Elizabeth bukanlah gadis yang anggun. Apa pun yang dilakukannya selalu mengikuti kata hati dan pikirannya, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Dan ya, akibat ulahnya itu, ia harus berurusan dengan Altezza Pamungkas—pria dengan sejuta pesona.
Meski tampan dan dipuja banyak wanita, Elizabeth sama sekali tidak tertarik pada Altezza. Sayangnya, pria itu selalu memiliki seribu cara agar membuat Elizabeth selalu berada dalam genggamannya.
"Aku hanya ingin berkenalan dengannya, kenapa tidak boleh?"
"Karena kamu adalah milikku, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Elizabeth membuka kulkas dan mengambil air di dalam sana. Dia baru saja pulang dari mansion Altezza, setelah dari butik, dia ikut pulang ke sana hingga sekarang, jam 6 sore.
"Bagaimana fitting baju nya? Lancar?" Geisha muncul dari belakang Eliza.
Elizabeth menutup botol minumnya dan meletakkannya ke dalam kulkas lagi, lalu ia berbalik menatap sang mama.
"Kenapa Mama tidak ikut?" tanyanya sedikit kesal.
Geisha berdecak. "Nyonya Asteria menghubungi terlalu dadakan, tadi Mama sibuk membuat kue." Dia mengeluarkan kue coklat buatannya tadi dari lemari. "Separuhnya sudah Mama berikan pada Nyonya Asteria tadi," lanjutnya pula.
Eliza duduk di kursi pantry dan menikmati kue buatan mamanya. "Nyonya Asteria membelikan tiga gaun mewah."
"Benarkah?"
Eliza mengangguk dengan mulut mengunyah. "Memangnya kapan pernikahan diselenggarakan? Bukankah ini terlalu terburu-buru?"
"Mama tidak tau. Semua keputusan ada di tangan Tuan Ergino," jawab Geisha. Dia meletakkan segelas susu hangat di atas meja pantry. "Tidak usah sedih dan terlalu memikirkannya, El. Itulah akibat kecerobohan mu."
Geisha memang tidak absen menyalahkan Elizabeth, untung saja Eliza sudah terbiasa. Kalau anak jaman sekarang, mungkin langsung stress, sedih berlebihan dan akan merasa paling tersakiti. Padahal ini adalah termasuk didikan Geisha untuk Elizabeth. Karena memang Eliza yang melakukan kesalahan dan patut disalahkan, agar Eliza lebih baik lagi.
"Menikah memang untuk seumur hidup, dan Mama berharap, kamu dan Altezza tetap bersama tanpa ada kata cerai. Ya meskipun kalian menikah dengan terpaksa. Saat ada masalah, jangan lari, selesaikan dengan suamimu. Mengerti?" Geisha memberi wejangan.
Sedangkan yang diajak bicara malah asik memakan kue.
"Eliza!" tegur Geisha.
"Iya, dimengerti, Nyonya,jawab Eliza, malas.
"Kamu ini kalau diberitahu ditanggapi dengan benar, jangan slengean!"
Eliza melahap potongan kue terakhir, lalu meminum susu hangat nya dengan cepat. Setelah itu dia menatap ibunya. "Iya, aku mengerti. Tapi, aku tidak janji bisa melakukan apa yang Mama katakan tadi." Dia turun dari kursi dan menyambar tasnya yang ada di meja pantry.
"Aku ingin istirahat dulu." Eliza mencium pipi Geisha sebelum pergi dari sana.
Geisha geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya. Sebenarnya dia juga tidak yakin saat ada masalah, Eliza akan tetap menyelesaikannya dengan Altezza. Gadis itu pasti akan lari ke arah ayahnya dan mengadu dengan manja.
Wanita dua anak itu menghela nafas berat. "Semoga saja Altezza tidak stress menghadapi putriku," gumamnya sambil meletakkan piring dan gelas kotor ke kitchen sink. Setelahnya dia menghampiri Austin yang ada di ruang kerja.
****
Pernikahan Altezza dan Eliza akan diadakan tiga minggu lagi. Terlalu cepat dari dugaan Elizabeth. Tadi malam mereka baru saja makan malam di mansion mewah milik Ergino Pamungkas. Tentu saja makan malam tadi untuk membicarakan tentang pernikahan kedua manusia itu.
Dan sampai detik ini, Eliza belum mengabari Senna dan Thea, serta ketiga temannya di tempat kerja, Lucina, Rhys dan Bernard. Eliza bingung, dia sendiri masih shock. Awalnya dia pikir ini adalah mimpi, tapi ternyata semuanya adalah kenyataan. Eliza tidak bisa berharap apa-apa lagi untuk pernikahannya. Hanya karena masalah sepele, berakhir runyam.
"Mau lagi?"
Eliza tersentak kecil mendengar suara bariton Altezza, selalu begitu.
"Sudah," jawab Elizabeth seadanya.
Saat ini mereka berada di ruangan Altezza untuk makan siang. Pertama kalinya mereka makan berdua di ruangan pria itu. Awalnya Eliza merasa aneh, tapi karena ini adalah bosnya, mau tidak mau Eliza menurut. Sikap Altezza yang berubah lembut membuat Elizabeth belum bisa terbiasa. Meskipun dia merasa sedikit, umm ... nyaman. Namun, Elizabeth tidak ingin terlalu terbawa suasana, dia takut dikecewakan seperti apa yang Arhan lakukan padanya dulu.
Tak menampik, Elizabeth trauma karena perilaku Arhan. Dia benar-benar tidak mau berekspetasi tinggi tentang pria. Bahkan setelah putus dari Arhan, Elizabeth sempat berpikir tidak ingin menikah. Tapi, ternyata Tuhan berkehendak lain.
"Gaun nya sudah jadi, sepulang dari kantor, kamu mau mencobanya?" tawar Altezza.
Ini adalah hari ke lima setelah Elizabeth fitting baju pengantin waktu itu. Tiga baju diselesaikan dalam lima hari? Bukankah itu termasuk cepat?
"Terserah Bapak saja," balas Elizabeth. Dia meminum air setelah selesai makan.
Mendengar ucapan Elizabeth, Altezza melayangkan tatapan tajamnya.
"Kita akan menikah, Elizabeth," ujarnya dengan suara rendah nan serak.
Seketika Eliza bisa merasakan hawa tak enak dari pria itu. Dia melirik Altezza sedikit takut. "I–iya, saya tau ... lalu?" tanyanya gugup.
"Ubah panggilan mu. Bukankah aku sudah menyuruhnya waktu itu?" Altezza menarik pinggang Elizabeth hingga tidak ada jarak di antara mereka. Matanya terus menatap Eliza yang menunduk.
"M–maaf, sa— aku lupa," ralat Elizabeth. Dia menahan nafas ketika merasakan hembusan nafas di lehernya.
"Sekali lagi kamu melakukannya, maka kamu akan mendapat hukuman, mengerti?" bisik Altezza.
"I–iya ...," lirih Elizabeth.
Aura yang dipancarkan Altezza mampu membuat Eliza tak berkutik. Bahkan dia bisa merasakan hawa mencekam di sekitarnya. Altezza benar-benar menakutkan jika sedang kesal.
Setelah puas dengan jawaban calon istrinya, Altezza tak lagi menempelkan tubuhnya pada Elizabeth, dia bersandar di sandaran sofa dengan tangan yang setia mengelus pinggang gadis itu. Eliza tampak lebih cantik hari ini, dia memakai rok span berwarna hitam dan kemeja putih yang mencetak lekuk tubuhnya, rambutnya dia gerai, bagian ujungnya dibuat curly.
Eliza berusaha mengabaikan Altezza, dia menyibukkan diri dengan merapikan bekas kotak makanan mereka yang ada di meja. Makanan ini dibelikan Baskara tadi, tentunya dari restoran, bukan rumah makan biasa. Semua atas perintah Altezza.
Ngomong-ngomong tentang Baskara, dia sudah pulang sejak dua hari lalu. Proyek di LA juga berjalan lancar, semuanya terkendali.
Ketika hendak beranjak, Altezza menekan pinggangnya hingga membuat Elizabeth sedikit meringis.
"Lepas dulu, aku ingin membuang sampah," ujarnya. Dia memegang tangan berurat Altezza agar melepaskannya.
"Biarkan di situ saja," balas Altezza acuh.
"Jangan, nanti mejanya kotor. Sebentar saja, hanya membuang ini," bujuk Elizabeth.
Akhirnya Altezza mengalah, matanya terus mengikuti kemana Elizabeth pergi. Membuang sampah lalu mencuci tangannya di dalam toilet. Setelah Eliza kembali, Altezza menarik tangan Elizabeth menuju ruang istirahatnya.
"Kenapa kita ke sini? Aku harus kembali bekerja, Al," ujar Elizabeth. Dia takut Altezza berbuat macam-macam di sini. Apalagi saat mendapati sebuah ranjang dengan seprei putih di dalam sana.
"Al—"
"Sssttt ..." Altezza menempelkan telunjuknya di bibir pink Eliza dan membuat gadis itu terdiam.
"Aku ingin istirahat," lanjut Altezza. Dia menyuruh Elizabeth naik ke atas kasur. Tapi, Eliza malah diam dengan tatapan takut. Tentu saja takut, memangnya siapa yang senang ketika diajak ke kamar oleh laki-laki? Dan lagi, mereka belum menikah.
"Elizabeth," tekan Altezza.
"Kamu saja yang istirahat, aku harus kembali ke ruanganku," tolak Elizabeth. Bahkan dia berani melangkah mundur, namun sayangnya Altezza bergerak cepat meraih pinggangnya dan memaksa Elizabeth duduk di atas ranjang.
"Sebentar saja," ujar Altezza. Dia merebahkan tubuhnya dengan paha Elizabeth sebagai bantalan. Lalu ia menarik tangan mungil Eliza agar mengelus rambutnya.
"Aku tidak akan macam-macam seperti apa yang kamu pikirkan," lanjutnya.
Elizabeth sedikit merasa tenang. Dengan ragu dia mengelus rambut hitam legam milik Altezza. Ia tersenyum kala merasakan betapa lembut dan lebatnya rambut Altezza.
"Kamu perawatan rambut?" tanyanya penasaran.
Altezza menggeleng membuat Eliza merasa geli karena kepala pria itu menggesek pahanya. "Tidak. Hanya memakai shampoo dan vitamin rambut."
"Itu termasuk perawatan rambut juga tau!"
"Benarkah? Berarti iya," balas Altezza lalu terkekeh.
Eliza berdecak, tapi tangannya tetap setia mengelus rambut Altezza hingga membuat sang bos memejamkan mata.
"Aku juga ingin memiliki rambut sehat seperti ini," gumam Eliza yang masih bisa didengar oleh Altezza.
"Rambut seperti milikku?" tanyanya dengan suara berat.
"Hu'um," jawab Elizabeth.
"Kamu tidak akan bisa. Tapi nanti, anak kita pasti akan memiliki rambut sepertiku."
Altezza terkekeh saat merasakan cubitan kecil di lengannya. Tentu saja pelakunya adalah calon istrinya yang menggemaskan ini.
Ternyata si kulkas bisa menggombal juga ya.
Bersambung...