Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26. INVESTIGASI
Saat suasana mulai sedikit membaik, Raven mulai membuka suara atas yang terjadi ini.
"Elias," panggil Raven akhirnya, "aku akan koordinasikan tim investigasi malam ini. Aku butuh izinmu untuk memeriksa seluruh sistem keamanan dan log CCTV. Kalau ledakan ini memang direncanakan, pasti ada jejak yang tertinggal."
Elias mengangguk tanpa menoleh. “Lakukan apa pun yang perlu. Aku ingin jawaban secepatnya," setujunya.
Raven menatapnya sebentar, lalu keluar. Di luar, cahaya lampu mobil pemadam dan suara petugas yang sibuk bekerja menciptakan suasana pasca-chaos yang mencekam. Raven berdiri di tepi halaman, menatap reruntuhan mobil yang kini hanya tersisa kerangka hitam. Ia menyipit, lalu menunduk memerhatikan sesuatu di tanah, potongan kecil logam dengan ukiran angka samar.
Ia mengambilnya dengan penjepit besi, memasukkan ke dalam kantong bukti kecil.
Aku tahu pola ini. Ini bukan kecelakaan, pikir Raven.
Beberapa jam kemudian, api benar-benar padam. Polisi masih memasang garis kuning di sekitar pagar dan air mancur.
Elias duduk di kursi ruang tamu, sementara Ruby tertidur di pangkuannya, masih mengenakan selimut tebal. Ia mengelus lembut rambut gadis itu, pandangannya kosong ke arah jendela. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya penuh badai.
Raven masuk membawa map hitam. "Aku dapat laporan awal. Mobil itu milik seseorang bernama Harold Benson, tapi Harold sudah dilaporkan hilang dua minggu lalu di New Jersey. Polisi lokal tidak menemukan tubuhnya. Artinya, mobil itu dicuri."
Elias menatapnya datar. "Dengan bom di bawahnya."
Raven mengangguk. "Ya. Dan yang lebih menarik, bahan peledak itu bukan jenis komersial. Ini buatan khusus, seperti yang biasa digunakan dalam operasi militer."
Keheningan menggantung.
Raven melanjutkan dengan nada berat, "Kau tahu apa artinya, Elias. Ini bukan hanya pesan dari Edward Adams."
Elias menatapnya tajam. "Aku tahu. Ini peringatan dari seseorang yang lebih besar. Tidak mungkin seorang Edward bisa memiliki bahan peledak seperti itu."
Raven menyilangkan tangan. "Mungkin Death Eater. Atau seseorang yang ingin memastikan kau berhenti mencari mereka."
Elias menatap Ruby yang masih terlelap, napasnya tenang tapi wajahnya masih menyimpan sisa ketakutan. Ia menunduk, menyentuh jemari gadis itu perlahan.
"Kalau mereka pikir aku akan berhenti karena ini," kata Elias pelan tapi tajam, "mereka belum benar-benar mengenalku."
Raven tidak menjawab. Ia tahu, dari nada suara Elias, badai yang lebih besar baru saja dimulai.
Di luar, malam mulai turun perlahan, menyelimuti reruntuhan pagar dan air mancur yang hancur. Asap terakhir dari ledakan itu mengepul ke udara, berbaur dengan cahaya lampu-lampu jalan yang bergetar lembut.
Namun bagi Elias, malam itu menandai sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar serangan fisik. Itu adalah peringatan, sekaligus tantangan.
Dan di dadanya, amarah bercampur ketakutan. Bukan karena ia diserang.
Tapi karena seseorang berani menakut-nakuti gadis yang kini menjadi pusat dunia kecilnya.
"Raven,"ucapnya lirih tanpa menoleh, "siapkan mobil. Besok pagi, kita mulai perburuan."
Raven mengangguk perlahan. "Sudah kuduga kau akan bilang itu."
Sebuah jeda singkat.
Elias kembali menatap Ruby yang tertidur lelap, bibirnya bergerak pelan, nyaris seperti doa.
"Aku janji, Ruby, tidak ada lagi yang akan menyentuhmu," ucap Elias.
Dan di luar, angin malam membawa aroma logam terbakar yang perlahan menghilang, meninggalkan rumah besar itu dalam keheningan, namun menyimpan bara yang belum padam.
...***...
Pagi di Boston datang dengan aroma logam terbakar. Di halaman rumah Elias Spencer, asap tipis masih melayang dari sisa puing pagar dan air mancur yang hancur. Bau bensin dan debu logam bercampur, meninggalkan jejak keheningan yang terasa seperti ancaman yang belum selesai.
Di dalam ruang kerja Elias, suasana lebih gelap dari biasanya. Tirai belum dibuka, hanya cahaya dari layar monitor besar yang menyorot wajah dua pria yang berdiri di depan meja panjang: Elias dan Raven.
Elias menatap layar tanpa berkedip, rekaman CCTV dari malam sebelumnya. Gambar hitam putih menunjukkan jalan depan rumah, tenang selama beberapa detik, sebelum lampu mobil sedan hitam melaju cepat menembus pagar. Tapi sesuatu menarik perhatian: pengemudi terlihat membuka pintu dan melompat keluar beberapa detik sebelum mobil menghantam pagar.
Raven memerlambat video, menyorot bagian itu berulang kali.
"Lihat gerakannya," katanya pelan. "Dia melompat, bukan terlempar. Artinya dia sadar apa yang akan terjadi. Dia tahu mobil itu akan meledak."
Elias memajukan tubuhnya, suaranya dingin. "Artinya ledakan itu disengaja. Tentu saja dengan bukti adanya bahan peledak."
"Dan bukan bunuh diri," tambah Raven. "Dia melarikan diri. Aku perbesar bagian ini-"
Raven mengklik beberapa kali, gambar wajah pengemudi terlihat sekilas di bawah cahaya lampu jalan. Hanya sepersekian detik, tapi cukup jelas untuk menunjukkan sesuatu; bekas luka panjang di pipi kiri.
Elias menatap tajam. "Kau kenal dia?"
Raven mengerutkan alis. "Tunggu ...."
Ia mengambil tablet, membuka folder data lama yang berisi daftar orang-orang yang pernah bekerja untuk Edward Adams di masa lalu. Setelah beberapa kali menggulir, matanya menyipit. "Astaga, dia Harvey Quinn. Mantan sopir pribadi Edward."
Elias membeku.
Nama itu bukan asing, ia ingat Harvey, pria bertubuh besar dengan mata kosong yang selalu menunduk ketika menemani Edward ke acara bisnis. Orang yang dulu sempat dilaporkan di pecat setelah kasus penggelapan di perusahaan Adams Group.
Raven melanjutkan, suaranya lebih dalam. "Harvey menghilang dua minggu setelah berita kekerasan Edward terhadap Ruby muncul. Polisi mencatat dia pergi ke luar negeri, tapi tidak ada catatan keberangkatan di bandara."
Elias bersandar di kursi, menatap layar monitor dengan tatapan yang makin gelap. "Jadi Edward memanfaatkan orangnya sendiri."
Raven menatap Elias sekilas. "Aku akan memeriksa data residu bahan peledak dari sisa mobil. Tim kita semalam sudah ambil sampelnya."
Ia berbalik ke meja di belakang, di mana beberapa tabung kaca kecil berisi serbuk abu diletakkan rapi di bawah mikroskop portable. Di layar kecil di sampingnya, data komposisi kimia muncul satu per satu.
Raven membaca cepat.
"C4 campuran. Tapi lihat ini-" ujarnya sambil menunjuk baris data pada berkas." Ada tambahan nitrometana dan serpihan aluminium. Campuran ini bukan buatan sembarangan. Ini formula modifikasi militer."
Elias mengerutkan dahi. "C4 dan nitrometana? Itu bukan sesuatu yang bisa dibeli di pasar gelap kecil."
"Benar," jawab Raven. "Kau butuh akses ke jaringan distribusi tertutup. Aku hanya tahu satu orang di Boston yang bisa dapatkan barang semacam ini tanpa jejak, dan dia dulu bekerja untuk Adams Group di bagian logistik."
Elias menatapnya dalam-dalam. "Sebut namanya."
Raven membuka berkas lain. "Trevor Hines. Dulu kepala gudang penyimpanan bahan industri untuk Adams Group. Setelah dipecat, dia buka usaha ekspedisi kecil di pinggiran kota. Tapi dari catatan keuangan yang kudapat pagi ini, dia baru saja menerima transfer anonim sebesar dua ratus ribu dolar, dua hari sebelum ledakan."
Elias menegakkan tubuhnya, rahangnya mengeras. "Dua ratus ribu dolar untuk diam, atau untuk meledakkan sesuatu?"
Raven menatap lurus ke arah Elias. "Kau tahu jawabannya."
Keheningan menggantung. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar, pelan tapi menusuk.
Elias bangkit dari kursinya, berjalan ke arah jendela besar yang masih retak. Ia menatap halaman depan yang hangus, sisa api kecil masih berkedip di ujung pagar.
Pikirannya berputar cepat. Ia mengingat wajah Ruby kemarin, pucat dan gemetar dalam pelukannya. Bayangan itu membuat darahnya mendidih.
"Edward," katanya perlahan, seolah mencicip nama itu dengan racun di lidahnya. "Dia tidak hanya mencoba menghancurkan reputasiku. Sekarang dia mencoba menakut-nakuti gadis itu."
Raven berjalan mendekat, menyandarkan bahu ke meja. "Dia tahu, menyerangmu secara langsung tidak akan memberi efek. Tapi Ruby, dia tahu di situlah titik lemahmu."
Elias menatap Raven dari balik bahunya. "Dan dia pikir aku akan diam?"
"Tidak," jawab Raven datar. "Dia pikir kau akan bereaksi. Dan ketika kau bereaksi, dia akan punya alasan baru untuk menjatuhkanmu."
Elias memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang mendidih di dalam dada. "Kau tahu, Raven ... kalau bukan karena Ruby, aku sudah datang ke rumahnya malam ini juga."
Raven mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi sekarang bukan waktunya menyerang membabi buta. Kita lakukan dengan cara kita; dingin, bersih, dan menyakitkan."
Ia berjalan ke meja kerja, membuka laptop lain. "Aku sudah susun rencana. Kita tidak bisa menyerahkan ini ke polisi, karena mereka jelas tidak peduli waktu Ruby dipukul dulu. Tapi kita punya sesuatu yang mereka tidak punya, otak dan sumber daya."
Raven mengetik cepat, lalu memutar tampilan di layar ke arah Elias. "Ini transaksi digital dari Trevor Hines. Uang itu dikirim dari rekening perusahaan fiktif di bawah nama Horizon Consulting. Aku telusuri lagi, dan tahukah kau siapa direktur nominalnya?"
Elias mendekat, membaca layar. Nama itu muncul jelas di depan mereka: Edward J. Adams.
Raven menatap Elias dengan pandangan serius. "Kau tidak butuh bukti lain."
Elias berdiri diam beberapa detik. Tatapannya kosong, tapi udara di sekitarnya terasa bergetar oleh amarah dingin yang mulai menanjak. Ia lalu berjalan ke arah rak buku di belakang, menarik sebotol Scotch dari bar kecil, menuang sedikit ke gelas. Tangan yang biasanya stabil kini bergetar ringan saat ia mengangkatnya.
"Dia berani bermain api," kata Elias perlahan. "Dan dia lupa ... aku tidak takut terbakar."
Raven diam, hanya menatap. Ia tahu, inilah sisi Elias yang paling berbahaya, bukan saat marah besar, tapi saat terlalu tenang. Elias meneguk minumannya, lalu meletakkan gelas itu dengan bunyi lembut di meja.
"Mulai dari sekarang," katanya dengan nada datar, "aku ingin tahu setiap pergerakan Edward. Ke mana dia pergi, siapa yang dia temui, bahkan siapa yang mengantar kopinya pagi-pagi. Aku tidak akan membiarkan dia lagi kali ini."
Raven mengangguk. "Aku akan aktifkan jaringan bawah tanah kita. Aku juga punya orang di IT lama yang bisa menyusup ke server Adams Group. Kalau perlu kita minta bantuan Chiper "
"Lakukan," perintah Elias. "Dan Raven-"
Raven menatap. "Ya?"
"Kalau kau menemukan Harvey Quinn," Elias menatapnya tajam, "jangan bunuh dia dulu. Aku ingin dengar dari mulutnya sendiri siapa yang menyuruhnya."
Raven mengangguk lagi. "Mengerti."
Mereka berdua kini tidak akan lagi duduk diam, tidak setelah gadis yang telah meramaikan rumah mereka dibuat ketakutan di kediaman mereka sendiri. Ini sudah melewati batas kesabaran Elias Spencer.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya