Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang: Attachment
Sang berdiri di pantry, berbicara dengan Juang dan Adijaya. Gelak tawa terdengar disana. Florencia tak lama ikutan, nimbrung. Sudah diketahui khalayak kantor bahwa keempat serangkai itu memang terkenal dekat. Kedekatan Sang dan Florencia menjadi cukup samar, karena toh bagaimanapun, kedua rekan mereka yang lain yang menjadi alasan kedekatan mereka.
Pagi itu, suasana menjadi lumayan hangat.
Kesempatan ini, di bawah alam sadar baik Sang maupun Florencia, digunakan keduanya untuk kembali mendekat di hari itu. Mereka berbaur dengan dua rekan mereka lagi, saling canda, saling ucap kata acak, mungkin memuji dalam lapisan tipis sekali-kali, bermain di permukaan tabir yang kasat mata.
Setiap lirikan dan pandangan keduanya yang saling bertubrukan, memendarkan interpretasi tertentu pada makna di dalamnya. Mungkin Sang yang merasa, mungkin Florencia. Yang jelas, semuanya menjadi tidak biasa lagi. Ada saja kesempatan bagi salah satu diantara mereka untuk mencoba mengartikan kata-kata, pandangan, perilaku keduanya.
Ini malah membuat Sang menjadi merasa lebih tersiksa dari sebelumnya. Ia harusnya merasa senang, atau bangga paling tidak, dengan diketahuinya bawa Florencia menempatkan dirinya tidak sebagai sosok biasa, melainkan khusus dan spesial. Namun, sejauh mana itu, ia masih tak tahu, tak berani pula. Semua narasi yang ada di dalam pikirannya tidak mungkin terjadi dan dilakukan. Ia terpenjara, baik oleh keadaan, maupun oleh perasaannya sendiri.
Di pantry, keempat rekan yang sudah hapal ‘cara bermain’, berkomunikasi dan memahami sifat masing-masing itu, masih membahas hal-hal acak yang kadang tidak terlalu penting. Beberapa menit di dalam pantry sembari meminum kopi, menenggak teh, atau mengunyah snacks, cukup untuk melegakan kesibukan mereka hari ini.
Sang berjalan menuju dispenser air. Ia meletakkan cangkirnya. Mendadak, secara otomatis Florencia menekan tombol. “Air dingin sedikit, terus air panas, kan, Pak?”
Sang mengernyit, kemudian tersenyum. “Tahu aja, kamu, Flo.”
“Ya, tahu lah, kebiasaan orang tua, kan?” ia tertawa jahil.
“Wah, kebiasaan si Sia Sia, suka cari masalah sama yang sudah tua. Hajar, Pak Adi!” tukas Juang.
Adijaya melotot ke arah Juang. “Aku tahu Flo orangnya ceplas-ceplos gitu, tapi kamu, Juang, malah ikut-ikutan. Kok aku yang kena, sekarang,” ujar Adijaya.
Juang terkikik. “Aku nggak bilang Bapak tua, lho, ya.”
“Lah, itu, sekarang malah makin menegaskan,” respon Adijaya.
Keempatnya tertawa.
Namun, bagi Sang, perlakuan Florencia tadi, jelas berarti sesuatu. Ia sudah lelah untuk menebak-nebak lagi. Sebelumnya, ia sudah habis-habisan berpikir bahwa semua hanyalah perasaannya semata, bahwasanya ini dikarenakan efek midlife crisis alias puber kedua belaka. Namun, semenjak insiden foto lukisan di gawai Florencia, serta curahan hatinya kala itu, membatalkan anggapan dan usahanya. Kini, setiap perilaku Florencia harus kembali ia maknakan sedemikian rupa.
Sejak detik itu, setiap kata, setiap pandangan, setiap sentuhan, tak peduli seberapa kecilnya, sangat berarti, sangat bermakna. Sang lagi-lagi tersiksa, bingung.
Rentetan rasa bersalah sebagai seorang suami dan ayah yang sedang terlibat di dalam kekalutan perasaan yang ia tahu merupakan sebuah kesalahan besar bercampur dengan gegap gempita rasa senang, girang, dan bahagia, campur-aduk tak karuan. Lama-lama ia bisa merasakan bagaimana menjadi seorang Sia Sia, yang otaknya tak pernah tenang, entah memikirkan apa saja.
Wajah, siluet, suara, bahkan aroma parfum Florencia memenuhi ruang-ruang di dalam otaknya. Nama gadis itu seperti lampu neon yang tak pernah berhenti menyala di dalam pikirannya.
Kini, attachment Florencia terlihat lebih kuat dibanding sebelum-sebelumnya. Lagi-lagi, paling tidak, itu menurut perspektif Sang yang masih perlu interpretasi lanjutan. Tatapan dan senyuman, bahkan tawa sang gadis, tidak lagi biasa. Letupan perasaan berbunga-bunga di dada Sang semakin jelas dan nyata adanya.
Maka, akan luar biasa mengganggu bila tidak ada interaksi yang tercipta sepanjang hari kerja. Kadang, hanya menyapa, berhenti sejenak di meja kerja Florencia, atau sebaliknya sang gadis melongok di depan ruangan dengan dinding kaca dan pintu yang tak pernah tertutup itu, adalah sebuah tindakan yang melegakan Sang. Ia sendiri juga berusaha untuk menjaga agar perilakunya tidak berlebihan, tidak bagi Florencia, tidak bagi rekan-rekan kerjanya.
Sang mencuri-curi pandang. Florencia tidak selalu terlihat memperhatikannya. Ini yang sering menjadi perkara. Padahal, Sang paham bahwa Florencia tak mungkin terus-terusan memandang ke arahnya, memperhatikannya, apalagi berbicara dengannya – itu pun kalau memang sungguh Florencia memperhatikannya balik juga. Pekerjaan mereka sudah cukup banyak untuk menjadi fokus utama.
Namun, apa mau dikata, sungguh benar sekosong itu rasanya bila ia belum sempat mendekati, berbicara, atau paling tidak saling tukar senyum saja dengan Florencia.
Seperti hari ini. Sang dapat melihat kesibukan luar biasa Florencia. Pada siang menjelang sore hari, gadis itu merebahkan kepalanya di atas meja. Rambut lurusnya itu digerai, berserakan dengan indah di atas meja, menutupi keseluruhan wajahnya.
Sang berjalan mendekat. Ia merasa mungkin ada baiknya ia tidak mengganggu sang gadis yang terlihat kelelahan. Akan tetapi, sisi dirinya yang lain menolak ini sehingga memaksa tubuhnya untuk duduk di samping Florencia, di kursi Dina yang kosong.
“Runtuh sepertinya. Masih kuat?” ujar Sang pelan.
Florencia tersentak pelan. Ia memalingkan wajah ke arah suara, menyipitkan matanya yang sedang tidak mengenakan kacamata, kemudian tersnyum sumringah melihat Sang.
Florencia menutupkan matanya lagi.
Ada dorongan kuat yang membuat Sang ingin sekali membelai rambut hitam nan lurus Florencia, menunjukkan perhatiannya.
Jangan, Sang!
Suara hati lainnya mencegah dengan tegas.
“Ya sudah, istirahat aja dulu sebentar. Udah mau jam pulang juga, kok,” ujar Sang pelan.
Ia baru saja hendak berdiri, ketika Florencia bersuara. “Pak, di sini aja.”
Sang tercekat. Ia kembali duduk.
Florencia menghela nafas panjang. Ada seraut senyum di wajahnya.
Attachment itu kembali terasa. Sang kelimpungan memaknai ini semua. Namun, harusnya sudah jelas, sudah terang-benderang tentang garis-garis halus yang ada di antara mereka.
Sang tidak tahu apa yang dimaksud Florencia dengan memintanya untuk tetap berada di sampingnya itu. Namun, Sang menggunakan kesempatan ini untuk menelusuri wajah cantik Florencia dengan tatapannya.
Sungguh, Florencia secantik itu, semenarik itu, semenggemaskan itu, sampai-sampai sakit rasa dadanya akibat keindahan yang terlalu besar dari sang gadis.
Setengah mati Sang bertahan untuk tidak mengecup pipi seputih pualam Florencia yang terekspos dengan jelas.
“Pak, kalau udah mau dekat jam pulang, aku dibangunin, ya. Eh, sebenarnya aku nggak tidur, sih,” ujar Florencia.
“Cuma tutup mata aja, kan?” tambah Sang.
Florencia tertawa. Sepasang matanya masih tertutup, tetapi ia mengangkat ibu jarinya ke udara. “Tul,” ujarnya pendek.
Sang merebahkan tubuhnya di sandaran kursi. Ia ikut menutup mata sejenak. Mendadak ikut merasa ngantuk – eh, bukan, hanya sekadar menutup mata, pikirnya.
Florencia membuka matanya pelan. Sosok Sang tepat ada di sampingnya.
Rasa nyaman mengalir di dalam dadanya, sekaligus campuran rasa takut, sakit, sedih, waswas, ada segepok perasaan lain yang sulit sekali bagi seorang komorbid seperti Florencia untuk definisikan, bercampur menjadi satu di dalam sebuah mangkuk besar jiwa.
Kini, Florencia yang memindai wajah Sang dari posisi menelungkupkan wajah di atas meja tersebut. Ia kembali mengembuskan nafasnya panjang, tetapi pelan, agar tidak terdengar oleh Sang.
Jadi kek biarlah rahasia dia pernah mencintai perempuan lain selain ibu mereka dibawa sampe kubur.
penasaran sama perasaan Florentina, sbnrnya Florentina ada kepekaan nggak sama Sang Rakyan?
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.