Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekuatan Pegangan tangan
Pagi itu, Lapak Kaki Lima Mesra diselimuti aura yang berbeda. Bukan hanya aroma kopi dan gorengan yang baru matang, melainkan juga ketegangan yang pekat, terutama di sekitar gerobak Gunawan dan Dewi. Matahari pagi yang biasanya ramah kini terasa seperti sorotan lampu panggung yang menguliti setiap gerak-gerik mereka.
Warga lapak, yang biasanya sibuk dengan dagangannya masing-masing, hari ini memiliki hiburan baru: tontonan Gunawan dan Dewi yang dipaksa berpegangan tangan.
Di depan gerobak rujak bumbu Gunawan, yang kini terpajang persis di samping gerobak seblak Dewi yang sudah dibersihkan, tangan mereka bertemu. Telapak tangan Gunawan terasa hangat dan sedikit lembap, sementara tangan Dewi dingin dan kaku. Genggaman itu, yang seharusnya melambangkan kemesraan, justru terasa seperti belenggu yang terbuat dari baja.
Bu Ida, dengan kacamata kudanya, berdiri tak jauh dari mereka, matanya awas seperti elang yang siap menyambar. Di sampingnya, Bu Marni dan Bu Tuti sesekali berbisik sambil mengangguk-angguk, seolah sedang menilai pertandingan.
"Ayo, Gunawan! Dewi! Jangan kaku begitu!" seru Bu Ida dari kejauhan, suaranya melengking menembus kebisingan lapak.
"Kan sudah saya bilang, harus pegangan tangan sepanjang hari! Jangan cuma nyentuh kulit, harus saling menggenggam! Kalau begini, nanti dikira mau tawuran, bukan mau menikah!"
Gunawan menelan ludah. Ia merasakan telapak tangan Dewi sedikit berkedut, isyarat samar dari ketidaknyamanan yang sama. Ia membalas genggaman itu sedikit lebih erat, berharap setidaknya bisa memberikan kesan 'kerjasama' kepada Love Brigade. Dewi mendengus pelan, nyaris tak terdengar.
"Ini gila," bisik Dewi, matanya melirik Bu Ida yang kini sibuk mengangguk-angguk bangga.
"Bagaimana caranya aku mau motong kerupuk kalau begini? Mau ngulek bumbu?"
Gunawan mengangkat bahu yang tidak terbelenggu.
"Ya mau bagaimana lagi, Wi? Itu kan hukuman dari Bu Ida. Kita jalani saja. Paling tidak, kalau ada yang pesan, kita bisa pakai tangan yang bebas."
"Tangan bebas? Kau pikir aku cuma butuh satu tangan buat ngulek sambal seblak yang bumbunya banyak itu?" Dewi mendesis, tapi suaranya dipelankan agar tidak terdengar Bu Ida.
"Ini namanya sabotase! Aku tidak bisa bekerja dengan baik kalau begini!"
Benar saja, rutinitas pagi mereka langsung kacau balau. Gunawan, yang terbiasa mengiris buah dengan cekatan, kini harus melakukannya dengan satu tangan, sementara tangan kirinya masih setia menggenggam Dewi. Sesekali pisau pengirisnya nyaris meleset, membuat Dewi bergidik ngeri. Dewi sendiri kesulitan mengangkat wajan kecil berisi adonan kerupuk, atau mengambil bumbu-bumbu rahasianya dari laci gerobak. Semua gerakan mereka jadi lambat, canggung, dan penuh perhitungan.
"Gunawan, itu mangga jangan sampai jatuh ke meja!" Dewi memperingatkan saat Gunawan terlalu fokus menjaga genggaman.
"Iya, iya, sabar!" Gunawan menjawab, dahinya berkeringat.
Para pelanggan yang mulai berdatangan tampak penasaran, beberapa bahkan mengambil foto dengan ponsel mereka. Bisikan-bisikan riuh, kadang diselingi tawa, memenuhi udara.
"Wah, mesra sekali, ya?"
"Gerobak saja bisa tabrakan, masa tangan tidak bisa dilepas?"
"Ini baru namanya cinta sejati!"
Gunawan dan Dewi hanya bisa saling melotot, menahan diri untuk tidak memaki di depan umum.
Namun, drama sesungguhnya baru dimulai ketika seorang bapak-bapak dengan perut buncit dan kumis tebal, yang dikenal sebagai Pak Joko—pelanggan setia yang tak pernah absen memesan—mendekat dengan senyum lebar.
"Gunawan! Dewi! Wah, wah, wah! Makin mesra saja ini pasangan!" Pak Joko tertawa renyah.
"Begini, Nak. Hari ini ada hajatan di rumah saya. Saya mau pesan rujak bumbu yang porsi besar, buat sepuluh orang! Dan seblaknya juga, yang pedas mampus, buat delapan orang! Bisa, kan?"
Mata Gunawan dan Dewi membulat sempurna. Pesanan besar? Sepuluh porsi rujak dan delapan porsi seblak? Ini adalah berkah, sekaligus kutukan dalam situasi mereka saat ini.
"Eh... bisa, Pak Joko!" Gunawan tergagap, berusaha tersenyum.
"Tapi... ini butuh waktu sebentar ya, Pak?"
"Tidak masalah! Saya tunggu!" Pak Joko melirik tangan mereka yang masih terpaut.
"Asal mesranya jangan sampai lupa, ya! Biar bumbu rujaknya makin manis, seblaknya makin pedas membara!" Ia tertawa lagi, lalu duduk di bangku terdekat, siap menjadi penonton.
Dewi menatap Gunawan dengan pandangan putus asa.
"Ini bagaimana caranya, Gunawan? Aku harus mengulek bumbu, merebus kerupuk, memotong sayuran. Semua butuh dua tangan!"
Gunawan menghela napas.
"Kita pakai tangan yang bebas saja. Aku motong buah, kamu siapkan bumbu. Kalau ada yang susah, kita pikirkan bersama."
Dengan terpaksa, mereka memulai misi mustahil ini. Gunawan dengan tangan kanannya yang bebas mulai mengiris jambu, bengkoang, dan nanas dengan gerakan yang jauh lebih lambat dari biasanya. Tangan kirinya masih menggenggam tangan Dewi yang tegang. Dewi, dengan tangan kirinya yang bebas, mulai mengambil cabai, bawang putih, dan kencur dari wadahnya. Ia kesulitan menakar bumbu dengan akurat, sesekali hampir menjatuhkan sendok takarannya.
"Gunawan, itu cabai rawitnya kebanyakan!" Dewi berbisik panik saat Gunawan mencoba membantunya menakar.
"Biarin saja, Wi! Kan Pak Joko maunya pedas mampus!" Gunawan membalas, konsentrasinya terpecah antara mengiris buah dan membantu Dewi.
Saat Gunawan sedang sibuk mengiris timun, sebuah potongan mangga yang licin tiba-tiba terlepas dari tangannya. Mangga itu meluncur, tepat ke arah wajan besar berisi kuah seblak pedas Dewi yang sedang mendidih.
"Awas!" Dewi berseru, matanya membelalak. Secara refleks, tangan kanannya yang masih terikat dengan Gunawan, bergerak cepat. Ia tidak melepaskan genggaman, melainkan memutar pergelangan tangannya, menarik Gunawan sedikit lebih dekat, dan pada saat yang sama, ia menggunakan siku kirinya untuk mendorong pelan tepi wajan seblak, mengubah sedikit sudut jatuhnya mangga.
Plop!
Potongan mangga itu jatuh ke meja, hanya beberapa sentimeter dari bibir wajan seblak.
Nyaris!
Gunawan terkesiap. Ia merasakan sentakan dari tangan Dewi, gerakan cepat yang penuh perhitungan.
"Wow," bisiknya. "Nyaris saja."
Dewi menghela napas lega, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik Gunawan, yang kini menatapnya dengan ekspresi sedikit terkejut, namun juga... kagum?
"Hampir saja rujakmu jadi seblak mangga," Dewi mencoba bercanda, suaranya masih sedikit bergetar.
"Dan seblakmu jadi rujak buah," Gunawan membalas, ada senyum tipis di bibirnya.
Setelah insiden nyaris fatal itu, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Mereka, secara tak terduga, menemukan ritme kerja yang baru. Komunikasi verbal menjadi minimal, digantikan oleh bahasa non-verbal yang lebih efisien. Gunawan akan menggeser wadah bumbu dengan kakinya, atau menunjuk dengan dagunya ke arah buah yang perlu diiris. Dewi akan mengangguk, atau membalas dengan sedikit dorongan tangan, isyarat untuk memintanya mengambil sesuatu yang di luar jangkauannya.
Gunawan, yang biasanya bergerak lamban, kini tampak lebih gesit. Ia mengiris buah, menyiapkan piring, dan meracik bumbu rujak dengan satu tangan, sementara tangan kirinya menjadi jangkar bagi Dewi. Ia memperhatikan bagaimana Dewi, meskipun terhalang, tetap lincah mengaduk seblak, menakar bumbu, dan menata kerupuk.
Aroma seblak pedas yang khas, perpaduan kencur, cabai, dan bumbu rahasia Dewi, kini terasa lebih kuat di hidungnya karena jarak mereka yang dekat. Ada sesuatu yang menenangkan dari aroma itu, sebuah keakraban yang tak pernah ia duga.
Dewi, di sisi lain, mulai menyadari sesuatu tentang Gunawan. Pria ini, yang ia cap ceroboh dan pasrah, di bawah tekanan justru menunjukkan ketenangan yang tak terduga. Wajahnya memang tegang, sesekali ia menggerutu, tapi ia tidak panik.
Ia bekerja dengan fokus, menyelesaikan setiap tugas dengan presisi, bahkan dengan satu tangan. Ini sangat berbeda dari citra Gunawan yang ia kenal selama ini. Ada sisi Gunawan yang lebih dalam, lebih tenang, dan lebih bisa diandalkan daripada yang ia kira. Sebuah pikiran aneh merayap di benaknya: Gunawan mungkin bukan hanya penjual rujak yang pendiam, tapi juga... seseorang yang bisa diandalkan.
Ini adalah pengamatan yang mengganggu, mengingat kontrak palsu mereka.
Pesanan Pak Joko akhirnya selesai, meskipun butuh waktu sedikit lebih lama. Pelanggan lain yang mengantre sempat mengeluh, tapi mereka semua tampak terhibur dengan tontonan 'pasangan serasi' ini.
"Nah, ini dia! Rujak bumbu dan seblak pedasnya!" Gunawan menyerahkan dua kantong besar kepada Pak Joko.
Pak Joko mengambil pesanan itu, lalu menatap Gunawan dan Dewi dengan senyum penuh arti.
"Wah, wah, wah! Saya ini sudah sering lihat kalian jualan. Tapi baru kali ini lihat kalian kerja bareng begini. Ternyata..." ia berhenti sejenak, membuat Gunawan dan Dewi menahan napas.
"...ternyata kalian serasi juga, ya! Kalau kerja bareng, meskipun pegangan tangan begini, malah lebih cepat dan rapi. Cocoklah! Kayak bumbu rujak sama pedasnya seblak, saling melengkapi!"
Kata-kata Pak Joko itu bagai sengatan listrik. Gunawan dan Dewi, yang tadinya sudah menemukan kenyamanan aneh dalam genggaman tangan mereka, kini merasakan panas menjalar ke seluruh tubuh. Serasi? Saling melengkapi? Pikiran itu terlalu jauh dari kontrak palsu mereka.
Tanpa perlu komando, secara bersamaan, tangan mereka langsung terlepas. Genggaman yang tadinya erat kini buyar, meninggalkan sensasi panas yang membakar di telapak tangan masing-masing.
Mereka saling menjauh sedikit, wajah mereka memerah padam, bukan karena marah, tapi karena malu yang tak terlukiskan. Gunawan menunduk, pura-pura membereskan sisa irisan buah, sementara Dewi mengalihkan pandangannya, seolah ada hal paling menarik di ujung lapak.
"Terima kasih, Pak Joko!" Dewi membalas, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya, berusaha menutupi kegugupannya.
Pak Joko hanya tersenyum simpul, matanya berbinar penuh makna. Ia tahu, ada sesuatu yang baru saja terjadi di antara dua penjual muda ini.
Sesuatu yang lebih dari sekadar sandiwara. Sesuatu yang mungkin, suatu hari nanti, akan mengubah seluruh Lapak Kaki Lima Mesra.
Gunawan dan Dewi tidak berani saling pandang. Sensasi panas di telapak tangan mereka masih terasa, seperti jejak tak terlihat dari sebuah pengakuan yang tak terucap. Mereka tahu, tatapan Bu Ida dan Love Brigade masih mengawasi, menunggu reaksi mereka.
Namun, yang lebih mengganggu adalah tatapan dari hati mereka sendiri, yang kini dipenuhi pertanyaan yang belum bisa mereka jawab.
Apakah ini hanya bagian dari sandiwara, ataukah pegangan tangan canggung ini telah menumbuhkan sesuatu yang sama sekali tidak mereka inginkan? Gunawan melihat ke arah keranjang buahnya, berpikir keras. Ia harus segera menyusun rencana.
Tidak mungkin ia membiarkan perasaan ini tumbuh di tengah kekacauan ini. Atau, justru, ia harus membiarkannya? Sebuah ide gila muncul di benaknya, sebuah cara untuk memastikan sandiwara ini menjadi lebih nyata. Ia harus segera bicara dengan Dewi, sebelum semuanya terlambat. Ia harus segera bertindak, sebelum...