Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Karena Kamu
Bu Hanim tertawa sinis. "Kebenaran apa lagi, Kartika? Putramu sudah tertembak oleh calon istrimu yang gila itu! Kami sudah menang!"
"Menang? Kamu pikir kamu bisa membeli hukum dan membeli hati publik selamanya, Hanim?" balas Kartika. Ia memberi isyarat kepada beberapa pria berpakaian sipil yang ternyata adalah tim legalnya.
"Aku punya bukti nyata. Bukan fitnah! Bukti yang akan menjebloskan kalian semua ke penjara!"
Kartika mengambil sebuah proyektor kecil dan meletakkannya di podium. Di tangan lainnya, ia memegang sebuah flash drive.
"Semua media yang hadir di sini, tolong perhatikan," perintah Kartika.
Layar putih besar yang tadinya digunakan untuk menampilkan foto pre-wedding Satria dan Dinda, kini menampilkan dokumen-dokumen rahasia.
"Ini adalah bukti-bukti awal yang bocor ke publik beberapa minggu lalu," kata Kartika, menunjuk pada angka-angka dan transaksi mencurigakan.
"Ya, penggelapan pajak triliunan rupiah yang dilakukan oleh Pak Wibowo selama menjabat Direktur Menggara Group!"
Pak Wibowo yang berdiri di samping Dinda, langsung ambruk di kursinya, wajahnya pias.
Dinda terkejut. Ia menoleh ke arah ayahnya, lalu ke ibunya.
Bu Hanim panik. Tawa di wajahnya hilang seketika, berganti dengan ketakutan yang dingin. "Palsu! Semua palsu! Kartika, kamu memalsukan ini!"
"Palsu?" Kartika tersenyum dingin. "Lalu, apakah ini juga palsu?"
Kartika menekan tombol play. Proyektor kini menampilkan rekaman audio yang mengejutkan. Itu adalah rekaman telepon yang merekam percakapan Bu Hanim dan Faisal (polisi yang disuap), membahas rincian uang tutup mulut, dan instruksi Bu Hanim untuk mengalihkan penyelidikan penembakan Ikhsan ke isu malpraktik.
Suara Bu Hanim dari rekaman: "Aku mau kamu pastikan, kasus penembakan itu tidak akan pernah mengarah kepadaku. Alihkan ke Rumah Sakit Medika Sejahtera. Aku akan kirim sepuluh kali lipat dari yang kukirim kemarin."
Aula pernikahan itu berubah menjadi ruang sidang. Para tamu mulai berbisik-bisik, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
"Dan yang terakhir," lanjut Kartika, suaranya tegas. Ia memainkan klip audio yang lebih mengerikan, rekaman yang didapatkannya dari penyelidikan independen. Itu adalah rekaman suara Bu Hanim yang berteriak-teriak penuh amarah saat membekap wajah Dewi dengan bantal—rekaman yang didapat dari perekam suara rahasia yang Mulia tinggalkan di kamar ibunya.
Suara Bu Hanim dari rekaman (berteriak): "Ini untuk suamiku! Ini untuk anakmu! Ini untuk kehancuranku!"
Suara itu memenuhi ruangan, menusuk hati Mulia. Air matanya akhirnya tumpah, air mata yang bercampur antara kesedihan dan pembenaran.
Bu Hanim menjerit, menutupi telinganya. "Tidak! Itu fitnah! Itu rekayasa!"
Soraya yang kalap, kini terdiam. Ia menatap Ikhsan, lalu menatap Mulia, lalu menatap Bu Hanim. Ia baru menyadari, dirinya telah menjadi pion dalam permainan seorang psikopat. Mulia bukanlah musuhnya.
****
Satria, yang berhasil bebas dari pengawal, berlari menuju Mulia. Ia memeluknya erat. "Mulia! Maafkan aku! Aku tidak tahu! Aku tidak tahu ibuku dihasut sejahat ini!"
Mulia membalas pelukan Satria. Ia tidak lagi peduli pada pernikahan yang hancur, atau reputasinya. Kebenaran telah terungkap.
Kartika melihat ke arah pintu. Polisi yang ia panggil untuk melaporkan penganiayaan kini masuk, didampingi tim dari KPK yang sudah disiagakan setelah kebocoran dokumen pajak.
"Bu Hanim Wibowo, Anda ditahan atas dugaan pembunuhan, penyuapan, dan pencucian uang!" seru seorang petugas.
Bu Hanim menatap kehancuran di sekelilingnya: suaminya yang lemas, putrinya Dinda yang menangis, dan Mulia yang kini dipeluk Satria. Ia kembali tertawa. Tawa yang kini terdengar putus asa, tawa terakhir dari seorang pecundang.
****
Suasana di dalam ballroom sudah tidak karuan. Lampu-lampu mewah bersinar di atas pecahan kaca dan karangan bunga yang hancur. Petugas polisi dan tim KPK mulai bergerak, mengamankan Bu Hanim dan Pak Wibowo. Bu Hanim tertawa histeris saat diborgol, sementara Pak Wibowo tampak tak berdaya.
Namun, di tengah kekacauan itu, drama pribadi yang paling menyakitkan baru saja dimulai.
Dinda, calon pengantin yang gaunnya kini kusut, berdiri terpaku. Ia menyaksikan kehancuran ibunya, penangkapan ayahnya, dan semua itu terjadi di hari pernikahannya. Matanya yang merah menatap satu-satunya sumber penderitaan di benaknya: Mulia.
Dinda menerobos kerumunan. Satria, yang baru saja memeluk Mulia, tersentak saat Dinda mencengkeram Mulia dengan tangan kuat.
"Kamu! Kamu iblis!" teriak Dinda, wajahnya penuh kebencian dan air mata. "Kamu menghancurkan segalanya! Hari bahagiaku! Keluargaku!"
Dinda tidak hanya berteriak, ia menjambak rambut Mulia dengan seluruh kekuatannya. Mulia menjerit tertahan, kepalanya tertarik ke belakang.
"Dinda! Lepaskan dia!" Satria mencoba menarik tangan Dinda.
"Jangan sentuh aku, Satria! Aku benci kamu! Aku benci kalian semua!" Dinda meronta.
Mulia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Dinda. "Dinda, ibumu yang melakukannya! Bukan aku!"
"Pembohong! Kamu yang menghasut! Kamu yang membuat Ayahku difitnah! Kamu yang mengirim rekaman palsu itu!" Dinda meraung, melampiaskan semua keputusasaan dan kekalahan pada Mulia.
Tiba-tiba, Dinda melepaskan jambakannya. Ia melihat pecahan gelas kristal yang hancur akibat benturan di meja. Dengan kecepatan yang didorong oleh kegilaan, Dinda menyambar pecahan terbesar itu.
"Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu, Mulia!" teriak Dinda.
Pecahan kristal yang tajam berkilat di bawah cahaya lampu chandelier. Mulia menutup mata, bersiap menerima serangan.
****
Namun, sebelum pecahan itu menyentuh Mulia, Ikhsan melompat. Ia menahan pergelangan tangan Dinda dengan kedua tangannya, mengabaikan rasa sakit yang luar biasa di bahu kirinya.
"Hentikan, Dinda! Kamu tidak bisa melakukan ini!" Ikhsan berteriak, urat-urat di lehernya menegang.
Dinda melawan dengan kekuatan luar biasa. Ia adalah wanita yang sedang kehilangan segalanya. "Lepaskan aku, Ikhsan! Aku akan bunuh dia! Aku akan bunuh iblis ini!"
"Tidak! Kamu tidak akan membunuh siapa pun!"
Dalam pergulatan itu, Dinda menyadari ia tidak bisa menembus Ikhsan. Matanya yang gelap memandang pecahan gelas di tangannya, kemudian beralih ke pergelangan tangannya sendiri. Pikiran Dinda yang telah lama tertekan kini benar-benar kalap.
Dinda menghela napas dalam-dalam. "Kalau aku tidak bisa membunuhnya, aku akan membunuh diriku sendiri!"
****
Sebelum Ikhsan sempat bereaksi, Dinda memutar pecahan gelas itu dan menghujamkannya ke pergelangan tangannya sendiri dengan gerakan cepat dan brutal.
"AARGH!" Dinda menjerit nyaring, jeritan yang menusuk seluruh ruangan. Darah segera menyembur, membasahi gaun pengantin putihnya dan lantai marmer.
Semua orang terperangah. Satria langsung membeku, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Soraya yang masih tertahan oleh emosi, terpekik ngeri.
Ikhsan melepaskan cengkeramannya, shock. Darah Dinda memercik ke tangannya.
Dinda tersenyum, senyum yang mengerikan, penuh rasa sakit dan lega. "Aku... aku bebas," bisiknya, sebelum tubuhnya limbung ke lantai yang dingin, darah terus mengalir deras dari pergelangan tangannya.
"Dinda!" Satria akhirnya bergerak. Ia menerjang maju, berlutut di samping Dinda. "Dinda! Kenapa kamu lakukan ini?!"
Mulia berdiri mematung, melihat darah Dinda. Ia merasakan gelombang rasa mual dan trauma. Ia tidak pernah ingin hal ini terjadi.
Ikhsan segera mengambil tindakan. Ia merobek kain dari tirai dekorasi terdekat dan mengikat pergelangan tangan Dinda untuk menghentikan pendarahan.
"Panggil ambulans! Cepat!" perintah Ikhsan kepada petugas keamanan.
Kartika mendekati Mulia, memeluknya erat. "Kamu tidak apa-apa, Nak. Bukan salahmu."
Mulia hanya menggelengkan kepala, air mata kembali mengalir deras. Ia melihat Dinda, yang kini terbaring tak sadarkan diri di pangkuan Satria, gaun pengantinnya menjadi merah. Mulia tahu, dendam telah menuntut korban yang jauh lebih banyak daripada yang ia bayangkan.