibukan kerja dan urusan rumah tangga, Andrew terus belajar bersama Nindya. Dari terbata-bata membaca huruf hijaiyah, kini ia sudah lancar menamatkan Juz ‘Amma.
Malam itu, Andrew menutup mushaf kecil di tangannya. Nafasnya masih agak terengah, tapi wajahnya penuh senyum puas.
“Alhamdulillah.. akhirnya aku berhasil.” ucapnya dalam bahasa Indonesia yang masih kaku namun penuh rasa bangga.
Nindya menutup mulutnya dengan tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Rasa haru yang membuncah tak mampu ia bendung.
Betapa perjalanan itu tidak mudah—ia menyaksikan sendiri bagaimana Andrew berjuang, kadang salah, kadang menyerah, lalu bangkit lagi.
“Aku tidak percaya , ini semua berkat kamu bidadari surgaku,” lanjut Andrew, menatap Nindya dengan kilatan rasa cinta..
“Bukan karena aku sayang .. tapi berkat kerja kerasmu dan Izin Allah tentunya.” Ralat Nindya sambil tersenyum haru
Nindya mengusap pipinya yang basah. Ia tersenyum sambil menatap suaminya dengan bangga.
Andrew mendekat, menggenggam tangan Nindya.
“Doakan aku ,bisa khatam Alquran ya sayang.” Ujar Andrew
"Insya Allah."
Nindya mengangguk, tak kuasa berkata banyak. Hatinya bergetar—ini bukan sekadar tentang bacaan huruf, melainkan tentang perjalanan iman, kesungguhan cinta, dan janji yang semakin mengikat mereka berdua.
Malam itu rumah terasa tenang. Andrew baru saja selesai belajar bacaan Al-Qur’an bersama Nindya, lalu ia beranjak ke kamar mandi untuk bersiap tidur. Di meja, ponselnya bergetar pelan.
Nindya yang tengah membereskan sajadah tak sengaja melihat layar menyala. Nama itu muncul jelas Michelle.
Jantung Nindya berdegup kencang. Jemarinya berhenti di udara, tubuhnya sedikit kaku ia menatap layar itu lama, seolah tak percaya.
Michelle — nama yang disebut Andrew sebagai masa lalu, nama yang selalu menghadirkan rasa asing sekaligus khawatir dalam dirinya.
Panggilan itu berhenti. Sunyi kembali mengisi kamar, tapi hati Nindya bergetar hebat. Banyak pertanyaan berputar di kepalanya. Kenapa Michelle menghubungi Andrew? Apa hubungan mereka belum selesai?
Saat Andrew keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, ia melihat istrinya duduk termenung . Nindya buru-buru menunduk, pura-pura sibuk melipat sajadah. Namun hatinya menyimpan keresahan yang tak bisa ia ceritakan begitu saja.
"Kenapa termenung sayang?."
"Tidak apa apa sayang, aku lupa kalau ada laporan yang belum ku selesaikan." Kilah Nindya.
Riak kecil itu mulai hadir. Sesuatu yang ia takutkan—bahwa masa lalu Andrew belum sepenuhnya berakhir—mungkin saja benar.
Ada rasa nyeri menusuk, seperti pisau yang menekan perlahan ke dadanya. Perasaan pahit, cemburu, dan takut bercampur menjadi satu.
Namun seiring itu, sebuah suara lembut di hatinya berbisik—Andrew masih punya tanggung jawab. Michelle mungkin bagian dari masa lalunya, tapi anak mereka tetap membutuhkan seorang ayah.
Nindya menarik napas panjang, mencoba meredam gelombang yang menyerbu dadanya. Ia memilih diam tidak ada konfrontasi malam itu.
Malam itu, ketika Andrew terlelap di sampingnya, Nindya memandang wajah suaminya lama sekali. Ada doa yang lirih terucap dari hatinya:
"Ya Allah kuatkan serta beri hamba kesabaran"
Air mata yang tak mampu ia bendung akhirnya jatuh perlahan di sudut matanya. Namun ia tetap diam, memilih menyimpan segalanya sendiri.
Beberapa hari setelahnya, Andrew mulai menyadari sesuatu yang berbeda dari Nindya. Istrinya masih menjalankan perannya seperti biasa—menyambutnya ketika pulang kerja, menyiapkan makan malam, bahkan menemani Yudith bermain dengan penuh kesabaran.
Tapi ada hal kecil yang tidak bisa ia abaikan: tatapan Nindya yang sering kosong, senyum yang tampak dipaksakan, dan kebiasaannya termenung entah di rumah atau di meja kerjanya.
Di kantor pun begitu. Saat rapat, Nindya tetap profesional, tapi Andrew yang mengenalnya dengan baik bisa membaca bahasa tubuhnya. Pandangan matanya sering melayang jauh, seakan ada sesuatu yang membebani pikirannya.
“Sayang…” Andrew mencoba membuka obrolan suatu malam ketika mereka sudah di kamar. Ia memeluk Nindya yang sedang berdiri menghadap jendela dari belakang, namun tubuh istrinya terasa kaku sesaat sebelum akhirnya ia tersenyum samar.
“Kenapa?” tanya Nindya, mencoba terdengar ringan.
Andrew menatapnya lekat-lekat.
“Belakangan ini kamu sering diam. Aku merasa ada yang kamu pikirkan, cerita sama aku.”
Nindya menunduk, jari-jarinya meremas ujung roknya Hatinya bergejolak, antara ingin jujur tentang panggilan Michelle yang ia lihat, atau tetap menyimpannya agar tidak memperkeruh suasana. Ia tahu Andrew sangat sensitif bila menyangkut masa lalunya.
“Tidak ada apa apa sayang,” jawabnya akhirnya. “
Andrew menghela napas, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Tapi ia memilih tidak mendesak lebih jauh malam itu. Ia hanya mengencangkan pelukannya, seolah dengan begitu bisa menghapus jarak yang mulai ia rasakan di hati istrinya.
Namun, justru di situlah Andrew semakin yakin ada sesuatu yang Nindya sembunyikan.
Malam itu Andrew terbangun. Ia menoleh ke sisi ranjang, mendapati ruang kosong di sampingnya. Sunyi Samar samar ia mendengar suara isakan terdengar dari ruang mushola kecil yang terletak antara kamar mereka dan ruang makan Ia bangkit, melangkah pelan, lalu berhenti di ambang pintu.
Di sana, ia melihat Nindya dalam sujud panjang. Tubuhnya bergetar, pundaknya naik turun, dan sesekali terdengar suara sesenggukan yang berusaha ia tahan.
Lampu remang membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang ke lantai, seolah menegaskan betapa berat beban yang ia pikul.
Andrew berdiri terpaku. Hatinya tercekat Ia tidak tega melihat perempuan yang ia cintai menangis seperti itu.
Ia masuk kembali kedalam kamr namun tetap terjaga menunggu Nindya menyelesaikan sholatnya.
Begitu Nindya masuk kamar Andrew memanggilnya dari arah meja kerjanya
“Sayang…” suaranya serak, nyaris berbisik.
Nindya tersentak, buru-buru menyeka air matanya.
“Kamu sudah bangun sayang?.”Nindya terkejut melihat Andrew yang duduk di meja kerjanya
Namun Andrew menahan kedua tangannya, menatap lurus ke matanya.
“ Kamu tidak baik-baik saja , ada apa… sudah berhari-hari kamu murung, menjauh, seolah ada dinding di antara kita.”
Nindya terdiam. Dadanya sesak. Ia ingin menyimpan sendiri resah itu, tapi tatapan Andrew menembus pertahanannya.
“Sayang…”" Andrew meraih wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kalau ada sesuatu, katakan padaku jangan tanggung sendiri, aku ini suamimu bukan orang lain”
Air mata Nindya pecah lagi. Ia menggigit bibir, berusaha keras mengendalikan suaranya. “Aku takut, Drew…” ucapnya lirih.
Andrew mengernyit.
“Takut apa? … ”
Nindya menunduk, jemarinya meremas sajadah. Ia ingin berkata, ingin membuka semuanya—tentang panggilan Michelle yang diam-diam ia lihat. Tapi kata-kata itu tertahan, seolah ada tembok yang menghalangi.
“Suatu hari nanti kamu akan mengerti,” akhirnya hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Andrew mendesah panjang, memeluknya erat.
“Kalau kamu tidak terbuka bagaimana aku tahu apa masalahmu?, kita ini pasangan seharusnya saling terbuka.” Bujuk Andrew.
Nindya terdiam ia masih ragu untuk menceritakan apa yang menjadi bebannya.
Keesokan harinya, suasana rumah terasa janggal. Andrew berusaha bersikap biasa, bercanda dengan Yudith saat sarapan, sementara Nindya diam seribu bahasa. Hatinya masih berperang—antara ingin tetap menyimpan rahasia, atau jujur pada Andrew meski resikonya besar.
Sepulang kerja, ketika rumah sudah tenang dan Yudith tertidur, Nindya duduk berhadapan dengan Andrew di ruang tamu. Tangannya gemetar saat meraih secangkir teh, namun tatapan Andrew yang penuh tanya membuatnya tidak bisa lagi menunda.
“Drew…” suaranya pelan, nyaris tenggelam.
Andrew menoleh serius.
“Ya, sayang?.”
Nindya menarik napas panjang, lalu meletakkan cangkirnya di meja.
“Seperti yang kamu bilang sebaiknya kita saling terbuka , tapi aku takut… .”
Alis Andrew berkerut.
“Tidak ada yang perlu di takutkan sayang, kalau ada masalah mari kita cari solusi bersama.”