Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Kamu harus menolong Bapak, Wulan. Beberapa tahun ini, Bapak selalu gagal panen. Juragan Nata sudah banyak membantu Bapak. Sekarang Bapak harus berterimakasih kepadanya, tapi dia tidak mau uang. Dia mau kamu, Wulan," ucap Asep, seorang laki-laki paruh baya yang tengah bingung atas permintaan sang juragan.
Wulan mengangkat wajah, tak ada senyuman, tak ada keterkejutan, riak wajahnya terlalu datar dan dingin. Ada pancaran kebencian di kedua maniknya yang berwarna coklat.
"Jadi, Bapak meminta Wulan turun gunung hanya untuk ini? Menikah dengan laki-laki yang sudah memiliki tiga istri. Terkenal dingin dan kejam, memperlakukan istrinya dengan buruk. Kenapa Bapak tidak menyuruh Sari yang menikah? Bukankah dia anak Bapak juga?" protes Wulan tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang datar.
Gadis berkulit kuning langsat yang tengah duduk di kursi kayu terperanjat mendengar ucapan Wulan. Dia Sari, adik tiri Wulan yang selalu dimanja oleh Asep.
"Tidak! Kenapa harus aku? Kamu anak pertama Bapak, sudah seharusnya berbakti sama Bapak!" hardik gadis itu dengan emosi yang meluap-luap.
Wulan tersenyum sinis, tanpa memandang wajah memuakkan di depan matanya itu. Bertahun-tahun lamanya, ia dibuang ke gunung Munding setelah kematian ibunya. Tak pernah dipedulikan, hidup atau mati. Sekarang, dia harus berbakti? Dunia ini sungguh sebuah lelucon.
"Berbakti? Kata-kata ini bukankah seharusnya diucapkan kepada kamu sendiri, Sari? Aku tidak perlu berbakti kepada siapapun karena sejak kecil aku tinggal sendiri di gunung tidak ada yang merawat. Sedangkan kamu ... bukankah ini waktunya kamu untuk berbakti?" Wulan melirik tajam pada adik tirinya itu.
Sari terhenyak, apalagi saat melihat kedua mata Wulan yang begitu tajam menghujam. Dia terlalu menakutkan, bukan?
"Bapak, kamu tidak pernah menganggap ku anak. Kamu membuang ku ke gunung dan membiarkan aku dimakan binatang buas. Sekarang, Bapak meminta bakti dariku? Apa itu pantas, Bapak?" Wulan mengalihkan pandangan pada laki-laki yang tengah gugup itu.
Terlalu malu pada apa yang telah dia lakukan di masa lalu. Keputusan membuang Wulan adalah atas perintah istri barunya yang tak ingin mengurus Wulan.
"Kamu tidak usah protes, Wulan. Ini keinginan juragan Nata sendiri yang mau menikahi kamu. Dia yang milih kamu," ucap Patma, ibu tiri Wulan yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di dekat anaknya.
Wulan mendengus, bagaimana mungkin keinginan sang juragan? Sementara mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Semua penduduk desa Munding tahu hanya ada Sari di rumah itu.
"Iya, Wulan. Itu juragan Nata sendiri yang mau menikah sama kamu," tambah Asep membenarkan ucapan istrinya.
Sari tersenyum sinis, membayangkan hidup Wulan menderita di istana juragan dia merasa sangat puas.
"Ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin juragan Nata ingin menikahi aku, sementara dia tidak pernah mengenal aku? Kalian hanya mengada-ada agar aku mau menikah dengannya, bukan?" ujar Wulan menahan segala amarah yang menggumpal di dalam hati.
Patma mendengus, Asep menghela napas panjang.
"Dasar keras kepala! Kamu tidak punya pilihan dan tidak diizinkan protes, Wulan. Di sini kamu tidak punya hak bicara. Semua keputusan ada pada kami. Lusa kamu akan menikah dengan juragan Nata. Titik!" tegas Patma tak ingin dibantah.
Wulan mengepalkan tangan kuat-kuat, emosi bergejolak di dalam dada membuat sesak dan sakit. Mereka semua kejam, suatu hari nanti Wulan akan melampiaskan dendam yang ia simpan selama lebih dari sepuluh tahun itu kepada mereka.
"Baik. Aku akan menikah, tapi Bapak harus memenuhi syarat dariku," ujar Wulan mengangkat wajah menatap sang bapak.
"Baik. Apa syaratmu?" Asep menyanggupi permintaan anaknya.
"Aku ingin mengambil alih tanah warisan milik ibuku. Semuanya tidak boleh kurang!" ucap Wulan menyentak mereka bertiga.
Tanah warisan mendiang ibunya Wulan adalah setengah harta dari yang mereka miliki. Tanah yang selama ini mereka gunakan untuk berladang dan menghasilkan uang. Bagaimana mungkin mereka akan memberikannya begitu saja?
"Tidak mungkin! Kamu jangan berharap mengambil alih tanah itu!" tolak Patma berang.
Wulan tersenyum sinis, menatap ibu tiri dengan penuh kebencian.
"Jika begitu, kamu nikahkan saja anak kesayangan kamu itu. Jangan minta aku untuk menikah. Aku akan kembali ke gunung, hidup tenang sendirian." Wulan menyematkan senyum di bibir, terlihat lesung di pipi yang sama persis seperti ibunya.
"Tidak mungkin! Aku tidak mau menikah dengan juragan kejam itu! Siapa yang mau masuk ke sarang singa hanya untuk mati?" Sari meradang, menolak dengan keras.
"Ya sudah, kalian tebus saja hutang kalian sendiri. Aku dengar, semua harta, rumah, dan apa yang kalian punya belum cukup buat menebus kebebasan kalian," ujar Wulan kali ini dengan senyum lebar tersemat.
Mereka bungkam, yang dikatakan Wulan memanglah benar. Semua yang mereka miliki tidak akan cukup untuk menebus hutang. Wulan beranjak, hendak kembali ke gunung.
"Bagaimana ini? Dia akan pergi, tidak mungkin Sari yang menikah dengan juragan itu? Aku tidak rela!" bisik Patma dengan cemas.
Mereka menatap punggung Wulan yang semakin menjauh, mendekati pintu rumah. Benar-benar akan pergi.
"Tunggu, Wulan! Kita bisa bicarakan lagi, jangan pergi!" cegah Asep yang tak ingin kehilangan semuanya.
Wulan menghentikan langkah, berbalik menatap ketiganya.
"Jadi, kalian setuju memberikan tanah warisan ibuku?" katanya dengan senyum manis tersemat.
"Kami bisa memberikannya, tapi tidak bisa semua. Bagaimana jika kita bagi separuh-separuh?" ucap Asep lagi tawar menawar dengan sang anak.
"Tidak! Aku ingin semuanya!" tegas Wulan seraya kembali berbalik.
"Argh, baik, baik. Semuanya ... semuanya akan kami serahkan setelah kamu menikah dengan juragan," ucap Asep berjanji.
"Baik. Kamu harus berjanji!" Wulan mengeluarkan sebuah kertas kosong yang terbuat dari kulit hewan.
"Cap jari di sini, gunakan darahmu!" katanya menekan pada bagian bawah kertas itu.
Dengan terpaksa Asep menggigit ujung jarinya, membubuhkan cap di atas sana. Wulan terlihat puas, berbalik dan akan datang lagi lusa.
"Sialan!"
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa