Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Pertama
Kabut fajar masih menyelimuti menara-menara istana Nurendah ketika Al Fariz terbangun dari tidurnya yang gelisah. Bayangan pengemis tua dan kata-kata misteriusnya masih terngiang jelas dalam pikirannya. Dari jendela kamarnya, ia bisa melihat kota yang perlahan bangun - asap membubung dari perapian rumah-rumah penduduk, suara pedagang mulai terdengar samar-samar dari pasar. Namun hari ini, ada sesuatu yang berbeda di udara. Sebuah ketegangan yang tak terlihat, seperti badai yang hendak meledak.
"Paduka," suara pelayan tua yang setia mengagetkannya. Wajah lelaki itu pucat, tangannya gemetar memegang nampan sarapan. "Utusan Kerajaan Garamaya... mereka sudah di sini. Tiba lebih awal dari yang diperkirakan, dan menuntut audiensi segera."
Al Fariz menghela napas panjang. Inilah saat yang ia takuti - ujian pertama setelah pertemuannya dengan pengemis tua semalam. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia berusaha menenangkan diri dengan mengingat nasihat orang tua itu.
"Dengan siapa mereka datang?" tanya Al Fariz sambil berdiri, membiarkan pelayan membantu mengenakan jubah kebesarannya.
"Tiga orang, Paduka. Duta Besar Garamaya dan dua pengawalnya. Mereka... membawa sesuatu. Sebuah peti."
Ada sesuatu dalam nada suara pelayan itu yang membuat Al Fariz waspada. Ia mengangguk pelan, mencerna informasi ini. Garamaya tidak pernah membawa hadiah tanpa maksud tersembunyi.
Balairung utama sudah penuh ketika Al Fariz tiba. Para bangsawan berjejal, berbisik-bisik dengan suara hiruk-pikuk. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela kaca patri, menerpa wajah-wajah penasaran yang menunggu. Di tengah ruangan, berdiri tegak Duta Besar Garamaya dengan senyum khasnya yang menusuk. Dua pengawal besinya - tubuh mereka kekar dan wajahnya dingin - menjaga sebuah peti kayu berukir yang diletakkan di lantai marmer.
"Ah, Sultan Al Fariz!" sambut sang Duta dengan suara yang sengaja dibuat lantang hingga bergema di seluruh balairung. Matanya berbinar-binar, menikmati setiap detik dari momen ini. "Kami membawa sesuatu yang spesial untukmu. Sebuah hadiah yang pantas untuk raja sepertimu."
Dengan gerakan dramatis, ia memberi isyarat pada pengawalnya. Peti itu dibuka dengan suara berderit, mengungkapkan isinya yang membuat seluruh balairung terhenyak.
Bukan emas, bukan permata, bukan sutra halus. Di dalam peti itu terbaring sebuah jubah compang-camping yang kotor dan penuh tambalan, serta sebuah tongkat kayu tua yang bengkok. Persis seperti yang dikenakan pengemis di pasar semalam.
Tawa pecah menyebar di antara para bangsawan. Beberapa menutup mulut dengan kipas emas mereka, bahu berguncang menahan gelak. Yang lain tak bisa menyembunyikan cemoohan, tertawa terbahak-bahak tanpa rasa malu.
"Ini adalah hadiah yang pantas untukmu!" teriak Duta Garamaya, suaranya semakin tinggi dan penuh hinaan. "Karena tampaknya, inilah pakaian yang paling cocok untuk seorang raja sepertimu!"
Al Fariz merasakan darahnya mendidih. Tangannya refleks menuju gagang pedangnya, jari-jemarinya menggenggam erat. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Setiap serat dalam tubuhnya berteriak untuk membalas penghinaan ini, untuk menghunus pedang dan menebas leher pria sombong itu.
Tapi kemudian ia ingat.
Ingat kata-kata pengemis tua semalam. Ingat janjinya pada diri sendiri. Ingat segel yang harus dipecahkan.
"Terima kasih," ucap Al Fariz tiba-tiba, suaranya tenang meski gemetar. "Hadiah yang... sangat bermakna."
Keheningan menyergap balairung. Semua mata tertuju padanya, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Bahkan para pengawal istana yang berdiri kaku pun terlihat terkejut.
Duta Garamaya tampak kecewa. Ekspresinya berubah dari sombong menjadi bingung. "Apakah kau tuli? Kami menghinamu! Kami mempermalukanmu di hadapan semua bangsawanmu!"
Al Fariz mengambil napas dalam-dalam, merasakan setiap hembusan udara masuk ke paru-parunya. Ia melangkah maju, mendekati peti yang berisi penghinaan itu. Para bangsawan terengah-engah, beberapa wanita menjerit pelan ketika melihatnya mengulurkan tangan.
"Jangan, Paduka!" teriak salah satu bangsawan tua. "Ini penghinaan Terhadap tahta!"
Tapi Al Fariz sudah memutuskan. Dengan gerakan tenang yang mengejutkan dirinya sendiri, ia mengambil jubah compang-camping itu. Kainnya kasar di tangannya, bau anyir dan debu memenuhi hidungnya.
"Lihatlah baik-baik," katanya kepada semua yang hadir, suaranya kini mantap dan jelas. "Inilah Sultan kalian. Bukan dari jubah yang dikenakannya, bukan dari mahkota di kepalanya, tapi dari jiwa yang ada di dalamnya."
Dengan gerakan perlahan, ia mengenakan jubah itu di atas pakaian kebesarannya. Kontras antara sutra halus dan kain kasar, antara kemewahan dan kemiskinan, terlihat begitu jelas.
Duta Garamaya tersentak mundur. "Kau... kau tidak marah?"
"Kemarahan adalah kemewahan yang tak bisa kupunyai saat ini," jawab Al Fariz. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami makna kata-katanya sendiri.
Tiba-tiba, sesuatu yang ajaib terjadi.
Dari balik kerumunan, seorang pengawal tua berteriak. "Paduka! Lihat!"
Jubah compang-camping yang dikenakan Al Fariz tiba-tiba memancarkan cahaya keemasan samar. Ukiran-ukiran halus mulai muncul di permukaannya, membentuk pola-pola rumit yang sama dengan tattoo yang dilihat Al Fariz pada pengemis tua semalam. Pola-pola itu berdenyut pelan, seperti jantung yang baru saja terbangun.
"Segel..." bisik Al Fariz tak percaya, menatap lengannya yang sekarang diselimuti cahaya misterius. "Ia mulai retak."
Dari jendela tinggi, sinar matahari pagi menembus masuk, mengenai Al Fariz tepat di dada. Cahaya alami itu seolah menyatu dengan kilauan emas dari jubah tua, menciptakan siluet yang begitu berwibawa. Para bangsawan yang tadinya mencemooh, kini terdiam takjub. Beberapa bahkan terduduk, tak mampu berkata-kata.
Namun momen ajaib ini tidak berlangsung lama.
Teriakan panik dari luar balairung memecahkan kesunyian. Seorang prajurit berlari masuk, wajahnya pucat membingkai mata yang penuh ketakutan. Bajunya compang-camping, darah mengering di pelipisnya.
"Paduka!" teriaknya, suaranya serak. "Pasukan Garamaya... mereka menyerang perbatasan! Desa-desa di utara sudah dibakar! Dan... ada sesuatu yang lain." Prajurit itu menarik napas dalam, matanya membelalak ketakutan. "Bayang Hitam yang selama ini kita takuti... ia mulai bangkit! Awan hitam menyelimuti langit utara, dan dari dalamnya... terdengar suara yang bukan berasal dari dunia ini!"
Duta Garamaya tersenyum sinis, kini tampak lebih percaya diri. "Rupanya pertunjukan belum selesai, Yang Mulia. Kau mungkin bisa menahan penghinaan, tapi bisakah kau menahan pedang musuh dan kegelapan yang datang bersamaan?"
Al Fariz menatap jubah compang-camping yang kini berkilauan di tubuhnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah utara di mana asap hitam mulai mengepul mengotori langit biru. Di dalam hatinya, pertarungan baru dimulai - antara harga diri seorang raja dan tanggung jawab pada rakyatnya.
"Berkumpul!" teriak Al Fariz tiba-tiba, suaranya menggelegar penuh wibawa yang tak pernah terdengar sebelumnya. "Semua panglima, semua penasihat! Kita ada perang untuk dihadapi!"
Tapi saat ia berbalik untuk memberi perintah, matanya menangkap sesuatu di jendela menara tertinggi. Sebuah bayangan samar - sosok tua dengan jubah compang-camping, mengamati semuanya dari kejauhan. Hanya sebentar, lalu menghilang.
Di menara itu, sang pengemis tua berdiri dengan senyum tipis di wajahnya yang berkerut. "Bagus, Al Fariz. Langkah pertamamu sudah kau ambil. Tapi bersiaplah, karena yang akan datang jauh lebih berat dari sekedar penghinaan."
Tangannya yang tua meraih tattoo misterius di dadanya, yang kini berpendar sama dengan pola di jubah Al Fariz. "Segel mulai retak, tapi Bayang Hitam juga bangun. Waktunya semakin sempit."
Angin berhembus kencang, membawa kabar buruk dari utara dan gemerisik daun kering di sekitar menara. Perang sudah di depan mata, kegelapan mulai bangkit, dan nasib Nurendah kini tergantung pada seorang raja yang harus belajar menjadi bukan siapa-siapa sebelum akhirnya menjadi segalanya.
Sementara di balik awan hitam di utara, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak. Sesuatu yang telah menunggu selama berabad-abad untuk bangkit, dan kini merasakan retakan pertama dalam segel yang menahannya.