Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 12
Zean tahu siapa lusi, Bahkan dirinya juga tahu bagaimana masa lalu yang ada pada lusi. Tahu betapa liarnya hidup lusi waktu itu. Yang terlihat seperti gadis rusak, namun ia tetap memilihnya.
Karena Zean percaya, Lusi kala itu masih suci dan yakin jika lusi bisa berubah menjadi sosok yang baik. Karena cinta, Zean pun memilih bertahan.
Apalagi Lusi pernah berjanji, jika ia tak akan mengulang masa lalunya yang gelap itu.
Setahun pun berlalu, hubungan mereka berjalan dengan indah. Hingga suatu hari kenyataan pahit tiba, Lusi berselingkuh. Dengan teman Zean sendiri. Dan bodohnya Zean pada masa itu memaafkan kesalahan yang dilakukan Lusi. Dia berpikir jika itu hanyalah sebuah ke khilafan. Kesalahan itu pun tertutupi oleh rasa cinta yang terlalu dalam di hati Zean.
Hubungan mereka berlanjut, bahkan kembali berjalan mulus lebih dari dua tahun. Tapi ternyata kesalahan kedua lebih dari kata pahit yang dirasakan Zean.
Kesalahan kedua yang dilakukan Lusi benar-benar sangat fatal. Dan kali ini, Zean lebih memilih pergi, mengakhiri semuanya. dari pada memberi maaf kepada seseorang yang tidak tahu diri seperti Lusi.
Sekitar empat puluh menit kemudian, mobil mereka telah tiba di rumah Dela. Rumah itu cukup besar meski tak terlalu megah. Dela memang anak dari pegawai kantoran biasa, tapi keluarganya tergolong kedalam hidup yang bercukupan. Selain itu, Dela juga bekerja sebagai supervisor penjualan di sebuah toko brand ternama di mall.
Saat Dela membantu Lusi keluar dari mobil, ibunya, Misna, langsung keluar dari rumah dengan raut wajahnya yang khawatir.
“Ada apa, sayang?”tanyanya heran melihat anaknya memapah tubuh sahabatnya yang tampak mabuk berat.
“Seperti biasa Ma, Lusi mabuk. Tolongin dong ma!”jawab dela, sedikit kewalahan.
Dengan bantuan Misna, akhirnya Lusi berhasil dibaringkan di atas tempat kasur empuk di kamar Dela. Kemudian Dela dengan penuh perhatian dan kesabaran melepas sepatu dari kaki sahabatnya itu.
“Dia kenapa, sayang? Kok bisa mabuk sampai parah gini? Biasanya juga gak separah ini,”tanya Melisa, menatap tajam ke arah putrinya.
Walaupun Misna cukup dekat dengan Lusi, ia juga tidak sepenuhnya benar-benar tahu apa yang semua terjadi di dalam hidup wanita cantik itu. Dela, sebagai sahabat setia. Tetap menjaga rahasia.
“Biasalah Ma, kan mama juga tahu sendiri kalau Lusi lagi stres mikirin keluarganya, ya…bagitulah.”jawab Dela santai.
“Tapi biasanya enggak sampai separah ini loh, sayang…”gumam melisa, jelas masih penasaran.
Meskipun begitu, Dela tetap bersikap tenang. Dan dengn sikapnya yang lembut tapi tegas, ia berhasil membuat sang mama mundur, meskipun belum sepenuhnya percaya.
“Sudah ma, ini udah jam tiga pagi, Dela mau tidur. Ngantuk banged,”ucapnya pelan sembari dengan lembut menggiring sang mama keluar dari kamarnya.
“Besok kamu masuk kerja, kan?”
“Masuk mamaku, tapi siang. Udah ah sana, mama lanjut tidur lagi. Papa pasti udah nungguin pelukan hangat mama tuh dikamar. Byee..mama,”ucap dela sambil terkekeh, lalu menutup pintu kamarnya secara pelan-pelan.
Ia kembali ke ranjang dan duduk tepat di samping Lusi yang sudah tertidur pulas. Dela memandangi sahabatnya itu, lalu menghela nafas pelan.
Dalam hatinya, ia yakin badai besar sedang menuju pada kehidupan Zean dan Nara. Karena satu hal yang telah pasti, Lusi tidak akan diam dan belum selesai.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Pagi itu udara masih terasa dingin, Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri ketika Nara keluar dari rumah kecilnya. Rumah-rumah disamping juga tampaknya masih tertidur. Jalanan sempit dengan pepohonan rindang di sisinya masih sepi, hanya suara burung yang berkicau indah.
Di depan pagar rumahnya, sebuah taksi Tua berwarna silver sudah menunggu. Pak riyo, pria paruh baya yang sudah seperti ayahnya sendiri itu tersenyum ramah, melambaikan tangan dari balik kemudi.
“Nak, ayo cepat. Nanti kita kejebak macet di jalan besar.” Ucap pak Riyo dengan semangat paginya.
Nara berlari kecil, ia membuka pintu depan dan duduk di samping pak riyo. “Pagi, pak.”
“Pagi juga, calon pengantin Baru.”jawab pak Riyo dengan nada menggoda, membuat nara langsung memutar bola mata kecil.
Mobil pun mulai melaju pelan menyusuri jalan tanah yang mengarah ke jalur utama. Udara pagi yang masih segar, bercampur dengan tanah yang dibasahi embun, menyelebungi mereka.
“Gimana rasanya menjadi calon istri dari seorang owner, Nak?” Tanya pak Riyo sambil nyengir, nadanya penuh dengan kehangatan dan rasa bangga.
Nara hanya tertawa kecil, tak tahu harus menjawab apa. Ia menatap keluar jendela, menyaksikan rumah-rumah kecil di tepi jalan yang mulai jendela dan pagar.
“Nak, semalam di anter calon suami ya?” Ujarnya santai.
Nara meneguk ludah. “Iya pak, semalam di antar sama mas Zean”
“Jam berapa sampe rumah?”tanya pak Riyo sambil tetap fokus menyetir.
“Sekitaran…setengah sebalas”
“Lama amat…jangan-jangan ngedate dulu ya sebelum pulang?” Godanya lagi.
“Enggak, Pak…”jawab Nara buru-buru.
Pak Riyo tertawa pelan, “Ah, masak calon pengantin baru nggak ngedate. Kamu ini. Bapak dulu sama ibu juga ngedate walaupun cuman makan bakso mang jali di depan kantor Pos”
Nara tersenyum, namun dalam hatinya terasa sakit, pak Riyo mengira ini semua kisah cinta sejati, nyatanya tidak. Tapi ia tidak bisa mengatakan kebenarannya,hanya diam memendam semua itu.
Tidak lama kemudian, mereka telah tiba di toko garment tempat Nara bekerja. Bukan toko besar, hanya daretan bangunan satu lantai dikawasan niaga dalam pusat kota. Meskipun begitu toko itu menjadi sumber nafkah bagi seluruh karyawannya, termasuk Nara.
“Pak, langsung pergi narik?” Tanya Nara sambil membuka pintu mobil taksi.
“Iya nak, lumayan, biasanya pagi ada penumpang ke terminal.”
Nara mengangguk kecil, “Hati-hati dijalan ya Pak, Terimkasih sudah antar…” ucapnya sembari melambai tangan pada pak Riyo.
Pak Riyo mengangguk, membalas lambaian tangan sebelum taksinya perlahan menghilang.
Bagitu masuk ke dalam toko, Nara langsung di sambut oleh suara yang suda ia takuti sejak semalaman.