Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Tarian Di atas Debu
Arena dadakan itu terasa sunyi. Semua mata tertuju pada dua sosok di tengahnya. Di satu sisi, Bang Jago melenturkan otot-ototnya, memasang kuda-kuda seorang petarung jalanan yang berpengalaman. Wajahnya penuh dengan seringai kejam, siap untuk menghancurkan lawannya. Di sisi lain, Arjuna hanya berdiri tegak. Santai. Tangannya bahkan tidak terkepal, hanya tergantung lemas di sisi tubuhnya. Tidak ada ketegangan, tidak ada rasa takut.
Melihat lawannya yang begitu santai, ego Bang Jago semakin tersengat.
"Kenapa, bocah? Takut sampai lututmu gemetar?" ejeknya.
Arjuna tersenyum tipis. Sebuah senyum yang entah mengapa membuat Bang Jago merasa semakin diremehkan. Dengan gerakan dagu yang malas, Arjuna menunjuk ke arah Bang Jago.
"Silakan, Bang Jago, maju duluan," katanya dengan enteng. "Saya tidak mau dibilang tidak sopan karena menyerang yang lebih tua."
Cukup. Hinaan itu adalah yang terakhir. Kesabaran Bang Jago habis.
"BOCAH SIALAN!"
Dengan geraman penuh amarah, Bang Jago menerjang maju. Ia melayangkan pukulan kanan yang dahsyat, sebuah pukulan yang biasanya cukup untuk membuat lawannya pingsan seketika. Pukulan itu melesat cepat, mengarah lurus ke wajah Arjuna.
Para pekerja menahan napas. Pak Tarno memejamkan mata, tak sanggup melihat.
Namun, yang terjadi selanjutnya membuat semua orang melongo. Tepat saat kepalan tangan raksasa itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya, Arjuna dengan santai sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. Pukulan itu lewat begitu saja, hanya mengenai angin.
"Hah?" Bang Jago terkejut, momentumnya membuatnya sedikit terhuyung ke depan.
Sebelum ia sempat berbalik, Arjuna sudah berkata dari sampingnya, "Pukulannya kuat, Bang. Tapi kok anginnya saja yang kena, ya?"
Merasa diejek, Bang Jago berbalik dengan cepat dan melancarkan serangan bertubi-tubi. Pukulan, tendangan, sikutan, semua dilancarkan dengan membabi buta, penuh dengan kekuatan dan amarah.
Namun, di hadapan serangan brutal itu, Arjuna seolah berubah menjadi selembar daun yang ditiup angin. Ia tidak memblokir, ia tidak menangkis. Ia hanya bergerak. Melangkah ke samping, merunduk sedikit, mundur selangkah, berputar pelan. Setiap gerakannya minimalis, efisien, dan selalu tepat waktu untuk menghindari setiap serangan dengan selisih setipis rambut. Ia seolah sedang menari di tengah badai pukulan.
"Awas, Bang, jangan sampai encok," ujar Arjuna saat ia dengan mudah menghindari sebuah tendangan memutar.
"Gerakannya... sedikit bisa ditebak, ya?" katanya lagi saat ia merunduk di bawah ayunan kepalan tangan.
Setiap candaan yang keluar dari mulut Arjuna terasa seperti tamparan bagi Bang Jago. Amarahnya semakin tersulut, membuat pukulannya semakin liar dan napasnya semakin terengah-engah. Ia merasa seperti sedang mencoba menangkap bayangan. Lawannya yang kurus ini begitu licin dan selalu berada di tempat yang tidak bisa ia jangkau.
"DIAM KAU!" teriak Bang Jago, putus asa. Ia menerjang maju, mencoba menangkap dan membanting Arjuna.
Kali ini, Arjuna tidak menghindar. Saat Bang Jago hampir berhasil memeluknya, Arjuna dengan cepat menempelkan telapak tangannya di dada preman itu. Bukan sebuah pukulan, hanya sebuah dorongan ringan.
Namun, dari dorongan ringan itu, keluar tenaga yang luar biasa. Bang Jago merasa seolah ditabrak banteng. Tubuh besarnya terlempar ke belakang, jatuh terduduk di tanah dengan keras, menimbulkan kepulan debu.
Seluruh penonton—baik para kuli maupun anak buah Jago—terdiam membisu. Mulut mereka ternganga.
"Bagaimana... bagaimana bisa..." desis salah satu anak buah Jago.
Arjuna menatap Bang Jago yang kini berusaha bangkit dengan wajah penuh debu dan amarah yang sudah mencapai puncaknya. "Sudah menyerah?" tanya Arjuna, nadanya masih sama tenangnya.
"TIDAAAAK!"
Bang Jago bangkit dan berlari seperti banteng terluka, mengabaikan semua teknik, hanya mengandalkan amarah.
Arjuna menghela napas. Sepertinya permainan ini harus diakhiri.
Saat Jago sudah berada tepat di hadapannya, Arjuna berhenti bermain-main. Ia tidak lagi menghindar. Dengan satu gerakan yang sangat cepat, ia melangkah masuk ke dalam serangan lawannya, tangannya bergerak seperti kilat.
Tap. Tap.
Dua sentuhan ringan dari ujung jari Arjuna mendarat di dua titik di bahu dan leher Bang Jago.
Seketika itu juga, seluruh tubuh Bang Jago terasa kaku. Tenaganya seolah tersedot habis. Kakinya menjadi lemas, dan ia ambruk ke tanah, tidak pingsan, tapi juga tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap Arjuna dengan mata penuh syok dan ketakutan.
Arjuna berdiri menjulang di atasnya, tidak berkeringat, tidak terengah-engah. Ia lalu menatap ke arah tiga puluh preman yang kini menatapnya seperti sedang melihat hantu.
"Ada lagi yang mau coba?" tanyanya dengan enteng.
Tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang berani bergerak. Pemimpin mereka, jagoan mereka, baru saja dipermainkan dan dikalahkan seperti anak kecil.
Pertanyaan Arjuna yang dilontarkan dengan enteng itu menggantung di udara yang penuh debu, terasa lebih berat dari godam sekalipun.
Hening.
Tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang berani bergerak. Tidak ada yang bahkan berani bernapas terlalu keras.
Tiga puluh preman yang tadinya datang dengan dada membusung dan suara lantang, kini hanya bisa berdiri membeku. Wajah-wajah sangar mereka kini pucat pasi, dipenuhi oleh ekspresi yang sama: syok, bingung, dan ketakutan yang murni. Mata mereka bergerak liar, dari sosok pemimpin mereka yang tergeletak tak berdaya di tanah, lalu ke arah Arjuna yang berdiri tenang, lalu kembali lagi ke pemimpin mereka.
Logika mereka tidak bisa memprosesnya. Otak mereka menolak untuk percaya. Pemimpin mereka, Bang Jago, yang pukulan batunya bisa meretakkan tulang, yang reputasinya dibangun di atas puluhan pertarungan jalanan yang brutal, baru saja dikalahkan. Bukan hanya dikalahkan, ia dipermainkan. Dipermalukan. Dibuat tampak seperti anak kecil yang baru belajar berkelahi oleh seorang pemuda kurus yang seharusnya bisa ia patahkan seperti ranting kering.
Para pekerja proyek pun sama tercengangnya. Mereka yang tadinya bersembunyi di balik tumpukan material atau tiang-tiang bangunan, kini hanya bisa menatap dengan mulut ternganga. Rasa takut mereka pada para preman telah menguap, digantikan oleh rasa takjub yang luar biasa pada Arjuna. Pemuda pendiam yang mereka kenal sebagai kuli angkut semen terkuat itu ternyata menyimpan sesuatu yang jauh lebih dahsyat. Ia bukan sekadar kuat, ia adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak masuk akal.
Pak Tarno bersandar pada pilar beton terdekat, lututnya terasa sedikit lemas. Penjelasannya tentang "kekuatan dari sebuah semangat" beberapa hari yang lalu kini terasa seperti lelucon bodoh. Apa yang baru saja ia saksikan bukanlah kekuatan semangat. Itu adalah kekuatan dari alam lain. Gerakan Arjuna begitu halus, begitu presisi, dan begitu mematikan. Itu bukan pertarungan, itu adalah sebuah pertunjukan dominasi yang absolut.
Di tengah keheningan yang mencekam itu, Arjuna menghela napas, seolah sedikit kecewa karena tidak ada lagi yang mau "bermain". Ia menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkannya dari debu, sebuah gerakan sederhana yang bagi para preman di hadapannya terasa seperti penghinaan terakhir yang paling menyakitkan.
Melihat gerakan itu, salah satu preman yang tampaknya adalah orang kedua setelah Jago, akhirnya tersadar dari keterpakuannya. Dengan isyarat mata yang panik, ia menyuruh teman-temannya untuk bergerak.
Dengan tergopoh-gopoh dan penuh ketakutan, beberapa dari mereka mengangkat tubuh Bang Jago yang masih lemas. Tidak ada lagi kata-kata kasar atau tatapan mengancam. Mereka bergerak dengan cepat dan senyap, seolah takut suara langkah mereka akan memprovokasi "monster" yang sedang berdiri tenang di tengah arena itu.
Mereka bergegas pergi, nyaris berlari, meninggalkan area proyek dengan cara yang sangat kontras dari kedatangan mereka yang angkuh. Mereka pergi seperti sekawanan serigala yang baru saja bertemu dengan seekor naga.
Kini, yang tersisa hanyalah Arjuna, berdiri sendirian di tengah lingkaran debu, bersama para pekerja proyek dan Pak Tarno yang masih menatapnya dengan tatapan penuh kekaguman dan juga sedikit rasa segan. Keheningan masih menyelimuti mereka, seolah semua orang masih mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang baru saja mereka lihat benar-benar terjadi.
biar nulisny makin lancar...💪