Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Yang Tak Diundang
Xanara baru saja selesai merapikan rambutnya ketika pintu butik terbuka. Harvey masih di dalam, berdiri menyandarkan tubuhnya ke meja sambil meneguk air mineral, wajahnya jelas menunjukkan ia belum sepenuhnya puas.
Dan di ambang pintu Rey berdiri.
Mata itu langsung menangkap tanda di leher Xanara, bekas yang jelas bukan karya dirinya. Senyum tipis terulas di bibirnya, bukan senyum ramah, tapi lebih seperti tantangan.
“Kamu kelihatan lelah, Xanara” ucap Rey, suaranya dalam dan menyelidik.
“Boleh aku bicara sebentar?” lanjutnya.
Harvey menegakkan tubuhnya, langkahnya mantap menghampiri Rey.
“Bicara di sini saja. Aku gak suka obrolan yang terlalu rahasia.” Nada suaranya datar, tapi tegang.
Rey mengangkat alisnya.
“Aku cuma mau memastikan, kalau Xanara gak dipaksa dalam hubungan ini.” Tatapannya sengaja diarahkan ke Xanara, mencari celah.
Xanara menarik napas, menatap balik Rey dengan ekspresi tegas.
“Aku gak butuh pahlawan, Rey. Aku tahu pilihanku.”
Namun Rey tak mundur. Ia melangkah lebih dekat, cukup dekat hingga Harvey menggeser tubuhnya ke depan Xanara, menjadi penghalang fisik.
“Masalahnya, aku gak pernah benar-benar menyerahkan dia ke kamu.” Bisik Rey.
Harvey tersenyum miring, senyum yang mengandung peringatan.
“Kalau begitu, siap-siap kecewa.”
Suasana menegang, seperti dua singa yang siap bertarung di tengah butik. Xanara bisa merasakan hawa panas dari keduanya, bukan hanya dari amarah tapi juga dari obsesi.
Rey tak bergeser, malah memiringkan kepala sambil menatap Xanara dari ujung kaki hingga puncak kepala, tatapan itu jelas tak sopan.
“Xanara, kamu makin cantik. Aku bahkan ingat, kamu dulu gak pernah mau pakai warna lipstik seberani ini,” katan Rey dengan nada suaranya setengah menggodanya, setengah menantang.
Harvey langsung menggerakkan lengannya, melingkari pinggang Xanara dan menariknya lebih dekat, seakan menunjukkan wilayah kekuasaannya.
“Dia cantik karena dia bahagia sama aku.”
Rey tersenyum miring.
“Atau mungkin karena dia belum coba kebahagiaan versi aku?”
Kalimat itu membuat suasana seketika memanas, udara di butik seperti kehilangan oksigen.
Xanara menatap Rey tajam, tapi sebelum ia sempat bicara, Harvey sudah bergerak. Tangannya menelusuri pinggang Xanara di depan Rey, lalu menunduk, mencium pelipisnya dengan sengaja, lama dan penuh tekanan.
“Dengar baik-baik, Rey,” ujar Harvey dengan suara rendah tapi mengancam.
“Kebahagiaan dia bukan eksperimen untuk kamu coba-coba.” Lanjut Harvey.
Rey tertawa kecil, tapi mata itu tetap menusuk.
“Kita lihat saja, siapa yang dia pilih kalau punya pilihan.”
Xanara akhirnya bicara, suaranya dingin.
“Aku bukan hadiah undian, Rey. Aku bukan ‘pilihan’ yang bisa kalian rebut di meja taruhan.”
Namun Harvey tahu, tatapan Rey masih menyimpan niat dan niat itu sama sekali tidak berhenti di sini.
Di saat Rey berbalik pergi, Harvey menunduk ke telinga Xanara, suaranya nyaris seperti geraman.
“Aku gak akan kasih dia celah, Sayang. Dia cari masalah di tempat yang salah.”
Sementara di luar butik, Winny berdiri dengan tangan terkepal, wajahnya merah padam bukan karena malu, tapi karena amarah yang menggelegak.
Dia melihat dengan jelas bagaimana Rey lelaki yang dulu hanya dipakai untuk membuat Harvey cemburu kini menatap Xanara dengan minat yang sama seperti Harvey.
“Bereng-sek” gumam Winny lirih, bibirnya mengatup rapat.
“Pertama Harvey, sekarang Rey juga? Perempuan itu pikir dia siapa?”
.
.
Langkahnya cepat, tumit sepatunya mengetuk lantai marmer lobi hotel tempat Rey menginap. Dia tahu di mana Rey biasanya singgah, dan hari ini dia akan memanfaatkan satu hal yang masih dia punya yaitu daya tariknya.
Saat pintu kamar Rey terbuka, lelaki itu berdiri hanya dengan kaos tipis dan celana santai. Senyumnya muncul, setengah kaget, setengah penasaran.
“Winny? Wah kejutan,” ucapnya, nada suaranya datar tapi matanya menelusuri tubuh Winny yang sengaja dibalut gaun ketat berwarna merah darah.
“Aku cuma mau ngobrol. Kayaknya kita punya musuh yang sama sekarang,” ucap Winny sambil masuk tanpa diundang, melewati Rey dan duduk di sofa dengan kaki bersilang.
Rey menutup pintu, bersandar pada daun pintu sambil mengamati tubuh Winny yang jelas-jelas disodorkan padanya.
“Ngobrol? Atau kamu mau menawarkan sesuatu?”
Winny tersenyum tipis, menyibakkan rambutnya dari bahu.
“Kalau aku bisa bikin Harvey kehilangan Xanara dan kamu bisa dapatkan dia, kita berdua sama-sama menang, kan?”
Nada bicaranya licik, matanya penuh perhitungan.
Rey tertawa kecil, mendekat, dan duduk di sebelahnya.
“Menarik tapi aku gak pernah main tim, Winny. Aku selalu main solo.”
Winny membalas dengan senyum yang lebih berani, jemarinya menyentuh lutut Rey.
“Kadang main berdua jauh lebih panas.”
Di sudut ruangan, percikan rencana busuk mulai terbentuk dan Winny tahu, jika dia bisa memancing Rey untuk bergerak, itu akan jadi luka baru bagi Xanara.