NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Era Kolonial
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!!!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading Guyss🌷🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ANGIN, MALAM, DAN KEBENARAN

Di bawah langit malam, suara gesekan pedang dan desahan pendek terdengar samar dari belakang barak. Kanel berdiri di kejauhan, diam-diam mengamati. Di sana, Daren sedang berlatih. Perban masih melingkar di lengan dan bahunya, namun itu tak menghentikannya menebas udara dengan serius.

Hiak! Hiak!

Setiap tebasan disertai teriakan kecil dari gadis itu, mengiris kesunyian yang menggantung seperti kabut. Gerakannya belum pulih sepenuhnya, tapi semangatnya menyala terang, terlalu terang, seolah hendak membakar sesuatu yang tak terlihat.

Kanel melangkah perlahan, tidak ingin mengusik, namun tetap mendekat. Ketika jaraknya cukup dekat, ia berkata tenang, “Kenapa berlatih?”

Daren terkejut, segera membungkuk memberi hormat. “Saya bosan, komandan,” jawabnya singkat.

Belum sempat Kanel membalas, suara lain datang dari arah belakang.

“Paman, apa yang sedang kau lakukan di sini?” Gerald muncul, alisnya bertaut.

Kanel tidak menjawab Gerald. “Daren, kita harus bicara,” katanya.

Daren hanya menatap sebentar, lalu kembali pada pedangnya. Kanel menyentuh bahu Gerald dan berkata, “Ikuti aku.”

Tanpa banyak kata, mereka naik ke bagian atap barak, tempat biasa Kanel menyendiri saat butuh berpikir. Angin berembus ringan, membawa bau besi dan rumput basah. Tiga sosok duduk dalam diam, hingga akhirnya Kanel memecahnya.

“Daren... kau ingin tahu mengapa aku memperlakukanmu seperti anakku sendiri?”

Gadis itu tidak menjawab. Matanya menatap jauh ke bawah, ke tanah tempat ia biasa ditempatkan.

Kanel menghela napas. Pandangannya terlempar jauh, ke masa lalu.

“Ayahmu,” katanya pelan, “adalah satu dari sedikit orang yang tak hanya menyelamatkanku... tapi membentukku.”

Gerald terdiam. Daren tidak menoleh, namun tubuhnya menegang sedikit.

“Namanya Xander. Dulu, ia Jenderal muda yang sangat dihormati. Ayahku, Kaisar sebelumnya... mengangkatnya menjadi Duke Utara setelah banyak pengorbanannya dalam perang besar. Ia menikahi perempuan bangsawan dari ibu kota, lalu pindah ke utara.”

Suara Kanel terdengar tenang, namun matanya menyimpan badai. “Saat aku masih remaja, aku tak punya siapa-siapa. Kakak-kakakku sibuk dengan istana, dan aku... hanya beban politik. Tapi Xander mengajakku tinggal bersamanya. Di sanalah aku belajar tentang pedang, kesetiaan, dan kasih sayang.”

Ia tersenyum kecil, getir. “Aku kira aku akan melindungi mereka. Tapi ternyata... aku gagal.”

Daren mulai menoleh. Wajahnya tak berubah, tapi sorot matanya lebih tajam.

“Aku tidak tahu bahwa Utara begitu berbahaya. Tidak tahu bahwa musuh-musuh politikku akan mengintai hingga ke pelosok sana. Tapi Xander tetap menjagaku. Ia mengorbankan banyak hal demi melindungiku, termasuk dirinya sendiri.”

Xander melihatku sebagai lebih dari sekadar pangeran yang tersingkir. Ia memberiku tempat, dan bahkan membujuk Raja agar mengizinkanku tinggal sementara di Utara.

 “Biarkan dia tumbuh, biarkan dia mengenal luka dan musim yang keras,” katanya.

Dan aku tumbuh di sana. Di bawah bimbingannya.

Xander tak pernah marah, tapi ia keras. Setiap pagi kami berlatih hingga tubuhku roboh, setiap malam ia memaksaku membaca peta-peta tua dan catatan strategi. Tapi lebih dari itu... ia memberiku rasa dihargai. Aku tak pernah merasa serendah itu… dan tak pernah merasa setinggi itu, selain saat berada di sisi Xander.

Tapi aku bodoh. Aku terlalu percaya bahwa waktu akan cukup panjang untuk membalas semua jasanya.

Satu tahun. Dua tahun. Lalu aku kembali ke istana karena panggilan mendesak dari Ayah. Aku disibukkan dengan tugas, intrik politik, dan pembentukan pasukan utama. Namun ada satu hal yang selalu mengganjal, Xander berhenti mengirim surat. Berhenti hadir dalam pertemuan. Lama-lama, bahkan namanya tak lagi disebut di aula perundingan.

Bertahun-tahun aku biarkan rasa curiga itu terpendam. Kupikir, mungkin dia memilih hidup tenang. Hingga suatu hari, kabar itu datang... telat. Terlalu telat.

“Duke Utara telah wafat bertahun lalu,” kata seorang utusan saat itu, dengan suara hampir mati.

Tanpa izin atau upacara, aku naik kuda dan melesat ke Utara. Angin dingin memukul wajahku. Hatiku seperti dikoyak angin itu.

Yang kutemukan hanyalah reruntuhan. Istana Estelle telah roboh, dijarah, dibakar, dilupakan. Seolah sejarahnya dihapus dengan sengaja.

Aku berlutut di tanah abu itu. Menyentuh pecahan pilar. Setiap serpihan batu seperti mengingatkanku bahwa aku terlalu lambat. Terlalu lambat untuk segalanya.

Kemudian, dari semak-semak di dekat reruntuhan, muncul sosok tua yang nyaris tinggal tulang. Seorang nenek dengan rambut putih yang diikat kain lusuh. Langkahnya gemetar.

“Apakah kau… pemuda Jenderal Kanel?” tanyanya.

Aku mengangguk, tenggorokanku tercekat.

Nenek itu mengeluarkan selembar surat dari lipatan pakaiannya. Kertasnya usang, hampir rapuh.

“Ini… dititipkan padaku. Dari Nyonya Estelle, sebelum ia wafat karena melahirkan. Dia bilang… jika pemuda bernama Kanel datang suatu hari nanti… berikan ini.”

Tanganku gemetar saat membukanya.

“Jagalah anakku. Daren Varina Estelle.”

Itu saja. hanya nama lengkap, bukan silsilah. Hanya harapan terakhir seorang ibu.

Aku berdiri. Dunia berputar. Daren... seorang anak? Xander… punya anak? Dan tak seorang pun mengetahuinya?

Kupikir segalanya berakhir di situ. Tapi ternyata, itu baru awalnya.

Pencarian dimulai. Aku membawa kabar ini ke kakakku.. Kaisar saat ini. Kami mengerahkan pasukan pengintai, menelusuri desa, pasar gelap, hingga wilayah perbatasan. Namun kau, Daren seperti bayangan yang tak meninggalkan jejak.

Hingga pada suatu malam hujan, salah satu pengintai kami kembali membawa kabar samar: di barak perbatasan selatan ke utara, ada gadis dengan seragam robek, dirantai seperti binatang. Ia bertarung seperti monster kecil, dan... ia memakai kalung tua bertuliskan yang sangat mirip dengan Xander.

Aku datang sendiri ke sana. Dan saat melihatmu dari jauh... mata biru seperti ayahmu, rambut perak yang sama seperti ayahmu... aku tahu.

Itu dirimu Daren.

★★★★

“Daren…” suara Kanel lirih, nyaris tenggelam oleh desir angin, “maafkan aku… karena baru sekarang aku menemukanmu.”

Daren tidak menjawab. Ia tidak bergerak, hanya terdiam. mereka melihat air mata itu jatuh perlahan. Tidak dengan jeritan. Tidak dengan drama. Hanya diam dan jatuh... seperti sesuatu yang telah terlalu lama tertahan.

Gerald menoleh, menyingkap sebagian rambut yang menutupi wajah Daren. Tatapannya mengecil, ia menyadari Daren sedang menangis. Bukan karena kelemahan, tapi karena hatinya retak... dan akhirnya menemukan ruang untuk merasa.

“Daren… izinkan aku bersikap seperti ayahmu,” katanya. “Bukan untuk menggantikan siapa pun… tapi karena itu satu-satunya hal yang paling ingin kulakukan. Anggap aku ayahmu.”

Daren menggigit bibirnya. Ia menggeleng pelan, buru-buru menghapus air matanya dengan lengan.

Angin malam menyapu atap barak dengan lembut. Genteng yang mereka duduki terasa dingin, namun ketiganya tak bergeming. Hanya suara kain yang berkibar pelan dan desir daun yang terbawa angin menjadi musik latar percakapan mereka.

Daren mengusap sisa air matanya, menarik napas panjang.

“Jadi seperti itu ya…” gumamnya pelan, lirih, namun penuh muatan. “Ternyata saya bukan siapa-siapa… tapi juga bukan benar-benar tak berarti.”

Kanel tersenyum. Pandangannya lembut, dan suaranya seperti embun pertama yang menyentuh bumi setelah musim kering.

“Kau tidak hanya berarti,” katanya, “kau adalah satu-satunya harapan terakhir dari seseorang yang paling berjasa dalam hidupku.”

Daren menunduk lagi, kali ini bukan karena takut atau sedih, tapi karena terlalu banyak yang bergemuruh di dadanya. “Saya masih belum tahu harus merasa apa...”

Gerald menyandarkan punggungnya ke cerobong kecil di sebelah, mencoba meredam emosi yang sempat naik. “Kau tak harus merasa apa-apa, Daren. Kau cukup hidup, dan memilih langkahmu sendiri.”

Lama mereka bertiga terdiam.

Lalu, Kanel menyelipkan tangannya ke dalam jubahnya. “Sebenarnya… ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”

Daren menoleh, sedikit ragu.

Kanel menarik keluar sebuah benda kecil, sebuah liontin tua yang sudah sedikit aus, talinya tampak pernah diganti berkali-kali. Ia menyerahkannya dengan kedua tangan.

“Aku menemukannya saat pertama kali menginjakkan kaki kembali di reruntuhan kediaman Xander. Di balik puing-puing perapian yang hangus, terbungkus kain.”

Daren memandang liontin itu. Tangannya gemetar saat menerimanya.

“Di dalamnya,” lanjut Kanel pelan, “ada potret kecil. Wajah ibumu... saat dia masih mengandungmu. Dan satu helai rambut ayahmu… aku tidak tahu bagaimana bisa masih tersimpan utuh.”

Dengan hati-hati, Daren membuka liontin itu. Cahaya bulan memantul di permukaan kaca buram, menyoroti gambar perempuan muda bergaun lembut, tersenyum ke arah lukisan kecil dalam perutnya.

Daren menahan napas.

Ternyata mereka benar-benar tuaku.

Wajah yang mirip dengan sosok perempuan yang selalu datang di mimpinya.

Kanel tak menyela.

Daren menggenggam liontin itu kuat-kuat. “Terima kasih......”

“Mulai sekarang,” sahut Kanel, menatap matanya, “kau boleh memanggilku Ayah atau paman. Tak ada paksaan. Tapi… jika suatu saat kau membutuhkanku, aku akan ada di sana.”

Gerald berdiri, membetulkan mantel kerajaannya. “Daren,” katanya sambil menatap ke arah gelap di kejauhan, “kau tak harus menjadi seperti mereka. Tidak harus menjadi seperti siapa pun. Kau hanya harus menjadi dirimu sendiri, yang memilih bertahan, saat seisi dunia ingin menghancurkanmu.”

Daren menoleh pelan ke dua pria di sampingnya. Satu yang membawa masa lalunya. Satu lagi mungkin masa depannya.

Ia mengangguk, kali ini tidak ragu. “Kalau begitu… saya akan tetap berdiri. Dan belajar. Agar bisa melindungi orang-orang yang tersisa.”

Dengan lembut, malam bergulir perlahan, menutupi barak dengan selimut keheningan yang dingin. Setelah percakapan penuh makna di atas genteng, mereka bertiga turun tanpa banyak kata. Masing-masing kembali pada ruang mereka, namun tidak pada pikiran yang sama seperti sebelumnya.

Daren masuk ke kamar baraknya. Lilin kecil di sudut ruangan menyala temaram, cukup untuk membimbing langkahnya menuju ranjang kayu di pojok. Suasana sunyi, hanya sesekali terdengar suara ranting yang jatuh di luar.

Tanpa membuka pakaian luar, Daren duduk di atas ranjangnya. Tangannya masih menggenggam liontin tua pemberian Kanel. Ia menatapnya lama, seakan ingin memastikan bahwa semua yang ia dengar tadi bukan mimpi.

Ia membaringkan tubuh perlahan, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan malam. Satu tangannya masih mencengkeram liontin itu erat, menempelkannya ke dadanya seperti jimat, seperti janji yang baru saja dibuat, janji pada masa lalu, dan juga pada dirinya sendiri.

Dalam setengah sadar, ia bergumam pelan, hampir seperti bisikan kepada sosok tak terlihat.

“Ibu... Ayah... aku akan menjadi seseorang yang bisa kalian banggakan...”

1
Duchess
Woy Therando, ma gua aja dansanya😭😭
piuuu
sapa yg naro bawang disinii 😭🥺
Anonymous
gak nyangka Jaden bisa ngomong terbata-bata👀👀
Na_!na: manusia ka, sama-sama makan nasi☺☺
total 1 replies
__Taezhint
ceritanya keren+seru
__Taezhint
black or blonde?
piuuu
uda la pulang yu pulang 😭
piuuu
biasaa pahlawan datengnya akhirran
piuuu
smngtt kalian 🥺❤️
piuuu
resah bngt gua thorr 😭
piuuu
fyona 😭🫰
piuuu
😍😍
piuuu
petrus suruh resign aja thor 🙏
piuuu
gelisah bangt bacanya 😭😭😭
piuuu
petrus petantang petenteng bngt 😭🤏
piuuu
ampun dah si beston nyari burung doang repot nya kaya emak" 😭
piuuu
kanell 😍
piuuu
jenderal aldren moga hari mu senin trus 🤗
piuuu
petruss si paling sempurna. iya 🙄
piuuu
🥺🥺
piuuu
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!