Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam minggu bersamamu
Dengan semangat Adit membuka pintu mobil, untuk mempersilahkan Arumni masuk ke dalamnya.
"Terimakasih, mas." ucapnya.
Adit hanya tersenyum, tak ingin mengulur waktu, ia pun berjalan cepat memasuki mobilnya, sabuk pengaman terpasang sempurna, secara perlahan Adit mulai mengerakan mobilnya, membawanya keluar dari pekarangan rumah pak Arif.
Adit menatap jam yang melingkar di tangannya. "Arumni, mumpung baru jam 8, sebaiknya kita kemana?" Tanya Adit untuk membuka obrolan.
Arumni jadi bingung. "Bukannya tadi kamu yang ngajak ya, mas? kenapa jadi tanya aku?"
Adit tertawa kecil. "Maaf ya, Arumni. Aku lupa!" hampir saja Adit keceplosan.
Tak ingin membuat Arumni merasa curiga, Adit pun membawa Arumni ke sebuah toko fashion wanita. Adit segera turun dari mobil agar dapat membukakan pintu untuk Arumni, namun sabuk pengaman yang mengikat tubuh Arumni jadi sulit terlepas, rupanya saat mengunci bajunya ikut tersangkut.
"Aku ngak bisa turun, mas!" kata Arumni saat Adit membukakan pintu.
"Kenapa?" tanya Adit penasaran.
Arumni tersenyum sambil menunjuk pengait sabuk pengaman.
"Baju mu nyangkut, Arumni?" kata Adit setelah memeriksa.
Mata Arumni terpejam kala wajah Adit begitu dekat saat melepaskan bajunya yang tersangkut. Arumni memang tidak melihat wajah Adit dari jarak dekat, namun Aroma parfum khas pria yang Adit kenakan menyeruak, ia dapat merasakan wangi lembut khas pria dari tubuh Adit.
"Duh! kenapa aku seceroboh ini, sih?" bisik Arumni dalam hatinya, saat matanya masih terpejam.
Adit dapat melepaskan pakaian Arumni yang tersangkut dengan begitu mudah, padahal berulang-ulang Arumni mencoba melepaskan namun terasa sulit baginya.
Mata Arumni masih terpejam, kesempatan bagi Adit untuk memandangi wajah Arumni dari jarak dekat. Senyumnya mengembang, saat Arumni terlihat begitu manis.
"Sudah belum, mas?"
Pertanyaan Arumni membuyarkan lamunan Adit, "Oh, iya, sudah, sudah terlepas." Adit tertawa gugup.
Tangannya menyambut Arumni saat Arumni hendak turun dari mobilnya. Arumni mengedarkan pandangannya ke tangan lalu ke wajah Adit secara berulang-ulang. Arumni jadi merasa berdosa jika sampai menerimanya, namun Arumni pun tidak enak jika menolaknya.
"Apa ini perlu, mas? Aku bisa turun sendiri." ucapnya sambil tertawa kecil.
"Aku tahu kamu bisa turun sendiri, Arumni. Tapi tolong ijinkan aku menggandeng tangan mu!"
Senyum Adit begitu melenakan, namun Arumni masih mengingat batasnya. "Maaf, mas. Biarkan aku turun sendiri."
Adit tersenyum sambil menarik tangannya kembali, "ya..! baiklah." ucapnya.
Kesopanan Arumni semakin membuat Adit jadi tak sabar ingin dapat memilikinya. Wanita seperti Arumni bagai permata termahal di dunia. "Sudah pasti dia belum pernah tersentuh pria. Tapi wanita seperti Arumni pasti akan sulit didapatkan, aku harus mendekati Arumni melalui keluarganya." pikir Adit.
Langkah Arumni terhenti saat ia tepat di pintu masuk toko, ia lantas menoleh Adit yang berada di belakangnya. "Kita mau ngapain ke sini, mas?" tanya Arumni.
"Ayo kita masuk dulu!" ucap Adit sambil berjalan mendahului Arumni.
Adit pikir semua wanita akan suka jika diajak berbelanja, membeli apapun yang mereka mau. Namun berbeda dengan Arumni, saat Adit menunjukkan sebuah sepatu yang menurutnya cocok untuk Arumni, Arumni justru biasa saja.
"Arumni, bagaimana menurut mu tentang sepatu ini?" Adit memberikan beberapa pasang sepatu yang menurutnya akan cocok untuk Arumni.
"Bagus mas!" jawabnya santai.
"Kamu suka ngak?"
"Suka."
"Suka yang mana?"
Alis kanannya meninggi. "Memangnya untuk siapa sih, mas?" tanya Arumni penasaran.
Lagi-lagi Adit hampir lupa bahwa dirinya memang sedang berbohong. "Eemm, iya- untuk seseorang."
Arumni menghela napas. "Kenapa mas Adit tidak tanya langsung sama orangnya saja sih, mas?"
Adit mengaruk punggung lehernya, "Iya juga ya, Arumni. kenapa aku ngak kepikiran?" Adit jadi serba salah. "Ya sudah karena kita sudah terlanjur keluar, ijinkan aku memberi sedikit hadiah untuk kamu." Adit beralasan, padahal ia ingin sekali memberi hadiah untuk Arumni.
Arumni mengulas senyum. "Tapi kan aku belum membantu kamu, mas."
"Sudahlah, Ayo!" tanpa bertanya Adit menarik tangan Arumni.
Mereka berhenti di depan etalase jam tangan. "Pilih salah satu, ya!" kata Adit.
Arumni menggelengkan kepalanya.
"Aku mohon." Adit memaksa. "Angap sebagai rasa terimakasih ku, ya?"
"Tapi kan aku ngak ngapa-ngapain, mas!"
"Kamu sudah menyempatkan waktu, Arumni. Kalau kamu ngak mau milih, biar aku yang pilihkan untuk kamu, ya?" Adit terus memaksa.
"Tolong yang ini, mbak!" ucap Adit pada salah satu pelayan, sambil memberikan jam tangan yang sudah ia pilih.
"Mas!" Arumni menahan tangan Adit agar tidak memberikan jam tangan itu pada pelayanan toko. "Oke, kalau kamu memaksa! tapi tolong berikan jam tangan seharga limapuluh ribuan saja, ya? Aku janji akan memakainya."
Dua pelayanan toko yang berada di sana jadi saling berbisik. "Mbaknya kok aneh, ya? padahal jamnya bagus, harganya juga jauh diatas lima puluh ribu, tapi kenapa justru memilih yang lima puluh ribu?"
"Iya, aneh sekali!" bisik yang satunya.
Arumni menghunus tatapan tajam pada dua pelayanan toko tersebut, ia tidak mau mengambil kesempatan dari kebaikan Adit, terlebih Arumni memiliki suami.
"Maaf, mbak!"
"Maaf, mbak!"
Kedua pelayan itu tertunduk minta maaf pada Arumni, saat menyadari Arumni tidak menyukai pendapat mereka.
Adit menatap Arumni dan kedua pelayan, tak ingin menambah perdebatan, Adit pun akhirnya menerima permintaan Arumni. "Ya sudah, berikan beberapa contoh jam tangan dengan harga lima puluh ribu ya, mbak?" kata Adit.
Wajahnya berubah menjadi tidak nyaman, setelah membeli jam tangan untuk Arumni, Adit mengajaknya ke kedai pak Beni, namun Arumni menolak dengan alasan tidak enak sama pak Arif dan bu Susi. Adit memahami hal itu, karena Adit pun hanya meminta waktu sebentar.
"Kita pulang saja ya, mas?" kata Arumni.
Adit menganguk, "Iya!"
Sebenarnya Adit masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan Arumni, namun karena Arumni sudah tidak nyaman, mungkin bisa di coba lain waktu.
Masalah menghampiri saat mereka keluar dari toko, rupanya hujan turun begitu deras, dan mereka terjebak hujan.
"Ternyata hujan, Arumni." kata Adit.
"Iya mas, padahal tadi cerah bulannya saja terlihat jelas, Langit Wonosobo memang sering tiba-tiba berubah." Arumni menyilangkan tangannya ke dada.
Adit dapat merasakan Arumni kedinginan, bibirnya mulai membiru, tubuhnya gemetar. Jika ia belikan jaket, sudah pasti Arumni akan menolak. Tak ada pilihan lain, Adit melepas hem yang ia kenakalan, lalu memakaikan ke tubuh Arumni.
Tak ada penolakan dari Arumni, namun perilaku Adit mengingatkan Arumni pada Galih. Matanya jadi berkaca, hidungnya berdenyut kemerahan.
Adit jadi melihat seperti ada luka dalam yang Arumni rasakan. "Maaf, ya. Aku jadi membuatmu repot."
Belum sempat Arumni menjawab, tiba-tiba seorang pria bersama istri dan anaknya baru saja keluar dari toko yang sedang Arumni kunjungi. Pria itu terus memperhatikan Arumni.
"Arumni! kamu Arumni kan?" kata pria itu setelah merasa yakin bahwa itu memang Arumni.
Arumni tersenyum sambil menyipitkan mata. "Iya, siapa ya?" tanya Arumni.
"Oh ya, maaf. Mungkin kamu tidak mengingat aku, karena kita baru bertemu sekali, tapi dulu Galih sering cerita tentang kamu."
"Oh, ya? cerita tentang apa?" tanya Arumni sambil tertawa bahagia.
"Banyak lah pokoknya. Oh ya, ngomong-ngomong kamu sedang apa di sini? di mana Galih?" tanya pria itu sambil celingukan.
"Tidak ada. Mas Galih masih di Jakarta."
Pria itu pun memperkenalkan diri dan juga istrinya. Sementara Adit masih berdiri tersenyum menunggu Arumni memperkenalkan dirinya.
Arumni menatap Adit. "Oh ya, ini mas Adit. Kita mau pulang, tapi terjebak hujan." ucap Arumni pada pria itu.
"Duh! bisa gawat kalau mas Galih tahu, aku pergi sama mas Adit!" bisik Arumni dalam hatinya.
Beruntung tidak lama hujan sedikit reda, sehingga mereka bisa segera pulang. Namun Arumni masih merasa belum aman.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi