Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Histeria Penuh Drama
Bu Hanim, yang baru saja diikat borgol dan digiring menuju pintu, melihat pemandangan itu. Tawa gilanya seketika mereda, digantikan oleh teriakan histeris seorang ibu.
"Dinda! Anakku! Apa yang kalian lakukan pada anakku?!" Bu Hanim meronta melawan borgol dan petugas. "Mulia! Iblis! Kamu membunuh anakku! Kamu yang bertanggung jawab atas semuanya!"
Teriakan Bu Hanim menghunjam pendengaran semua orang, teriakan yang sarat dengan kegilaan dan penyesalan.
Soraya melihat semua itu. Ia melihat kehancuran Bu Hanim dan pengkhianatan suaminya, dan kini Dinda yang bersimbah darah. Ia menoleh ke arah Mulia, air matanya menetes. Ia baru menyadari, Mulia bukanlah musuhnya. Mulia adalah korban sejati. Soraya segera mendekati Mulia.
"Mulia... Maafkan aku," bisik Soraya, suaranya dipenuhi penyesalan. "Aku... aku dibutakan oleh kebencian. Maafkan aku."
Mulia hanya menatap Soraya. Ia tidak bisa bicara, terlalu banyak trauma yang ia rasakan.
Satria membopong Dinda yang pingsan. Wajahnya dipenuhi air mata. Ia menatap Ikhsan.
"Aku akan membawanya ke rumah sakitmu, Ikhsan. Tolong selamatkan dia," pinta Satria, suaranya parau.
"Tentu," Ikhsan mengangguk, mengabaikan sakit di bahunya. "Kita akan selamatkan dia."
Ikhsan melihat Mulia, yang kini berdiri gemetar di samping Kartika. Ia tahu, meskipun kejahatan Bu Hanim telah terungkap dan hukum telah bekerja, pertempuran emosional Mulia belum usai. Mulia harus menyembuhkan luka yang tak terlihat, luka karena kehilangan ibunya, dan luka karena dituduh sebagai iblis.
Di belakang mereka, Bu Hanim terus meronta, teriakannya menjauh seiring ia digiring keluar dari gedung.
Mulia memandang ke lantai, tempat darah Dinda mengering. Ia telah memenangkan pertarungan kebenaran, tetapi dengan harga yang sangat mahal: kehancuran sempurna dari dua keluarga dan keputusasaan yang melukai semua orang di dalamnya. Ia hanya berharap, setelah semua badai ini, ia dan Ikhsan bisa menemukan kedamaian yang tersisa.
****
Ruang interogasi kantor polisi yang semula dingin dan formal kini berubah menjadi arena pertunjukan histeria. Bu Hanim, yang seharusnya menjawab pertanyaan penyidik mengenai keterlibatannya dalam serangkaian kejahatan—dari penyuapan, penggelapan pajak, hingga dugaan pembunuhan dan teror bersenjata—kini berada di luar batas kendali kewarasan.
Wajahnya yang biasanya tertutup riasan mahal kini pucat pasi, air mata dan maskara yang luntur menciptakan jejak hitam yang mengerikan. Borgol yang melingkari pergelangan tangannya terasa panas. Bu Hanim tidak lagi memikirkan pembelaan hukum; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Dinda, putrinya yang dibawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis.
Seorang penyidik wanita mencoba menenangkannya. "Bu Hanim, tolong jelaskan mengenai transaksi bank atas nama Faisal—"
"Dinda! Dinda!" Bu Hanim meraung, suaranya parau dan melengking. Ia mengabaikan pertanyaan penyidik dan memukul meja dengan borgolnya, menciptakan suara dentuman keras. "Anakku! Mereka menyakiti anakku!"
"Siapa yang menyakiti anak Anda, Bu Hanim? Tolong jelaskan dengan tenang," tanya penyidik itu, berusaha mempertahankan profesionalitasnya.
Mata Bu Hanim yang merah dan liar menatap ke udara kosong, seolah melihat bayangan Mulia di sana. "Mulia! Mulia Anggraeni! Dia iblis! Dia yang menyakiti Dinda! Dia yang membuat anakku berdarah! Dia yang mengambil semua dari kami!"
Bu Hanim bangkit dari kursinya, tubuhnya yang gemetar diapit oleh dua petugas. Ia menjerit dengan histeris, menendang-nendang. Kekacauan tak terkendali memenuhi ruang interogasi itu.
"Dia iblis! Iblis berdarah dingin!" teriak Bu Hanim. "Dia membunuh ibunya sendiri, dia menembak calon suaminya, dan sekarang dia membuat anakku mati! Aku tidak akan memaafkannya! Aku akan membalasnya!"
Penyidik laki-laki yang tadinya hanya mengamati, kini turun tangan. "Bu Hanim, tenang! Anda harus fokus pada kasus Anda. Anda dicurigai terlibat dalam pembunuhan Saudari Siska!"
****
Mendengar nama Siska, Bu Hanim tertawa keras, tawa yang penuh kegilaan dan nihil penyesalan. "Ya! Aku yang melakukannya! Dia pantas mati! Dia merusak rumah tanggaku! Aku yang membunuhnya! Aku yang membuat dia lenyap!"
Pengakuan brutal itu, meskipun terlontar dalam kondisi emosi yang sangat tidak stabil, membuat suasana semakin tegang. Penyidik wanita dengan cepat menyalakan perekam audio tambahan.
"Lalu, bagaimana dengan penembakan Ikhsan di rumah sakit? Dan teror di pernikahan?"
Bu Hanim kembali berteriak, air mata keputusasaan membasahi pipinya. "Aku juga! Aku yang merencanakannya! Aku yang membayar orang-orang! Aku ingin Mulia menderita! Aku ingin melihatnya merangkak di kakiku!"
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata, seolah mengumpulkan semua energi kebenciannya.
"Aku bersumpah! Aku bersumpah demi nyawa Dinda!" Bu Hanim kembali berteriak, suaranya tercekat oleh tangisan histeris. "Aku akan keluar dari sini! Aku akan balas dendam pada Mulia! Aku akan pastikan dia mati! Aku akan pastikan dia masuk neraka! Anakku harus dibalas! Kamu tidak akan pernah hidup tenang, Mulia! Tidak akan pernah! Aku akan menghantuimu selamanya!"
****
Suara jeritan Bu Hanim begitu kencang hingga terdengar di lorong kantor polisi. Petugas yang bertugas di luar bergegas masuk, khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan. Mereka berupaya menenangkan Bu Hanim, yang kini berguling-guling di lantai.
"Mulia! Pembunuh! Pembunuh!" Bu Hanim terus meneriakkan kata-kata penuh kebencian.
Seorang perwira senior, yang menyaksikan kekacauan ini dari balik kaca, menggelengkan kepala. Ia tahu, Bu Hanim telah kehilangan akal sehatnya, didorong oleh dendam, rasa malu, dan kini ketakutan akan kehilangan putrinya. Semua kejahatan itu telah menuntut korban terbesarnya: kewarasan dirinya sendiri.
Polisi akhirnya memutuskan untuk memanggil tim medis dan psikiater. Bu Hanim tidak bisa lagi diinterogasi. Ia kini adalah tahanan yang juga membutuhkan perawatan kejiwaan.
****
Ketika Bu Hanim dibopong keluar ruangan, wajahnya yang penuh air mata dan kotor menoleh ke arah kamera pengawas yang tersembunyi. Bahkan dalam kondisi kalut, ada kobaran api yang mengerikan di matanya, kobaran api yang menjanjikan pembalasan.
"Aku akan kembali! Mulia! Aku akan kembali untukmu!"
Teriakan itu adalah janji terakhirnya. Janji yang membuat setiap orang yang mendengarnya merinding. Meskipun Bu Hanim kini berada dalam tahanan, ia telah bersumpah untuk menjadikan hidup Mulia sebagai neraka yang abadi. Kehancurannya sudah nyata, tetapi bahaya yang ia tebar masih mengancam, seolah dendamnya kini telah menjadi entitas yang tak bisa dibunuh oleh hukum.
Mulia Anggraeni kini tidak hanya melawan seorang kriminal, ia melawan kegilaan yang dipenuhi kebencian tak terbatas.
****
Ruang ICU Rumah Sakit Medika Sejahtera diselimuti keheningan yang tegang. Tim dokter berhasil menyelamatkan nyawa Dinda. Luka sayatan di pergelangan tangannya sudah dijahit dan kondisinya dinyatakan stabil. Ia terbaring di ranjang, wajahnya pucat, dikelilingi mesin monitor yang berdetak pelan.
Di luar ruangan, Satria dan Soraya duduk menunggu, wajah mereka sama-sama dipenuhi keputusasaan. Satria menyalahkan dirinya sendiri, sementara Soraya kini hanya merasakan penyesalan atas hasutan yang ia terima dari Bu Hanim.
Tiba-tiba, suara langkah kaki tergesa-gesa memecah keheningan. Mulia dan Ikhsan datang. Ikhsan, meskipun masih terluka, berkeras menemani Mulia.
"Bagaimana Dinda?" tanya Mulia lembut pada Satria.
Satria hanya menatap Mulia, matanya penuh rasa bersalah yang tak terucapkan. "Dia stabil. Tapi..."
Tepat saat itu, di dalam ruang ICU, kelopak mata Dinda terbuka. Ia menatap langit-langit putih, kemudian menyadari tempatnya berada. Ingatannya langsung memutar kembali adegan di pernikahan: ibunya diborgol, ayahnya hancur, dan yang paling utama, Mulia berdiri tegak di tengah kehancuran itu.
Kemarahan yang brutal seketika menguasai Dinda.
"Tidak! Aku tidak mau di sini!" teriak Dinda. Suaranya terdengar serak dan tajam.