Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri Dan Mata-Maa
Pagi itu mansion Evander terasa lebih tenang dari biasanya—tenang yang justru membuat Lovy curiga.
Ia duduk di meja makan, mengaduk cerealnya dengan sendok seperti sedang merencanakan misi militer. Matanya penuh tekad, rambutnya masih sedikit berantakan, tapi tatapan itu… serius.
Samuel masuk sambil menenteng secangkir kopi, kemejanya rapi seperti akan rapat dengan dewan direksi. Kael sudah ada di meja lebih dulu, membaca koran. Gerakannya tenang, ekspresi tetap sedingin es.
"Aku ikut ke gudang hari ini," kata Lovy tiba-tiba, suaranya setegas anak SD yang menuntut ekstra jam main di taman bermain.
Kael menurunkan koran, matanya mengarah tepat ke Lovy. "Gudang bukan tempat wisata," katanya datar.
"Gudang itu tempat rahasia!" Lovy menuding Kael dengan sendok cereal yang sudah penuh susu. "Ada misteri yang harus dipecahkan. Aku bisa jadi detektif. Sherlock Holmes aja bisa kalah."
Samuel menyeruput kopi dengan tenang, lalu menatap Lovy dari atas cangkir. "Sherlock Holmes nggak pakai piyama alpukat saat investigasi."
Lovy mendelik. "Aku ganti baju, Kak! Seriusan deh, jangan halangin aku."
Kael meletakkan korannya, jemarinya menepuk meja pelan. "Kalau kamu ikut, kamu ikut aturan."
Lovy mengangguk cepat. "Baik, baik. Aturan apa?"
"Tidak boleh bawa cemilan."
"Boleh foto-foto?"
"Tidak."
"Boleh—"
Kael mengangkat alis, tatapan dinginnya memotong kata Lovy seperti pedang. "Lovy."
Mulut Lovy langsung mengatup rapat, tapi kemudian ia mengangkat tangannya pelan. "Oke… aku ikut, diam-diam."
Samuel mendengus sambil menaruh cangkirnya. "Itu artinya kamu nggak akan diam sama sekali."
****
Satu jam kemudian.
Gudang belakang mansion terletak agak jauh, bangunannya tua, cat dindingnya mengelupas, pintu besinya terlihat berat. Begitu mereka sampai, udara di sekitar terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang mengawasi.
Samuel menatap pintu itu lama. "Kapan terakhir kali ada yang masuk ke sini?"
Kael, masih sedingin es, menjawab tanpa menoleh, "Aku. Tiga bulan lalu."
Lovy berdiri di antara mereka, kali ini dengan hoodie besar dan celana training. Ia membawa tas selempang mungil.
Kael melirik tas itu. "Apa isinya?"
"Perlengkapan penting," jawab Lovy penuh rahasia.
Samuel menyilangkan tangan. "Perlengkapan apa? Jangan bilang—"
Lovy membuka resleting dengan dramatis. Dari dalam, ia mengeluarkan… senter pink dengan stiker unicorn, sekotak cookies, dan—puncaknya—topi detektif Sherlock Holmes versi anak-anak.
Samuel menatap Lovy lama, lalu menatap Kael. "Dia serius…"
Kael hanya menarik napas panjang, tapi ada sesuatu di wajahnya—senyum kecil yang nyaris tak terlihat.
Pintu gudang berderit keras saat Kael mendorongnya. Aroma debu, kayu lapuk, dan sesuatu yang asing langsung menyeruak keluar. Lovy spontan bersin.
"Haaacchhiiim! Astaga, debunya kayak lagi pesta rave di sini!"
Samuel menyalakan senter ponselnya, mengarahkan ke sudut-sudut ruangan. "Hati-hati. Lantai kayunya rapuh."
Lovy menyalakan senter unicornnya yang langsung berkedip-kedip seperti lampu diskotik. "Tenang! Aku detektif Lovy! Semua misteri akan terungkap!"
Kael menatap senter itu. "Senter kamu… rusak."
"Eh?!" Lovy mengutak-atik senter yang makin berkedip. "Uh, ini… efek dramatis."
Samuel terkekeh pelan. "Investigasi kita kayak… pesta anak TK."
Lovy mendekat ke rak kayu tua, matanya berbinar. "Hei, siapa tahu di sini ada pintu rahasia, peti harta karun, atau… atau mayat—"
"Lovy," potong Kael datar. "Jangan bicara soal mayat."
Lovy menutup mulut, tapi matanya tetap berbinar.
Di sudut gudang, ada sesuatu yang menarik perhatian Samuel—sebuah map cokelat, terselip di balik peti kayu tua.
Samuel jongkok, mengamati map itu dengan tatapan analitis. "Dia sengaja sembunyikan ini."
Lovy ikut jongkok, terlalu dekat sampai nyaris menabrak bahu Samuel. "Buka, Kak! Cepat!"
Samuel meliriknya. "Jangan terburu-buru."
Kael mengambil map itu dengan tenang, lalu membukanya di atas meja kayu. Isinya membuat ruangan seolah membeku:
– Dokumen keuangan perusahaan.
– Beberapa foto mansion.
– Dan—foto Lovy, diambil dari kejauhan saat ia berdiri di balkon.
Lovy langsung meraih foto itu. "Eh?! Ini aku! Ih, ini benar-benar aku?! Oh my god! Padahal kemarin aku hanya bercanda mengatakan mereka menyimpan fotoku. Dan ternyata benar?! Ini gila! Aku kayak selebritas yang diintai paparazzi!"
Samuel menatap foto itu, ekspresinya mengeras. "Ini serius."
Kael tetap tenang, tapi matanya menajam. "Seseorang mengamati kita."
Lovy mengangkat foto itu, menatapnya lama. "Tapi… angle-nya lumayan bagus. Aku nggak kelihatan gendut di sini."
Samuel mendengus. "Lovy."
"Apa? Walaupun kita diintai, kita harus apresiasi fotografinya kan?"
Kael menutup map itu, suaranya dingin tapi terdengar seperti perintah. "Pelayan itu… bukan sekadar pelayan."
Lovy memegang lengan Kael, matanya melebar. "Terus… dia mata-mata?"
Kael menatap Lovy lama. "Iya. Dan mulai sekarang, kamu jangan sendirian."
Lovy merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Kamu… khawatir?"
Kael hanya menatapnya, tidak menjawab. Tapi tatapan itu cukup untuk membuat pipi Lovy memanas.
Samuel batuk kecil, memecah momen. "Oke, cukup tatapan romantisnya. Kita punya masalah lebih besar."
Kael dan Lovy yang mendengar itu sama-sama melirik Samuel. Lovy mendengus sambil matanya yang memutar malas. Sementara Kael hanya menaikkan satu alisnya terlihat acuh.
Suasana kembali hening. Mereka akhirnya meninggalkan tempat itu dengan semua bukti yang sudah mereka lihat. Kini tinggal mereka menyusun semua puzzel misteri ini.
****
Sore itu, di mansion.
Lovy terjatuh di sofa, wajahnya menenggelam dalam bantal. "Aku merasa kayak di film action, tapi aku cuma bawa senter unicorn…"
Samuel duduk di kursi seberang, mengetuk kepalanya pelan. "Untung kamu ikut. Kamu bikin ketegangan jadi berkurang."
Lovy mengintip dari balik bantal. "Kak Sam baik banget hari ini. Jangan galak lagi di kantor ya kalau aku mulai masuk kerja?"
Samuel mengangkat alis. "Jangan manja. Lagi pula setelah pernikahan kalian, aku tidak mungkin mempekerjakanmu lagi di perusahan Luwiys." Tapi nadanya lebih lembut dari biasanya.
Kael masuk membawa segelas air. Ia menaruhnya di meja, lalu menatap Lovy. "Mulai malam ini, kamu tidur di kamar yang pintunya terhubung dengan kamarku. Lebih aman."
Lovy mematung. "Kamu serius?!"
Kael menatapnya dingin. "Aku tidak bercanda."
Samuel tersenyum tipis. "Hm. Aku sedikit terkejut dengan keputusan itu. Tapi kalau dipikir-pikir, itu memang harus setelah kejadian tadi. Dan mungkin setelah itu, mansion ini bakal jauh lebih… ribut."
Lovy memeluk bantal, wajahnya merah. "Aku nggak ribut! Aku cuma… penuh warna!"
Kael berjalan mendekat, menatap Lovy lebih lama. "Apa pun warnanya… aku akan pastikan kamu aman."
Kata-kata itu sederhana, tapi membuat dada Lovy terasa hangat—dan sedikit deg-degan.
Samuel menggumam sambil menyilangkan kaki. "Wah, CEO dingin mulai meleleh di depat anak ini."
****
Menjelang malam.
Mansion Evander terlihat damai. Lovy ketiduran di sofa, memeluk bantal seperti anak kecil. Samuel membaca dokumen di kursi sebelah, Kael berdiri di dekat jendela, menatap langit yang mulai gelap.
Tapi di luar, jauh di balik pagar tinggi mansion, ada tembok tua yang jarang disentuh siapa pun.
Di sanalah Donovan berdiri. Tubuhnya tinggi, mantel gelapnya berkibar pelan diterpa angin. Matanya menatap lurus ke jendela mansion, seolah ia bisa melihat semua orang di dalam.
Bibirnya melengkung perlahan—sebuah senyum sinis yang membuat udara malam terasa lebih dingin.
"Lucu sekali mereka berpikir bisa mengendalikan keadaan," bisiknya.
Tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam mantel—peta lusuh mansion Evander, penuh coretan merah dan bekas lipatan. Jemarinya menyusuri titik kecil di belakang mansion—gudang belakang.
Matanya menyipit, senyumannya makin lebar.
"Besok… akan jadi hari yang menarik," ucapnya, sebelum langkahnya menjauh dan bayangannya menghilang di balik tembok.
.
.
.