Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Kelopak mata Maura mengedip-ngedip cepat dengan bibir sedikit terbuka. “Dave?” gumamnya.
Pria itu tampak sudah baik-baik saja walau tubuhnya harus ditopang dengan tongkat berjalan.
Sontak Maura berdiri, celingak-celinguk memperhatikan sekelilingnya dengan cepat. Setelah merasa aman, ia sedikit menarik lengan Dave untuk duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi selama ini? Kamu baik-baik saja? Saat itu Rio memindahkanmu ke mana? Apa mereka menyakitimu?” cacarnya menuntut.
Dave mengembuskan napas panjang, mendecapkan lidah seraya menyandarkan punggung di sandaran kursi.
“Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan yang mana dulu.” Ia terkekeh. “Yang pasti aku baik-baik saja, walau tidak sepenuhnya baik. Pak Marvel mematahkan kaki dan tanganku. Sebenarnya hanya retak, tapi cukup menyakitkan. Beruntung dia mau membawaku ke dokter spesialis. Setidaknya dia masih bertanggung jawab, tidak membiarkanku menderita terlalu lama.”
“Hanya retak?”
Maura menggeleng tidak percaya. Hanya kulit tergores saja sudah membuatnya menangis, lalu bagaimana dengan tulang yang retak. Dan dia mengatakan ‘hanya’ seolah itu sesuatu yang kecil. “Kamu harus melapor ke polisi. Ini termasuk tindakan kriminal,” lanjutnya.
Ya, walupun Marvel sudah cukup baik terhadap Dave, tetap saja perbuatannya tidak dibenarkan. Bajingan itu pantas mendekam di penjara.
Wajah Dave berubah datar dan dingin seperti biasa. Mengembuskan napas panjang. “Kalaupun dia di penjara, bukan berarti aku berada dalam situasi yang aman. Dia bisa membunuhku walau terpenjara di lubang neraka sekalipun.”
Tubuh Maura mengendur, merasa ucapan pria itu benar. Marvel memiliki anak buah di mana-mana, dan mereka tidak segan menyakiti bahkan membunuh.
“Maaf, aku sudah membuatmu melakukan hal bodoh yang berakhir menyakiti dirimu sendiri,” katanya pelan.
“Kamu meminta maaf, tapi berniat mengejek? Dasar licik!”
“Aku mengatakan maaf dengan tulus. Kenapa kamu jadi tersinggung!”
“Secara tidak langsung kamu mengataiku bodoh.” Dave merotasikan bola matanya.
Maura mengembuskan napas panjang, melipat tangan di atas meja. Ia sedikit mencondongkan tubuh ke arah Dave, dan berbisik, “Kalau boleh jujur, kamu memang bodoh!” Ia kembali ke posisi semula, berbicara normal. “Sudah tahu risikonya tidak main-main, kenapa memaksa ingin membantu!” Ia mendadak kesal.
Jujur saja, sesungguhnya pria itu merepotkan, membuat rencananya gagal total. Seandainya saat itu tidak ada Dave, mungkin Maura sudah hidup bahagia di kampung bersama ayahnya.
Dave tidak menanggapi.
Tanpa Maura sadari pria itu menatapnya begitu dalam, ekspresinya yang sedikit melunak menyiratkan sesuatu.
“Terus, sekarang kamu tinggal di mana dan kapan akan kembali ke perusahaan? Atau Marvel memecatmu?”
Dave melihat ke arah lain begitu Maura kembali memperhatikannya. Ia menggeleng singkat. “Pak Marvel tidak mengatakan apa pun.” Kemudian dengan gerakan halus ia kembali melihat Maura, memicingkan mata. “Untuk apa menanyakan tepat tinggalku segala? Seperti perduli saja!”
“Bagaimana mungkin tidak peduli! Aku mempertaruhkan nyawa untuk melihat keadaanmu di rumah sakit tahu!” Maura mendengus. Bersamaan dengan ucapan itu seorang pelayan meletakkan satu porsi nasi padang dan segelas minuman dingin di hadapannya.
Dave tertegun dengan ucapan wanita itu, terdiam selama beberapa saat, keningnya mengerut. “Kamu datang?” tanyanya. Menegakkan badan.
“Tentu saja! Tapi ruanganmu dijaga sangat ketat, aku tidak bisa masuk dan hanya melihat Rio membawamu pergi!” Maura menjawab pertanyaan itu dengan menggebu, mengabaikan makanan yang sudah menunggu di mejanya, tanpa menyadari perubahan raut Dave.
“Lalu apa yang terjadi?”
Tubuh Maura kembali lemas, tatapannya meredup disertai hembusan napas dalam. “Rio menangkapku.”
“Apa mereka menyakitimu?” Tampak gurat khawatir di wajah Dave.
Maura menggeleng pelan. “Tidak. Penangkapan itu tidak sedramatis sebelumnya. Aku menyerahkan diri dengan sukarela,” jawabnya dengan lebih tenang. Kini perhatiannya jatuh pada piring di hadapannya.
“Mau makan apa? Aku traktir sebagai permintaan maaf,” tanyanya kemudian.
Kepala pria itu menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku hanya mampir karena tidak sengaja melihatmu masuk. Ingin memastikan kamu lebih menderita dariku,” ucapnya dengan nada sinis.
Maura tergelak, untuk beberapa saat merasa lega dan cukup terhibur karena pria itu masih bisa bercanda, dan sifat menyebarkannya tidak berubah sama sekali.
Sedangkan di tempat lain, wajah Marvel ditekuk suram. Senyumnya lenyap sejak beberapa detik lalu. Sedangkan matanya tidak lepas dari layar ponsel yang menunjukkan potret Maura sedang tertawa dan duduk bersama pria lain.
“Sayang, kenapa tidak dimakan? Apa ponsel itu lebih menarik dariku dan makanan lezat ini?” Jessica bertanya dengan nada manja. Bibirnya mengerucut panjang, matanya menampilkan sorot sedih yang kentara dibuat-buat.
Pandangan Marvel terangkat sekilas, lalu kembali menunduk dan mematikan ponselnya, meletakkannya di atas meja. Detik kemudian ia fokus menghabiskan makanannya dengan cepat.
“Aku harus kembali ke kantor, tidak apa-apa kalau pulang sendiri?” tanyanya setelah menyeka mulut menggunakan tisu.
“Tidak bisa begitu, Marvel. Tadi kamu sudah berjanji akan mengantarkanku pulang!” Jessica merajuk. Kesal karena Marvel selalu mengutamakan pekerjaan ketimbang dirinya. “Kemarin karena Dave, sekarang karena apa lagi? Asisten pribadimu?” Ia mendecih sinis, membuang wajah ke arah lain dan melipat tangannya di depan dada dengan gaya angkuh.
“Jangan coba-coba menyulut amarahku dengan omong kosong itu.” Marvel berucap dengan nada datar. Ia meraih ponselnya dan memasukkan ke saku celana, lalu berdiri. “Habiskan makananmu, aku akan menyuruh supir untuk mengantarmu pulang.”
“Marvel!” Jesica nyaris berteriak.
Ia menatap punggung lebar yang sudah bergerak menjauh itu dengan tatapan tidak percaya. “Berengsek kamu Marvel! Lihat saja nanti, aku akan membuatmu menyembah kakiku!”