Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Flashback
Sore itu, langit di atas Jakarta terasa mendung, persis seperti hati Aryan. Usianya sudah 27 tahun, tampan, begitu kata banyak orang, tapi kemiskinan seolah menjadi kutukan yang tak terlepas dari namanya. Ia berdiri kaku di depan sebuah kafe, di bilangan Jakarta Selatan, tempat yang ia tahu betul gajinya sebagai tukang ojek online sebulan pun tak cukup untuk mentraktir untuk satu kali makan.
Di dalam kafe itu, di balik kaca tebal, duduklah tiga perempuan yang menjadi pusat segala rasa sakit hatinya, Rina, Laras, dan Nirmala.
Aryan menelan ludah. Ia memberanikan diri masuk ke kafe itu, setelah melihat Rina, perempuan yang diam-diam ia puja sejak SMA, mengunggah story di akun media sosialnya, sedang berada di sana. Ia berjalan mendekat ke meja mereka, jantungnya berdebar tidak karuan.
"Rin, eh, kalian semua," sapa Aryan, berusaha terdengar santai padahal kakinya bergetar. Ia bahkan sudah mandi dan memakai kemeja terbaiknya, kemeja yang sudah lusuh tapi setidaknya tidak bolong, dan masih layak dipakai.
Rina mendongak, matanya yang tajam dan itu langsung menatap Aryan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Raut wajahnya langsung berubah, dari senyum bahagia bersama teman-temannya, menjadi ekspresi jijik saat menatap Aryan.
"Ya ampun, Yan. Ngapain kamu di sini?" tanya Rina, nadanya terdengar seperti baru saja mencium bau sampah yang mulai membusuk.
"Aku... aku tadi kebetulan lewat, terus lihat story kamu. Kebetulan aja," jawab Aryan, berusaha menjaga senyumnya. "Mau nawarin kamu pulang, biar nggak kena macet," tambahnya, merujuk pada motor matic nya yang diparkir agak jauh.
Tawa renyah langsung meledak dari Nirmala. "Hah? Pulang naik motor kamu? Yan, kamu nggak lihat? Kita ke sini naik mobil pribadinya Laras. AC, Yan, AC. Bukan gerah-gerahan di jalan," katanya sambil melirik tas branded di sampingnya.
Laras, yang selama ini diam, ikut menimpali. Ia mengeluarkan dompet kulitnya, lalu menarik selembar uang seratus ribuan.
"Nih, Yan," katanya, sambil mengulurkannya selembar uang seratus ribuan pada Aryan. "Ambil. Daripada kamu capek ngojek seharian, mending kamu pakai ini buat beli makan di warteg. Anggap aja ini uang kasihan dari kita. Jauhin Rina deh, Yan. Level dia udah beda," ucap Laras dengan senyum remeh.
Dunia Aryan serasa berhenti berputar. Uang seratus ribu itu serasa tamparan keras di wajahnya. Bukan karena uangnya, tapi karena penghinaan yang ia terima. Ucapannya seolah menggambarkan betapa menyedihkannya hidup Aryan.
Rina hanya diam, tidak membela sama sekali, malah sibuk membetulkan letak rambutnya. Keheningan Rina jauh lebih sakit daripada omongan pedas teman-temannya.
"Maaf, aku nggak butuh uang kasihan dari kalian," kata Aryan, suaranya bergetar. Ia menepis pelan tangan Laras yang memegang uang itu.
"Oh, benarkah. Jangan sok nggak butuh lho, Yan. Bukannya kamu mau banget beli HP baru? Atau bayar kontrakan yang udah nunggak? Muka kamu udah kelihatan banget lho," ejek Nirmala lagi, sambil menyenggol Rina, mengajak temannya itu ikut tertawa.
Aryan mengepalkan tangan di balik sakunya. Rasa malu, marah, dan sakit hati bercampur jadi satu. Ia merasa semua pandangan di kafe itu tertuju padanya, ikut menertawakan kemiskinannya.
Ia menatap Rina sekali lagi, penuh harap Rina akan mengatakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menenangkan.
Namun, Rina akhirnya buka suara, dan suaranya dingin, menusuk hingga ke ulu hati.
"Yan, dengerin ya. Kita udah gede. Cinta itu nggak bisa bayar tagihan, nggak bisa beli masa depan. Kamu itu baik, ganteng, tapi ya gitu, Yan. Cuma tukang ojek. Aku butuh cowok yang seenggaknya bisa ajak aku makan di tempat kayak gini tanpa harus mikir besok makan apa. Udah ya, aku lagi males debat. Jangan ganggu," tutup Rina, lalu kembali fokus pada makanannya, mengabaikan Aryan sepenuhnya.
Aryan merasakan air matanya mendesak ingin keluar. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membalikkan badan. Ia berjalan keluar dari kafe itu tanpa menoleh lagi, langkahnya cepat.
Di luar, ia menyalakan motornya dengan kasar. Suara knalpotnya yang bising terasa seperti raungan amarah yang tidak bisa ia keluarkan.
"Sialan!" bisiknya, lalu menendang botol bekas air mineral hingga terlempar. Setelahnya, motor itu melaju kencang membelah jalanan Jakarta yang macet dan mendung.
Aryan membelokkan motornya ke pinggiran jalan, menuju sebuah warung kopi sederhana tempat ia dan teman-teman sesama tukang ojek online biasa berkumpul. Motornya ia parkir asal. Ia turun, wajahnya masih memerah menahan amarah dan malu.
Di sana, duduklah Dani, teman seperjuangannya dengan profesi yang sama, sedang menyeruput kopi hitam sambil bermain game di ponselnya.
"Wih, tumben Yan, muka lu kusut banget kayak baju belum disetrika," sapa Dani sambil menaruh ponselnya. "Biasanya jam segini lu lagi ngejar rating bintang lima. Kenapa, lu kena cancel lagi sama customer cerewet?"
Aryan hanya menggeleng, lalu duduk di kursi plastik di samping Dani. Ia memesan kopi hitam, dan sebatang r0k0k. Ia menyalakan rok0knya, menghisapnya dalam-dalam seolah asap itu bisa membakar habis semua rasa sakit hatinya.
"Lebih parah dari kena cancel, Dan," kata Aryan, suaranya pelan dan serak. "Gue... gue baru aja dihina habis-habisan."
Dani langsung menatapnya serius. "Dihina? Sama siapa? Sama customer sultan?"
"Bukan. Sama Rina dan temen-temennya," jawab Aryan, sambil mengusap wajahnya kasar. Ia kemudian menceritakan semua kejadian di kafe tadi. Dari saat Rina menunjukkan ekspresi jijik, Nirmala yang menertawakannya, hingga puncaknya, Laras yang memberinya uang kasihan seratus ribu, dan Rina yang menyatakan cintanya tidak bisa membayar tagihan.
Dani mendengarkan dengan serius. Raut wajahnya berubah antara marah dan kasihan.
"Anjir, Yan. Keterlaluan banget sih mereka, apalagi si Laras, pakai acara ngasih uang kasihan segala. Mereka pikir kita ini pengemis apa." Dani menggebrak meja, sedikit kesal. "Sabar, Yan. Dunia memang keras. Cewek-cewek sekarang matanya udah ketutup sama duit. Kita mau kerja keras jungkir balik juga kalau nggak punya modal, ya tetep dianggap remeh."
Aryan hanya mengangguk lemas. "Gue nggak tahu, Dan. Gue udah muak. Capek. Gue banting tulang dari subuh sampai ketemu subuh lagi, hasilnya cuma segini-gini aja. Sampai kapan gue harus hidup kayak gini? Sampai kapan gue harus dihina cuma karena motor butut, dan gak punya uang?"
Ia menatap Dani dengan mata berkaca-kaca. "Gue pengen banget nunjukkin ke mereka kalau gue juga bisa sukses. Gue pengen Rina nyesel udah nolak gue. Tapi gimana caranya? Nyari modal buat usaha aja susah banget."
Dani menyenderkan punggungnya ke kursi, berpikir sejenak sambil menyesap rok0knya.
"Gini, Yan. Kalau lu mau cara yang cepat dan instan," Dani merendahkan suaranya, matanya melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang mendengarkan. "Lu harus cari jalan pintas."
Aryan mengerutkan keningnya. "Jalan pintas apaan, Dan? Ngrampok? Korupsi? Apa yang mau dikorupsi?"
"Bukan. Lebih dari itu. Lu dengerin baik-baik," kata Dani, lalu mendekat. "Lu pernah dengar cerita Pesugihan Gunung Kawi?"
Mendengar nama itu, bulu kuduk Aryan langsung berdiri. Gunung Kawi, Jawa Timur. Tempat yang dikenal sebagai pusat ritual mistis untuk mencari kekayaan instan. Cerita-cerita horor dan seram tentang tumbal dan perjanjian gaib sudah ia dengar sejak kecil.
"Gila lu, Dan! Nggak lah, Gue nggak mau main-main sama begituan. Itu kan minta tumbal, perjanjian sama setan. Gue masih punya agama, Dan," tolak Aryan cepat. Rasa takutnya jauh lebih besar daripada amarahnya.
Dani tersenyum tipis, tapi senyum itu terlihat serius, bahkan sedikit menyeramkan. "Lu pikir orang-orang kaya yang hartanya mendadak melimpah itu dapat dari mana? Rata-rata ya dari jalan pintas, Yan. Dengerin gue, nggak semua pesugihan itu minta tumbal nyawa manusia kok. Ada yang cuma minta tumbal waktu atau tumbal kesenangan dunia. Intinya, lu harus siap bayar harga."
"Bayar harga gimana?" tanya Aryan, setengah takut, tapi juga penasaran. Rasa ingin membalas dendam sudah mulai menguasai akal sehatnya.
"Lu niatnya cuma buat nunjukkin ke Rina? Atau lu niatnya buat kaya raya seumur hidup?" tanya Dani. "Kalau cuma numpang lewat, biasanya resikonya nggak terlalu parah. Tapi kalau lu mau kaya raya banget, ya lu harus siap."
Dani kemudian mulai bercerita panjang lebar, seolah ia pernah ke sana. "Gue pernah dengar cerita dari orang, Yan. Kalau di sana itu ada makam keramat, Mbah Djujuk sama Raden Mas Iman Sujono. Lu harus datang pas malam satu Suro. Di sana lu bisa nemuin juru kunci atau orang pintar yang siap bantu. Ritualnya macem-macem, ada yang semedi di pohon besar, ada yang puasa mutih di Goa Macan. Yang penting, lu harus kuat mental. Soalnya, konon, sebelum dapat kekayaan, lu bakal digangguin habis-habisan sama pocong penjaga yang memang ditugaskan menjaga harta karun di sana."
Mendengar kata pocong, buku kuduk Aryan langsung merinding. Ia membayangkan kain kafan kotor dan wajah gosong yang sering muncul di cerita-cerita horor.
"Pocong? Amit-amit, Dan. Gue nggak mau!" seru Aryan, suaranya sedikit meninggi.
"Makanya lu harus siap. Ini jalan pintas, Yan. Resikonya gede. Tapi kalau berhasil? Lu bisa beli kafe itu, terus suruh Rina jadi pelayan di sana. Gimana?" hasut Dani, menyentuh titik terlemah Aryan, yaitu balas dendam.
Perkataan Dani tentang membalikkan keadaan membuat mata Aryan berbinar sebinar-binarnya. Membayangkan Rina melayaninya? Itu adalah pembalasan yang sangat manis.
"Terus... lokasinya di mana tepatnya, Dan?" tanya Aryan, kini sudah tidak menolak lagi, hanya perlu detail.
Dani tersenyum puas, merasa berhasil mempengaruhi temannya. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi peta.
"Gunung Kawi itu letaknya di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lu bisa naik kereta dari Jakarta ke Malang dulu. Terus lanjut perjalanan ke desa Wonosari. Cari aja lokasi makam keramat itu. Semua orang di sana pasti tahu," jelas Dani, memberikan informasi itu dengan santai seolah menyuruh Aryan membeli kopi.
"Pikirin baik-baik, Yan. Ini hidup lu. Tapi kalau lu mau ganti nasib dalam semalam, ini satu-satunya jalan. Tapi jangan sampai ketahuan siapa-siapa lu ke sana. Nanti rezeki lu bisa ketarik balik," pesan Dani sebagai penutup.
Aryan menghabiskan sisa kopinya. Ia berpamitan pada Dani, tanpa mengatakan ia akan benar-benar pergi.
Sesampainya di kamar kosnya yang sempit, panas, dan pengap, Aryan langsung merebahkan diri di kasur tipisnya. Ia memejamkan mata, tapi bukan tidur yang ia dapat, melainkan bayangan wajah Rina yang jijik dan senyum remeh Laras.
Ia bangkit. Ia berjalan ke depan cermin kecil yang buram. Ia menatap pantulan dirinya, seorang pemuda tampan yang terperangkap dalam kemiskinan.
"Cuma tukang ojek," bisik Aryan, mengulang perkataan Rina. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya seperti mantra jahat.
Ia meraih ponselnya, mencari informasi tentang Gunung Kawi. Gambar-gambar makam kuno, pohon besar yang rindang, dan cerita-cerita seram mulai ia baca satu per satu. Rasa takutnya masih ada, tapi kini, rasa dendam dan putus asa jauh lebih besar.
Ia teringat kata-kata Dani. Kalau lu mau ganti nasib dalam semalam.
Aryan menghela napas panjang. Ia mengambil keputusan.
"Gue harus ke sana. Gue harus ke sana. Ini demi harga diri gue. Demi balas dendam gue. Biar Rina tahu, gue bukan lagi Aryan si tukang ojek yang bisa dia injak-injak."
Aryan meraih ransel lusuhnya. Ia mulai memasukkan beberapa helai pakaian dan uang tunai sisa hasil ngojek. Ia akan berangkat malam ini juga. Ia tidak akan memberitahu siapapun, termasuk Dani. Keputusan ini, perjalanan ini, adalah rahasianya.
Di luar jendela kamar kosnya, mendung masih menggantung, namun kini di hati Aryan, langit sudah sepenuhnya gelap.