Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tubuh yang Kurelakan, Demi Nyawa yang Kucinta
“Apa maksudmu?” Mata Damian membelalak tak percaya.
“Ketika suamiku menolak membantuku,” ucap Vanesa lirih namun penuh emosi, “aku minta bantuan laki-laki lain. Dan sebagai imbalannya... tubuhku.”
Cengkraman tangan Damian di setir mengencang. Mobil mendadak berhenti, rem berdecit di tengah jalanan sepi.
“Tidak!” serunya. “Kamu bukan wanita seperti itu, Nesa! Kamu wanita terhormat! Bahkan aku tidak kamu ijinkan menyentuhmu.”
Vanesa tertawa getir. “Kau yang mengubahku menjadi ini, Damian. Kalau saja dulu kau tidak berselingkuh dengan Iren, kalau saja kau memilih keluargamu daripada nafsumu… rumah tangga kita takkan hancur.”
“Tidak, kamu pasti berbohong.”
“Bukan hanya menjual tubuhku,” lanjut Vanesa dengan suara tajam, “aku bahkan menjalani pernikahan kontrak. Dia ingin aku melayaninya... kapan pun dia mau.”
Damian mematung. Tangannya refleks menutup telinga, seolah bisa menghapus kalimat terakhir itu dari dunia nyata. “Kau masih istriku, Vanesa! Mana mungkin kamu melakukan hal gila semacam itu?!”
“Aku melakukan poliandri, Damian. Aku menikah dengan pria lain sebelum kita bercerai secara sah. Penjarakan aku jika kau mau. Permalukan aku di depan umum. Tapi saat itu... aku tidak punya pilihan. Papi sekarat, adikku disandera penjahat. Aku sendirian.”
Damian menggeleng, matanya basah oleh kemarahan dan kebingungan. “Itu... gila. Gila, Vanesa. Kau menikah dengan dua laki-laki?”
“Itulah kenyataannya.” Vanesa menahan nyeri di pundaknya yang masih terasa ngilu. “Dan sekarang, kita akan segera bercerai. Temukan wanita lain yang lebih baik dariku, yang belum ternoda oleh kegilaan hidup.”
“Apa yang dilakukan pria itu padamu? Kenapa kamu terluka?”
Vanesa menatap Damian. Mata bulatnya menyimpan duka yang dalam. “Dia... pria yang kasar. Dia menyakiti setiap kali menyentuhku.”
Damian tercekat. “Apa... pinggangmu juga dia yang melukai?”
Vanesa hanya mengangguk. “Lupakan saja. Aku akan mengurus hidupku sendiri. Aku tidak mau kamu terlibat.”
Damian menutup mulut dengan tangan tubuh bergetar, mengentakkan tangan ke setir. “Tidak! Perkenalkan aku padanya! Aku akan membunuh pria keparat itu!”
“Jangan, Damian!” seru Vanesa. “Dia bukan orang biasa. Dia punya kuasa, dia bisa menghancurkan hidupmu dalam sekejap. Papi punya utang satu miliar, dan dia yang sanggup
melunasinya. Aku... menyerahkan tubuhku untuk itu.”
“Aku tidak akan menceraikanmu,” desis Damian lirih. “Aku akan melindungimu.”
Tanpa menunggu balasan, Damian menyalakan mesin dan membawa Vanesa ke rumah barunya.
“Jangan bawa aku ke rumahmu lagi, Damian. Kamu hanya akan membuat masalah baru.”
“Tenang. Ibu dan Dila sedang di kampung. Tak ada siapa-siapa.”
“Tapi aku—”
“Kamu masih istriku. Aku akan merawatmu.”
Vanesa tidak memiliki kekuatan untuk membantah. Pundaknya berdenyut sakit. Di sepanjang perjalanan, keduanya diam. Hanya deru mesin yang menemani ketegangan di antara mereka.
Sesampainya di perumahan baru Damian, Vanesa tak bertanya apapun. Ia sudah terlalu lelah untuk memikirkan kenapa Damian pindah.
“Duduklah. Aku ambilkan kotak obat,” ujar Damian cepat.
Namun, bukannya mengobatinya sendiri, Damian memanggil tukang urut dari rumah sebelah. Wanita paruh baya itu memijat pundak Vanesa, dan Vanesa beberapa kali meringis menahan sakit.
“Aduh, Non. Kalau ini tidak segera diurut, bisa bengkak parah,” ujar wanita itu prihatin. Matanya menyapu tubuh Vanesa yang penuh memar.
“Suami Non yang mukulin, ya?” bisiknya melirik Damian.
“Tidak, Bu. Aku hanya jatuh,” elak Vanesa cepat.
Wanita itu mengangguk, paham Vanesa tak ingin membicarakannya. Setelah membalut pundaknya dengan kain dan ramuan herbal, wanita itu pamit. Vanesa pun tertidur pulas.
Damian duduk memandangi wajah Vanesa yang terlelap. Luka-luka itu menghantam hatinya.
“Maaf…” bisiknya, menyentuh lembut rambut Vanesa. “Kalau saja dulu aku tak selingkuh... semua takkan seperti ini.”
Ia berbaring di sofa. Namun bukannya ketenangan, rasa marah justru menggumpal di dadanya. Marah pada dirinya sendiri, marah karena wanita itu, wanita yang dulu ia abaikan, kini telah menyerahkan tubuhnya pada pria lain. Tapi di balik amarah itu, ada rasa kasihan yang menghujam.
Di tengah malam, Gavin menelepon ponsel Vanesa. Namun yang menjawab, bukan Vanesa.
“Halo, siapa ini?” suara Damian berat dan datar.
Gavin mengenali suara itu. Ia tertawa sinis, lalu menutup telepon. Napasnya berat, matanya menyala marah.
“Jadi habis dari sini, kamu kembali ke laki-laki sampah itu?”gumamnya. “Apa kamu mengaduh padanya, hah?”
*
Keesokan paginya, Damian tetap merawat Vanesa. Ia bahkan izin tidak masuk kantor demi wanita itu.
“Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut.
Vanesa membuka mata perlahan. “Hari apa ini?”
“Rabu. Kenapa?”
“Aku ada janji sama Papi. Aku harus ke sana.”
“Aku antarkan,” tawar Damian, namun Vanesa buru-buru menolak.
“Aku tidak ingin kamu ikut campur lagi, Damian. Kita... sudah berbeda jalur.”
“Aku tidak akan menceraikanmu,” sahut Damian keras kepala. “Berikan aku satu kesempatan.”
Vanesa menggeleng lemah. “Aku sudah terlalu hina untukmu. Biarkan aku menyelam lebih dalam. Kalau kamu tetap mempertahankan pernikahan ini, Pria itu akan menarik semua bantuannya... dan Papi... Papi bisa mati di meja operasi.”
Damian terdiam. Ia benci mengakuinya, tapi Vanesa benar. Meski egonya menolak, akalnya tahu ini bukan saatnya memaksakan cinta yang telah retak.
Selama beberapa hari, Damian tetap merawat Vanesa. Dan ketika Vanesa cukup kuat berdiri, ia diam-diam mengakses komputer Damian. Ia butuh pekerjaan. Ia butuh keluar dari cengkeraman Gavin.
Ia menemukan bocoran desain milik Karin, dan tanpa ragu, mengirimkan desain miliknya ke nomor wanita itu.
“Aku harap kamu tertarik,” ucap Vanesa lirih, menahan napas.
Beberapa menit kemudian, teleponnya berdering. Karin menelepon.
“Desainmu menarik. Bawa ke kantor besok,” perintahnya.
Vanesa tersenyum. “Baik, Bu.”
“Tapi...” Karin terdiam sejenak. “Aku ingin kamu mengerjakannya... atas namaku.”
Vanesa tercekat. 'Dasar pecundang,' gerutunya dalam hati.
“Itu artinya aku bekerja di balik layar?”
“Anggap ini uji coba. Kalau berhasil, aku akan angkat kamu jadi karyawan tetap,” janji Karin.
“Baik, Bu.” Vanesa mengangguk pelan.
‘Tak apa. Anggap saja ini pintu kecil menuju kebebasan.’
Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan Damian, Vanesa pergi diam-diam. Ia tak ingin Damian tahu bahwa mereka akan berada di kantor yang sama.
Yang tidak ia tahu, Gavin telah mengetahui segalanya.
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini