NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Bab 5

“Ini untuk teman kita yang lagi ulang tahun, Sania!” teriak salah satu rekan kerjanya dengan wajah memerah karena alkohol. Sorak sorai memenuhi ruangan. Musik dari pengeras suara bergemuruh, lampu-lampu berwarna berputar cepat, menabrak dinding kaca bar yang ramai itu.

Gelas-gelas diangkat tinggi. Botol bir dibuka bersamaan. Mereka tertawa, menenggak minuman itu tanpa jeda. Ada tujuh orang di meja itu—campuran pria dan wanita—dan Aryo duduk di sisi Sania yang tampak ceria tapi matanya sudah mulai berembun oleh alkohol.

Suasana tempat itu benar-benar riuh. Beberapa orang dari kelompok mereka sudah turun ke lantai dansa, tubuhnya meliuk mengikuti dentuman musik. Aryo meneguk bir sekadarnya, menjaga diri tetap sadar. Ia tahu harus waspada malam ini—dan harus melindungi Sania. Sejak tadi ia melihat perempuan itu terus dicekoki minuman oleh teman-temannya.

Biasanya, pesta semacam ini berakhir tidak baik.

“Dan ini untuk Aryo! Pengawal jagoan kita!” seru seseorang. Gelas dan botol kembali berdenting.

Sorakan makin ramai saat mereka memutar video lama yang menampilkan Aryo melumpuhkan perampok di depan Money Changer PamungkasCorps. Mereka tertawa dan bertepuk tangan setiap kali adegan Aryo menghajar pelaku itu muncul.

“Kamu luar biasa,” bisik Sania di telinganya. Suaranya lembut namun napasnya terasa hangat di kulit Aryo.

Video itu terus diulang, dan setiap kali selesai, teman-temannya memaksa Sania menenggak bir lagi. Tubuhnya mulai limbung, wajahnya merah, tawa makin tak terkendali. Aryo akhirnya menahan tangan Sania saat perempuan itu hendak minum lagi.

“Cukup. Kamu sudah terlalu banyak.”

Sania tersenyum setengah sadar. “Tapi kita di sini buat bersenang-senang, kan?” katanya manja, mencoba meraih gelas lagi.

“Bersenang-senang tidak selalu harus dengan bir,” jawab Aryo tenang.

“Kalau begitu, yuk turun ke lantai dansa.” Ia menatapnya dengan mata setengah sayu.

Aryo sempat ragu, tapi Sania sudah menarik tangannya paksa. Akhirnya mereka berdua turun juga. Lantai dansa dipenuhi orang. Lampu temaram bergerak cepat, cahaya merah dan ungu bergantian menerpa wajah mereka.

Sania memeluk Aryo dari depan, tubuhnya menempel. “Nikmati iramanya. Lupakan segalanya malam ini,” bisiknya.

Aroma tubuh Sania menguar samar—wangi, lembut, dan menggoda. Aryo menarik napas pelan tanpa sadar. Untuk sesaat, bayangan Meliana dan perjanjian darahnya menguap dari benaknya.

“Kamu harum sekali,” katanya lirih tanpa sadar.

“Maka biarkan aku jadi pelipur malammu, Aryo.” Suaranya seperti mantra.

Mereka berdansa mengikuti irama yang berubah-ubah: cepat, lalu lambat. Sania semakin dekat, wajahnya menempel di dada Aryo. Bibirnya menyentuh kulitnya tanpa sengaja. Namun ketika Sania hendak mencium bibirnya, Aryo menunduk, menolak lembut.

“Sania… kamu sudah terlalu mabuk.”

“Tapi aku suka kamu,” bisik Sania di telinganya, tangannya mulai menelusuri bagian dada Aryo, tapi langsung dicegah.

“Cukup.” Aryo memegang pergelangan tangannya, menatapnya dalam-dalam. “Aku antar pulang.”

Sania hanya tertawa pelan. “Ah… kamu ini kaku sekali.”

Aryo menuntunnya keluar, memakaikan jaket agar tubuhnya tak menggigil. Di luar, udara malam Kota J terasa dingin dan lembap. “Kau bawa mobil?” tanya Aryo sambil merogoh tas Sania, mencari kunci.

Sania menggeleng, tawa mabuknya pecah. “Belikan aku mobil aja, Aryo,” katanya ngawur.

Ia menghela napas. “Baiklah, kita cari taksi.”

Namun tak sampai dua blok berjalan, sebuah mobil berhenti di ujung jalan. Dari dalam, seorang perempuan menatap ke arah mereka dengan kamera di tangan. Meliana.

Ia menatap tajam ke arah Aryo yang tengah menggendong Sania. Klik. Satu foto, cukup baginya untuk menambah alasan membatalkan pertunangan yang tak diinginkan itu. “Bukti sempurna,” gumamnya dingin. “Lelaki cabul itu akan kulenyapkan dari hidupku.”

Meliana menyuruh sopirnya pergi, meninggalkan tempat itu dalam bayangan cahaya lampu kota.

Sementara itu, di persimpangan menuju gang sempit, Aryo dan Sania dihadang lima pria berperawakan keras, tampak mabuk.

“Hei, mau ke mana, bro?” salah satu dari mereka menegur sinis.

“Minggir,” desis Aryo dingin.

“Bawa cewek mabuk malam-malam? Kau pikir kami gak lihat niat busukmu?” sindir yang lain.

Aryo menatap datar. “Aku tak mau ribut.”

“Kalau begitu serahkan ceweknya ke kami.”

Tawa mereka pecah. Dua orang maju mencoba menarik Sania. Aryo menepis, menendang satu ke dada, satu lagi ke paha. Gerakannya cepat dan presisi.

Dalam hitungan detik, tiga lainnya ikut menyerbu. Aryo memutar tubuh Sania agar tidak terjatuh dan menggunakan momentum itu untuk melumpuhkan lawan satu per satu. Mereka tumbang, mengerang kesakitan di trotoar.

“Lain kali jangan sok jadi pahlawan jalanan,” gumam Aryo sambil menarik napas berat.

Ia mendudukkan Sania di pinggir jalan, lalu menghentikan taksi. Sania sudah nyaris pingsan, wajahnya pucat. Aryo berpikir keras—ia tak tahu di mana rumah Sania, ponselnya terkunci. Maka pilihan satu-satunya adalah membawa gadis itu ke hotel terdekat agar bisa beristirahat aman malam itu.

Taksi berhenti. Aryo menggendong Sania ke arah pintu, tapi tiba-tiba lengannya ditarik keras dari belakang.

“Hei!” Aryo menoleh, siap memukul. Namun wajah yang muncul membuatnya kaget.

“Sudah lama, Bang,” ucap pria itu dengan senyum miring. Luka lama langsung berdenyut di dada Aryo.

“Gaston…” desisnya.

“Seperti kataku dulu, kita akan bertemu lagi. Dunia ini sempit.”

“Apa maumu? Kau menguntitku?” Aryo bersiap, matanya tajam.

“Tenang. Aku cuma ingin mengabdi lagi padamu,” jawab Gaston, sinis. “Tapi rupanya sang pengawal legendaris kini sibuk menggendong wanita mabuk.”

“Jaga mulutmu!” Aryo menarik kerah bajunya. “Katakan apa maumu!”

“Cuma ingin mengingatkan… masa lalumu belum mati, Bang. Dan cepat atau lambat, kau akan memerlukanku lagi.”

Aryo tak tahan. Tinju pertamanya menghantam rahang Gaston. Satu, dua, tiga kali. Darah menetes dari bibir Gaston, tapi ia tetap tertawa.

“Masih sekuat dulu,” katanya dengan senyum berlumur darah. “Dan lihat—kau belum berubah sedikit pun.”

Aryo memukulnya lagi, sampai tubuh Gaston terjatuh di trotoar. Tapi ketika melihat pria itu hanya diam, seolah menikmati pukulan itu, Aryo menahan diri. Ia tahu Gaston sengaja memancing emosinya.

“Jangan ganggu aku lagi,” ucap Aryo dengan nada sedingin baja, setiap kata seperti mengiris udara malam yang lembap. Tatapannya menusuk lurus ke wajah Gaston yang masih terbaring di trotoar. Tangan Aryo yang kekar bergerak cepat meraih ponsel di saku jaket pria itu, lalu tanpa ragu ia melemparkannya ke aspal dan menginjaknya kuat-kuat hingga terdengar suara retak keras. Pecahan kaca layar ponsel itu menyebar, berkilat tipis terkena cahaya lampu jalan. Aryo menatap benda yang hancur itu sejenak—seolah memastikan semua hubungan masa lalu ikut remuk bersamanya.

Ia menghela napas panjang, berbalik hendak masuk ke taksi yang menunggu di tepi jalan. Langkahnya berat namun mantap, seolah setiap pijakan adalah tekad untuk meninggalkan semua yang kelam di belakangnya. Tapi baru beberapa langkah ia berjalan, suara serak dan lirih memecah kesunyian malam.

“Selamat… atas pertunanganmu, Bang Aryo…”

Suara itu begitu pelan, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya seketika. Tubuh Aryo menegang seperti patung. Urat-urat di lehernya menonjol, matanya membulat tajam. Ia berbalik perlahan. Di bawah sinar lampu kuning jalanan, Gaston tampak masih tergeletak di tanah, bibirnya berlumuran darah, namun di wajahnya terlukis senyum licik yang menantang. Tawa kecil lolos dari tenggorokannya yang serak, tawa yang tidak terdengar gembira melainkan penuh rahasia.

Aryo memicingkan mata, menatap tajam. “Apa yang baru saja kau katakan?” tanyanya dengan suara rendah tapi sarat ancaman.

Namun Gaston hanya tersenyum makin lebar, darah menetes dari sudut bibirnya, membentuk garis tipis di dagunya. Ia tidak menjawab, hanya menatap balik dengan pandangan yang penuh makna, seolah ia tahu sesuatu yang bahkan Aryo sendiri tidak sadar telah bocor keluar dari lingkaran sempit hidupnya.

Helaan napas Aryo terasa berat. Angin malam yang semula lembut kini berubah dingin menusuk tulang. Dari mana dia tahu…? Siapa yang memberi tahu? Apa Gaston punya orang di sekitar Meliana? Atau seseorang dari masa lalu Aryo telah mengawasi langkahnya selama ini? Pertanyaan itu berputar di kepalanya, tak menemukan jawaban.

Suasana jalan yang tadinya ramai kini terasa sunyi aneh. Suara kendaraan di kejauhan seakan memudar, berganti dengan desir angin yang menyeret potongan kertas di aspal. Aroma darah bercampur dengan bau bensin dan debu kota membuat dada Aryo terasa sesak.

Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasakan sesuatu yang jarang sekali hinggap dalam dirinya — ketakutan. Bukan karena Gaston, bukan pula karena ancaman fisik apa pun, melainkan karena firasat bahwa masa lalunya mulai membuka kembali pintu yang seharusnya telah ia kunci rapat-rapat. Dan di balik pintu itu, sesuatu sedang menunggunya dengan sabar, menanti waktu untuk menyeretnya kembali ke kegelapan yang dulu ia tinggalkan.

Bersambung…

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!