Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Overcome
"Ka..kau mau apa?! Keluar, Nick!" suaranya panik. Ia buru-buru meraih handuk, menutupi dada dengan kedua tangannya yang bergetar.
Nicko diam. Langkahnya tetap maju, perlahan. Pandangannya tak bergeser sedikit pun dari tubuh di hadapannya. Nafasnya terasa berat.
"Berhenti menatapku seperti itu!" Sara mundur setapak.
Tapi Nicko tidak peduli.
"Kau tahu persis apa yang kau lakukan," gumamnya.
Suaranya rendah dan serak, penuh ketegangan, seolah dibakar oleh hasrat yang tak bisa ia kendalikan.
Tangan Nicko terulur datar dan meraih handuk itu dan menariknya dengan satu gerakan.
Handuk jatuh ke lantai.
Sara menjerit pelan, mencoba lari. Tapi tubuhnya terlalu lambat dibandingkan tangannya.
Nicko menangkapnya, satu lengannya melingkar kuat ke pinggang Sara. Dalam satu tarikan, ia mendudukkan Sara ke atas wastafel. Sedikit keras.
"Nick! Lepas—"
"Diam." Suaranya tajam. Matanya gelap. Nafasnya berat di leher Sara.
"Kau pikir aku bisa diam waktu kau berdiri di sini, basah, dengan dada terangkat seperti itu? Kau pikir aku buta?"
"Kau gila!"
"Mungkin. Tapi kau yang membuatku seperti ini."
Tangan Nicko mencengkeram pergelangan tangan Sara dan menahannya di kiri kanan kaca. Tubuhnya mendesak, membungkam ruang gerak Sara hingga hanya tersisa napas dan ketakutan.
Sara mencoba menoleh, tapi wajah Nicko mendekat.
"Nick jangan, aku mmphhh"
Bibirnya membungkam Sara. Kasar dan dalam. Nafas Sara terenggut dalam ciuman yang lebih menyerupai penghukuman daripada kelembutan.
Tubuhnya panas. Tubuh Nicko lebih panas lagi. Dan keduanya tahu, mereka sudah melewati batas sejak tadi.
Tubuh Sara gemetar.
Ciuman itu… tak kunjung berhenti.
Tak memberi jeda. Ia ingin menolak, tapi napasnya terenggut lebih dulu.
Tangan kiri Nicko masih mencengkeram pergelangan tangannya, menahannya di cermin. Tapi tangan yang lain bergerak liar Menyusuri sisi tubuhnya, mengabaikan segala bentuk protes atau getar ketakutan yang terasa di kulit Sara.
“Mmfh” Sara berusaha bersuara, tapi ciuman itu menenggelamkannya lagi. Lebih dalam.
Dada Sara naik turun tak teratur. Oksigen nyaris tak sempat masuk, dan tubuhnya mulai melemas. Kepalanya terasa ringan, seperti melayang.
Lehernya menegang, mulai pegal, tapi bibir nicko masih saja tak berhenti menjilati, menghisap bahkan menggigit bibir Sara yang mulai bengkak dan mati rasa.
Nicko baru berhenti ketika tubuhnya terasa goyah, ketika ia merasakan napas Sara mulai pendek dan panas. Lalu ia melepas ciuman itu perlahan, dengan tatapan yang tak berubah. Masih haus.
Napas Sara putus-putus. Tubuhnya lemas bersandar ke cermin, matanya membelalak, basah dan bingung.
Nicko menatapnya sejenak. Jemarinya mengusap sisa napas yang mengembun di bibir bawah Sara.
“Lihat apa yang kau lakukan padaku,” bisiknya, seolah menyalahkan.
“Kau berdiri di situ, menatapku dengan mata penuh ketakutan itu… dan aku tak bisa berpikir waras.”
Bukan permintaan maaf, lebih seperti tuduhan.
Tubuhnya membayangi penuh, menjebak Sara tanpa menyentuh.
Lalu Nicko melihatnya.
Air mata mengalir diam-diam dari sudut mata Sara. Tak ada isakan.
Hanya tubuh yang menggigil pelan, seperti menahan badai di dalam.
Dan itu, bukannya menghentikannya.
Itu justru membakar sesuatu yang lebih liar dalam dirinya. Kepalanya turun, menyusuri leher Sara. Napas panasnya menyapu kulit pucat itu pelan, Ia mencium lembut di bawah telinga, lalu turun ke tengkuk. Helaian rambut Sara menggelitik wajahnya saat bibirnya menggigit, meninggalkan tanda kemerahan yang tak akan segera hilang.
Sementara tangan kirinya, yang semula menahan pergelangan tangan Sara, mulai turun perlahan menyentuh bahunya, lalu…
menarik tali piyama tipis itu.
"Jangan..." bisikan kecil itu nyaris tak terdengar.
Tapi Nicko hanya menutup matanya, mendekap lebih erat.
“Terlambat, Sara…” gumamnya di antara ciuman yang menyusuri kulit yang mulai terbuka. “Kau sudah jadi milikku sejak lama.”
Bibir Sara masih gemetar saat ia kembali mencium.
Nicko menyeret ciumannya perlahan di atas bibirnya.
Nicko menahan napas saat merasakan tubuh Sara menegang lagi di bawahnya. Tubuh itu hanya diam, tangannya yang satu bergerak, menyusuri sisi wajah Sara, menggenggam rahangnya pelan. Yang satu lagi… turun perlahan.
Menyentuh tulang selangkanya. Lalu…
Menelusuri tepian dada di balik piyama tipis yang sudah terbuka.
Ia merasakannya, tarikan napas Sara yang makin pendek. Jantungnya berdetak terlalu cepat.
Bukan karena terangsang.
Tapi karena ketakutan.Dan entah mengapa, itu tak membuat Nicko berhenti.Sama sekali tidak.
Telapak tangannya yang besar akhirnya sampai di dadanya.
Tubuh Sara tersentak, panik. Remasan itu kasar, tak ada kelembutan sedikit pun.
Jerit kecil lepas dari bibirnya, tapi langsung ditelan oleh mulut Nicko.
Ia mencium Sara dengan paksa, membungkam segalanya.
Pikirannya kacau. Hasrat menguasainya.
Sara mulai menggeliat tubuhnya melawan namun kedua kakinya di kunci di antara tubuh nicko yang semakin mendorongnya ke dinding cermin, memojokkannya tanpa ada tempat untuk menghindar,
semakin Ia melawan nicko semakin bertindak gila,remasan di dadanya semakin kuat.
Ciumannya melorot ke bawah dagu. Tangannya menarik turun kain tipis itu sedikit, cukup untuk melihat separuh dadanya terekspos. Mata hitamnya terang terangan memandangi belahan dada Sara.
Detik berikutnya, ia menunduk. Ujung lidahnya menyentuh kulit hangat itu, menyapu pelan di antara belahan dada yang terbuka. Tubuh Sara menegang di bawahnya, menggeliat ringan saat sensasi lembap dari sentuhannya merambat naik.
Ia mendekat, napasnya mengalir panas, membuat kulit Sara berkedut. Jemarinya menahan kain tipis yang masih menutupi dada perempuan itu, tapi lidahnya terus bergerak, mendorong perlahan ujung kain itu saat ia menjilati puncak lekuknya.
Nicko mendengar napas Sara yang mulai tak beraturan. Ia tahu, bukan hanya dari suara itu, tapi dari cara tubuhnya bergerak. Dari cara kain piyama itu sedikit terangkat, dan bagaimana puting payudaranya yang mengeras mulai terlihat, bergesekan samar dengan kain yang masih bertahan.
Lidahnya berhenti tepat saat bagian puncaknya nyaris sepenuhnya terlihat. Hanya satu payudara yang kini terbuka sebagian.
Matanya menatap bagian yang sudah terekspos, lalu naik perlahan menatap wajah Sara. Bukan untuk meminta izin. Tapi untuk memastikan, bahwa perempuan itu tahu betul siapa yang kini menguasainya.
Lidahnya kembali menyentuh, kali ini lebih rendah, lebih dekat ke puncak yang terbuka. Ia menjilat perlahan, saat ujung lidahnya menyentuh puting itu, Sara menarik napas tajam. Gerakan refleksnya membuat kain piyama yang tersisa bergeser sedikit, tapi Nicko tetap tenang. Ia hanya memiringkan wajah, mengulum bagian itu dengan tekanan lembut yang membuat tubuh Sara melengkung pelan ke arahnya.
Tangannya terangkat, menyentuh sisi pinggang Sara, menahannya tetap di tempat. Ia tak ingin perempuan itu menjauh.
"Kau merasakannya, kan?" gumamnya rendah, nyaris tak terdengar. "Tubuhmu tak pernah benar-benar menolakku."
Ada keheningan singkat setelah itu, tapi bukan karena ragu. Nicko tahu, tak peduli berapa banyak dinding yang Sara bangun, satu per satu, tubuhnya akan lebih dulu menyerah.
Tapi ia menghentikannya.
Tepat di ambang batas itu.
Nafasnya masih berat, jari-jarinya masih mencengkeram kulit Sara… tapi ia menarik diri perlahan.
Mencoba menahan diri. Meski jelas terasa menyakitkan.
Ia menatap wajah Sara langsung. Mata perempuan itu tampak basah, merah, tapi tetap memikat. Tangannya terangkat, menyentuh dagunya, mengangkat sedikit wajah itu agar matanya tak berpaling.
"Tahu apa yang paling kusukai darimu, Sara?" suaranya tenang, namun dalam dan lekat.
"Kau bisa menahanku dengan bibirmu yang diam…" matanya turun menatap bibir perempuan itu sesaat, lalu kembali menatap matanya, "…tapi tubuhmu selalu jujur."
Jarinya menyentuh perlahan pipi Sara, menyapu sisi wajahnya dengan gerakan kecil yang nyaris tak terasa.
"Dan malam ini..." ucapnya pelan, dengan senyum kecil yang tidak sepenuhnya hangat, "tubuhmu bicara lebih keras dari apa pun yang pernah kau ucapkan."
Ibu jarinya mengusap sudut bibir Sara. Perlahan, seolah menyentuh sesuatu yang telah lama ia rindukan secara diam-diam.
Bukan kekuatan yang membuatnya mendorong, tapi keputusasaan. Sara menekan dada Nicko dengan kedua telapak tangannya.
Satu tangannya yang lain meremas ujung piyamanya, bukan untuk menutup, tapi sebagai bentuk perlindungan terakhir. Seolah dengan menggenggam kain itu, ia bisa menjaga sisa kendali atas dirinya sendiri.
Nicko tak bergeming. Ia hanya menatapnya... lalu tersenyum.
Senyum itu bukan cemooh, bukan pula kemenangan. Tapi semacam kepercayaan diri yang menjengkelkan, seolah ia tahu persis efek dirinya terhadap perempuan itu.
Jari-jarinya bergerak pelan, seolah hendak menyentuh dagu Sara lagi, dan bibirnya pun terbuka, ia hendak mengatakan sesuatu.
Namun belum sempat suara itu keluar…
Plaaak.
Tamparan itu menghentikannya. Tatapan Sara penuh amarah.
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi