1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Tak Ada Celah Masuk
Tapi itu yang dibutuhkan Soedarsono, telinga yang mau mendengar tanpa menambah tuntutan.
Malam itu Pariyem melayani dengan sepenuh hati, memijat setiap bagian tubuh yang tegang, menyiapkan mandi air hangat dengan rempah-rempah, menggosok punggung dengan telaten.
Dan ketika mereka berbaring di ranjang, dia membiarkan Soedarsono membenamkan wajah di dadanya sambil dia terus mengusap rambut suaminya dengan lembut hingga pria itu tertidur pulas.
Esok paginya, Soedarsono pergi sebelum matahari tinggi. Dia mengecup dahi Pariyem lama.
"Terima kasih, Yem. Kau selalu tahu apa yang aku butuhkan."
Pariyem tersenyum. "Hati-hati di jalan, Ndoro."
Kereta berlalu. Dan Pariyem mulai menghitung hari.
Tanggal lima belas akhirnya tiba. Pariyem bangun sebelum ayam berkokok. Dia mandi dengan air dingin, membersihkan tubuh dengan teliti. Tapi tidak ada lulur mewah pagi ini. Tidak ada minyak wangi. Tidak ada bedak halus.
Dia mengenakan pakaian paling sederhana yang dimilikinya—kemben lusuh berwarna cokelat tua, kain jarik batik kampungan dengan motif sederhana, kebaya katun tipis yang sudah pudar warnanya.
Tidak ada perhiasan sama sekali. Bahkan gelang dan cincin emas dia lepas semua, disimpan dalam kotak kayu.
Rambut yang biasa disanggul rapi dengan tusuk konde emas, kini hanya digelung sederhana di tengkuk dengan tusuk konde dari bambu. Selendang tipis berwarna cokelat dia selempangkan, bisa ditarik untuk menutupi sebagian wajah jika perlu.
Dia memandang bayangan dirinya di cermin kecil. Pariyem yang berdiri di sana bukan lagi selir ningrat. Hanya perempuan kampung biasa seperti dulu. Perempuan yang bisa hilang di antara kerumunan tanpa ada yang memperhatikan.
"Mbok Nah," panggilnya pada pelayan setia sembari mengulurkan beberapa keping uang. "Aku keluar hari ini. Mungkin sampai malam. Jangan beritahu siapa pun. Katakan saja aku sedang tidak enak badan di kamar kalau ada yang tanya."
Perempuan tua itu mengangguk paham.
Pariyem pergi dengan berjalan kaki, karena kereta terlalu mencolok. Ia berjalan kaki ke perempatan jalan, menunggu dokar umum yang lewat.
Dokar tua dengan cat mengelupas akhirnya berhenti. Kusirnya, pria paruh baya dengan kulit terbakar matahari, menatapnya dengan mata menyipit.
"Ke mana, Yu?"
"Ke kadipaten. Berapa ongkosnya?"
"Lima sen."
Pariyem naik. Dokar melaju perlahan, bergabung dengan arus orang-orang yang berjalan kaki menuju kadipaten.
Rakyat jelata dari berbagai desa, mengenakan pakaian terbaik yang mereka miliki. Meski tetap sederhana, tapi orang-orang itu berjalan dengan wajah bersemangat. Ini kesempatan langka melihat pesta ningrat dari dekat.
Semakin dekat ke kadipaten, semakin ramai jalanan. Pedati sapi, dokar, kereta kuda, bahkan mobil-mobil mewah milik orang Belanda dan Tionghoa kaya berjejer.
Debu beterbangan. Suara klakson bersahutan dengan suara orang-orang yang mengobrol riuh. Bau khas keringat dan kencing hewan mendominasi udara yang semakin terik.
Pariyem turun dari dokar di persimpangan, masih cukup jauh dari gerbang. Dia berjalan menyusuri pagar tinggi yang mengelilingi kompleks kadipaten, mencoba mencari celah.
Di depan gerbang utama, kerumunan sudah sangat padat. Rakyat jelata berdiri di balik pagar besi tempa dengan jeruji-jeruji tinggi yang berjarak rapat. Mereka hanya bisa mengintip dari sana, melihat hiruk pikuk persiapan pesta di dalam.
Pariyem mencoba mendekati gerbang. Penjagaan sangat ketat. Pengawal bersenjata lengkap berdiri di setiap sudut.
Ada yang memegang senapan panjang. Ada yang membawa pedang terhunus. Wajah-wajah mereka datar, mata tajam mengawasi setiap gerakan.
Di depan gerbang, ada meja panjang tempat dua orang abdi dalem memeriksa undangan. Hanya yang membawa surat undangan resmi yang boleh masuk.
Surat-surat itu diperiksa dengan teliti, dipastikan cap resmi kadipaten jika sang tamu tampak asing. Sementara tamu-tamu yang sudah biasa ke kadipaten dengan mudahnya memasuki tanpa antri pemeriksaan.
Pariyem mencoba mendekat, tapi seorang pengawal langsung menghadang.
"Minggir! Jangan menghalangi tamu undangan!"
Dia mundur ke barisan orang-orang yang hanya bisa menonton dari luar, ia menutupkan ujung kain ke hidung, menahan bau keringat yang tajam.
Pandangannya mengedar. Jantungnya berdebar kencang. Bagaimana dia bisa masuk?
Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat ke dalam melalui celah-celah jeruji. Taman kadipaten yang luas tampak seperti surga. Pohon-pohon rindang dihiasi kain-kain warna-warni.
Jalan berkarpet merah ditaburi kelopak bunga. Pendopo-pendopo besar dihias bunga-bunga indah dan janur kuning.
Para bangsawan mulai berdatangan dengan kereta-kereta mewah. Perempuan-perempuan cantik dengan kebaya sutera dan perhiasan emas berkilauan.
Pria-pria gagah dengan beskap hitam bersulaman benang emas. Mereka turun dari kereta dengan anggun, disambut hormat oleh deretan abdi dalem.
Pariyem mencoba bergerak menyusuri pagar, mencari pintu lain. Tapi setiap pintu—gerbang samping, gerbang belakang untuk pelayan, semuanya dijaga ketat. Tidak ada satupun yang terbuka untuk rakyat jelata.
Matahari sudah tinggi. Panas menyengat kulit. Keringat mengalir di pelipis. Bau badan dari orang-orang yang masih bertahan semakin memuakkan.
Pariyem sudah berjalan mengelilingi tembok kadipaten hampir dua kali, tapi tidak menemukan celah.
Dia berhenti di bawah pohon asam, mencoba berpikir. Di berbagai sudut tembok, ada papan-papan kayu dengan tulisan.
Mungkin petunjuk arah atau pengumuman. Tapi Pariyem tidak bisa membaca. Huruf-huruf Jawa yang indah itu hanya goresan tanpa makna baginya, juga terjemahan dalam bahasa Melayu dan Belanda di bawahnya.
Haus menyiksa tenggorokan. Lapar mulai menggerogoti perut. Tapi dia tidak menyerah. Sudah sampai sini, tidak mungkin pulang tanpa melihat Pram.
Pariyem memandang ke arah jalan utama. Kereta-kereta terus berdatangan. Kebanyakan masih bangsawan Jawa—ini prosesi adat, pesta untuk kaum ningrat, pikirnya.
Ia tak tahu seluk beluk pernikahan ningrat, tapi melihat kebanyakan tamu, ia yakin pejabat Belanda mungkin akan datang malam hari.
Sebuah ide muncul di kepalanya. Marius Vecht. Satu-satunya pejabat Belanda yang pernah menatapnya dengan sorot menghargai, bukan sekadar pelayan rendahan. Pria yang berkata setiap ibu berhak melihat anaknya.
Pasti malam nanti Marius akan datang untuk pesta. Dia Asisten Residen—undangan penting. Tapi kalau menunggunya di sini, di tengah kerumunan, bagaimana dia bisa bicara? Tidak mungkin.
Pariyem harus menemui Marius sebelum pria itu datang ke kadipaten.
Dengan langkah tergesa, dia mencari dokar sewaan. Beruntung masih ada satu dokar tua yang parkir di bawah pohon, kusirnya sedang makan.
"Kang," panggil Pariyem. "Bisa mengantarkan saya?"
Kusir itu menoleh, mulut masih penuh ubi. "Ke mana?"
"Ke rumah dinas Asisten Residen."
Mata kusir membulat. "Rumah dinas pejabat Belanda?"
"Ya. Saya ada keperluan mendesak. Berapa ongkosnya?"
"Dua puluh sen. Jauh."
Pariyem mengeluarkan uang dari kantong kecil yang diselipkan di kendit. "Ayo berangkat sekarang."
Sore sudah mulai turun ketika dokar berhenti di depan gerbang rumah dinas Asisten Residen.
Bangunan megah bergaya indis dengan taman luas dan pagar besi tinggi. Sangat berbeda dengan arsitektur Jawa yang biasa dilihat Pariyem.
Di gerbang, seorang penjaga pribumi dengan seragam cokelat lengkap berdiri tegak. Matanya menatap Pariyem dengan curiga.