NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 — Ujian Sekte

Wuyan berdiri di barisan murid, napasnya panjang dan perlahan, mencoba menenangkan aliran energi yang berputar di dalam dirinya. Aula latihan utama sekte Langit Tenang dipenuhi cahaya lilin dan lampu aura yang lembut, namun nuansanya tetap formal dan menegangkan. Pilar-pilar batu bercahaya memantulkan simbol energi di dinding, menciptakan ilusi ruang yang lebih luas sekaligus menekankan hierarki dan ketelitian ujian.

Bisikan ringan terdengar di antara murid-murid. Beberapa menatapnya dengan rasa ingin tahu, yang lain menutupi wajah mereka dengan ekspresi berhati-hati. Rasa takut dan curiga masih terasa, sisa dari insiden monster beberapa hari lalu. Wuyan merasakan tekanan itu, gelombang energi Po di tubuhnya bergetar, mengingatkannya akan wajah pertama yang diam-diam mengintai kesadarannya.

“Fokus, Wuyan. Tenang,” bisiknya pelan, mengayunkan tangan untuk menyeimbangkan Hun dan Po. Ia merasakan aura murid lain di sekitarnya, setiap napas, setiap getaran energi, seperti sebuah medan tekanan yang memaksa dirinya tetap waspada.

Elder Ming Zhao melangkah ke tengah aula, wajahnya tegas namun tidak penuh amarah. “Ujian ini bukan sekadar kemampuan. Ini adalah pengendalian diri. Hun dan Po harus bekerja seiring, tubuh dan jiwa harus satu arah. Semua yang berlebihan atau tak terkendali akan dicatat.”

Wuyan mengangguk, menahan napas. Ia tahu, setiap gerakan, setiap fluktuasi energi bisa terlihat. Ia harus menahan wajah pertama. Tetapi bagian itu di dalam dirinya mendesak, ingin menanggapi tekanan ujian dengan kekuatan lebih, dengan kecepatan, dengan ketelitian yang tak manusiawi.

Instruksi dimulai. Murid-murid dipersilakan memanifestasikan energi mereka dalam bentuk sederhana: mengangkat bola energi ringan, menahan keseimbangan energi di udara, atau mengalirkan Hun–Po melalui tangan mereka. Wuyan memfokuskan diri, mencoba menampilkan gerakan yang rapi, sederhana, tanpa memancing sorotan.

Tetapi sesaat kemudian, sesuatu dalam dirinya bereaksi. Aura Po bergetar lebih kuat, tangan bergerak sedikit lebih cepat dari yang ia maksud. Cahaya samar muncul di sekeliling tangannya, hanya cukup untuk menangkap mata beberapa murid di barisan terdekat. Jantungnya berdetak kencang. Ia menelan panik. “Tenang… jangan sampai ketahuan,” pikirnya sambil menarik napas, mencoba menekan gelombang liar itu.

Bayangan di sisinya berbisik dalam kepalanya, nada lembut tapi menekan: “Mengapa kau menahan? Ini hanya permainan kecil. Biarkan aku membantu.”

Wuyan menepis bisikan itu, menahan dirinya, tetapi peringatan bayangan itu terasa seperti jari yang menekan permukaan kulit: menyakitkan, menggoda, dan menekan kontrol yang rapuh. Ia mengarahkan energi dengan perlahan, memecah arus Po menjadi gelombang kecil yang bisa ia kendalikan, namun tetap terasa tidak wajar bagi dirinya sendiri.

Di barisan lain, murid-murid memperhatikan. Beberapa menatapnya curiga, mata mereka menanyakan sesuatu yang tak terucapkan. Ada bisik-bisik kecil, “Apakah itu Wuyan? Aura-nya… berbeda…” Rasa takut muncul kembali, membuat gelombang Po menekan lebih keras.

Wuyan menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Ia harus mengingat ajaran Ming Zhao: Hun mengamati, Po merasakan. Energi harus seimbang. Tetapi wajah pertama mendesak: “Gunakan… jangan tahan… tunjukkan kemampuanmu.”

Ia menggigit bibir. “Aku tidak bisa… belum,” bisiknya dalam hati. Tetapi gerakan tangannya tetap cepat, aura Po samar muncul kembali, hampir memanifestasikan cahaya yang terlalu terang. Satu murid menatap, alis terangkat. Wuyan panik, mengalihkan energi ke pernapasan, mencoba menenangkan.

Detik demi detik berlalu, dan ujian itu tidak berhenti. Setiap murid menunjukkan kemampuan mereka, sementara Wuyan harus terus memanipulasi energi yang sebagian berontak di dalam dirinya. Ia merasa wajah pertama menatap dari dalam bayangan: menunggu, menekan, menguji kesabaran dan kendalinya.

Bayangan itu berbisik lagi, lebih lembut kali ini: “Kau tidak lagi sendiri. Setiap gerakanmu adalah milikku juga. Mengapa kau menolak?”

Wuyan menekuk badan sedikit, menahan energi liar. “Aku… harus bisa mengendalikan ini. Aku tidak ingin kalian dilihat orang lain… belum sekarang.”

Kilasan energi lain muncul, Po bergelombang lebih cepat, seolah menuntut pengakuan. Wuyan merasakan rasa bersalah dan ketegangan yang bercampur, membuat kepala berdenyut. Ia harus memikirkan strategi internal: mengalihkan energi wajah pertama ke arus kecil yang tidak terlihat, menahan cahaya dan getaran, menjaga setiap gerakan agar tampak normal.

Detik berikutnya, ujian memasuki tahap berikut: memanifestasikan Hun–Po melalui interaksi fisik sederhana, seperti menyentuh bola energi dan menahannya di udara. Wuyan merasakan tangan lain di sekitarnya bergerak lambat dan mantap. Ia harus menyesuaikan, menyeimbangkan kekuatan agar terlihat seperti murid biasa.

Tetapi Po tidak mau tenang. Aura cahaya samar muncul di pergelangan tangannya, cepat dan tajam, hampir memantulkan bayangan pilar di sekitarnya. Murid lain menoleh, dan Wuyan menelan napas, menahan napas, menundukkan kepala. “Tenang… jangan panik…”

Bayangan bersuara dalam kepalanya: “Mereka tahu… mereka selalu tahu.”

Wuyan menggigit bibir, menekuk badan lebih dalam, menyalurkan energi ke dalam diri sendiri, berfokus pada titik Hun di tengah dada. Gelombang liar mulai stabil sedikit demi sedikit. Ia merasakan wajah pertama menatap dengan campuran penasaran dan kekesalan, seperti anak kecil yang tak sabar menunggu permainannya.

Saat ujian berlanjut, Wuyan merenung singkat: ini bukan sekadar tes kemampuan. Ini adalah uji pengendalian diri, pengendalian fragmentasi jiwa. Setiap kali ia menolak wajah pertama, Po menuntut lebih keras; setiap kali ia menerima, kekuatan itu bisa digunakan, tetapi berisiko ketahuan.

Ia menyadari satu hal: kekuatan bukan sekadar alat, tapi juga tanggung jawab dan ujian moral. Sekarang, lebih dari sebelumnya, ia harus berhati-hati. Satu kesalahan, satu gerakan yang berlebihan, bisa menimbulkan kecurigaan atau bahkan hukuman.

Ujian belum selesai. Wajah pertama masih menatap, bisikan itu menempel di pikiran: “Kau tidak lagi sepenuhnya memegang kendali.”

Detik demi detik terasa menekan. Wuyan menahan napas, perlahan menyalurkan Po ke dalam gerakan kecil dan terkendali, memastikan setiap manifestasi energi tetap terlihat wajar. Murid-murid lain bergerak mantap, tanpa kegelisahan. Ia merasakan mata mereka sesekali melirik ke arahnya, dan meski tidak ada kata yang diucapkan, Wuyan tahu rasa ingin tahu dan curiga tersebar di aula.

Bayangan di sisi pikirannya bersuara, lebih dalam dan lebih lembut kali ini, tapi mengandung nada mengejek: “Mereka takut padamu, Wuyan. Kau pikir ini ujian sekadar kemampuan? Tidak. Ini ujian siapa yang bisa mengendalikan apa yang berada di luar kendali.”

Wuyan menutup mata sebentar, menarik napas panjang, mencoba menyamakan detak jantung dengan arus energi di dalam tubuhnya. Ia harus menjaga Hun tetap waspada, menahan Po agar tidak menyeruak terlalu kuat. Sementara itu, wajah pertama di dalamnya menekan, menginginkan pengakuan, ingin digunakan untuk mengungguli semua murid lain.

“Jangan… sekarang bukan waktunya,” Wuyan berbisik, menyalurkan gelombang energi ke dalam pusat Hun di dada. Ia merasakan Po sedikit mereda, namun hanya sesaat. Gelombang cahaya samar muncul lagi, dan kali ini, satu murid menatap lebih lama dari sebelumnya.

Ketegangan meningkat. Wuyan sadar bahwa satu kesalahan sekecil apapun bisa memancing pertanyaan dari guru. Ia menekuk badan, mengatur napas, dan mencoba mengubah fokus: bukan sekadar menahan kekuatan, tapi memanfaatkan energi wajah pertama secara halus, seakan ia sendiri menggerakkannya tanpa kehilangan kendali.

Bayangan bersuara lagi, kali ini lebih tajam: “Lihat, kau bisa memaksa diri. Tapi mengapa kau masih takut? Aku bisa membantumu. Tanganmu lebih cepat, gerakanmu lebih presisi. Biarkan aku.”

Wuyan menekuk bibirnya, rasa panik bercampur dengan rasa bersalah. Ia tahu jika menyerah, semua akan terlihat. Tetapi menolak juga membuat Po semakin liar, gelombangnya tidak stabil. Ia menarik napas panjang, mencoba menyamakan ritme Hun dan Po. Perlahan, energi wajah pertama mulai menyesuaikan dengan perintahnya — namun tetap terasa adanya kesadaran lain yang memandang dari dalam.

Ujian memasuki tahap akhir: kombinasi antara stabilisasi energi dan interaksi fisik. Wuyan harus memindahkan energi dari satu titik ke titik lain, menjaga bola energi tetap di udara tanpa goyah. Sementara tangan-tangannya bergerak, matanya mengamati murid lain, mencoba menebak siapa yang memperhatikannya paling tajam.

Satu detik terlalu cepat, dan Po melompat keluar, cahaya samar memantul di pilar batu. Beberapa murid menoleh, satu menarik napas, namun tidak ada kata yang diucapkan. Wuyan menekuk badan lebih dalam, menyalurkan energi kembali ke pusat Hun. Detik berikutnya, ia menstabilkan semua dengan gerakan lembut, bola energi tetap di udara, meskipun terasa berat.

Bayangan berbisik terakhir kali: “Kau lihat? Kau masih bisa menahan. Tapi aku selalu ada di sini. Kau tidak lagi sepenuhnya sendiri.”

Wuyan membuka mata, perlahan menurunkan tangan. Napasnya berat, tubuhnya gemetar sedikit karena konsentrasi dan tekanan internal. Murid-murid lain mengangguk pelan, beberapa menatapnya dengan rasa hormat yang bercampur takut. Elder Ming Zhao menatap dari jauh, wajahnya tetap tegas namun ekspresinya sedikit berubah — seolah bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar energi Hun–Po biasa.

Dalam hati Wuyan, wajah pertama tersenyum samar. Ia tahu bahwa pengendalian ini baru permulaan. Setiap kali ia menekan, setiap kali ia menahan, ada bagian lain dalam dirinya yang selalu menunggu kesempatan. Satu gerakan salah, satu kekhawatiran, dan kontrol itu bisa lepas.

Ia menarik napas panjang, menundukkan kepala, dan bisik batin itu kembali: “Kau tidak lagi sepenuhnya memegang kendali.”

Wuyan menatap ke pilar bercahaya, merasakan gemetar dalam diri sendiri. Pelajaran hari ini jelas: kekuatan bisa dipelajari, tapi pengendalian fragmentasi jiwa adalah ujian sejati. Tidak ada murid lain yang menghadapi hal seperti ini, dan setiap kali ia berhasil menahan wajah pertama, itu bukan kemenangan mutlak — itu hanya tunda waktu.

Di ruang batinnya, ia memikirkan strategi. Bagaimana memanfaatkan kekuatan itu tanpa ketahuan? Bagaimana menyatukan wajah lain tanpa kehilangan dirinya? Setiap pertanyaan itu menggantung, menekan, dan menimbulkan rasa takut yang lebih dalam daripada ujian fisik mana pun.

Ketika aula mulai sepi, Wuyan berdiri di tepi barisan, tangan masih menggenggam energi ringan yang tersisa. Bayangan muncul samar di sisi tubuhnya, menatap, dan untuk sesaat, ia merasa seperti menatap cerminan dirinya sendiri yang lebih gelap dan lebih jujur.

“Kau tidak lagi sepenuhnya memegang kendali,” bayangan mengulang sekali lagi, kali ini dengan nada hampir lembut, tapi penuh peringatan.

Wuyan menelan napas, menundukkan kepala, dan menyadari satu hal penting: pengendalian ini bukan akhir. Ini baru awal dari ujian yang lebih besar — ujian terhadap jiwanya sendiri, terhadap fragmentasi yang terus menunggu kesempatan untuk bangkit.

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!