“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25. Berarti, boleh diulangi
Bunyi channel TV terdengar berganti-ganti, remote masih di tangan Arman. Di meja kecil, dua gelas teh hangat mengepulkan uap samar. Widya baru saja duduk, menyodorkan salah satunya ke Arman.
“Ini tehnya. Nggak terlalu manis, soalnya aku udah manis. Jadi kalau kurang manis, minumnya sambil liat ke aku.” ucap Widya narsis, mengangkat dagu dengan gaya sok percaya diri.
Arman langsung tergelak, hampir saja menumpahkan tehnya. “Astaga… pede banget, Bu. Tapi aku nggak bisa bantah sih.”
Widya melirik sebal. “Ya iyalah, emang aku manis.”
Arman mengangguk sambil nyengir, sengaja mendekat setengah badan ke arah istrinya.
Sofa malam ini memang terasa berbeda. Awalnya mereka duduk agak berjauhan, tapi entah siapa yang mulai duluan, jarak itu semakin menyempit. Ujung lengan baju mereka bahkan sudah bersentuhan, dan bahu mereka ikut menempel.
Arman lalu mencondongkan badannya. “Kamu mau nonton apa, Wid? Jangan yang penuh tangisan lah, itu lebay banget. Aku nggak suka sinetron cengeng kayak gitu.”
“Terserah Mas Arman aja.”
“Ya udah, komedi aja, biar kita bisa ketawa bareng. Biar awet muda.”
Widya mengangguk “Emang Mas
Arman butuh banget ya awet muda? Umur baru segitu aja udah khawatir.”
Arman pura-pura menepuk dada. “Eh, umur segini tuh lagi rawan-rawannya, Wid. Makanya aku butuh vitamin….” lalu menoleh dengan senyum jail. “Vitamin W.”
“Halah, gombal kelas receh!” ucap Widya sambil menggeplak lengan Arman.
Arman menahan tawa, pura-pura kesakitan sambil memegangi lengannya. “Aduh, jangan kasar gitu dong. Ini tangan satu-satunya yang bisa aku pake buat gantiin channel.”
Widya mendengus. “Dasar drama.”
Gelak tawa dari televisi bercampur dengan tawa mereka sendiri. Arman beberapa kali melirik ke samping, memperhatikan Widya yang terkekeh kecil. Senyum sederhana itu saja sudah cukup bikin dadanya terasa hangat.
Bahu mereka sekarang benar-benar menempel, tak ada yang berusaha mundur. Arman meraih gelas tehnya, lalu melirik gelas Widya yang sudah kosong. “Tehnya habis, Wid. Mau aku tambah?” jawar Arman.
Widya menggeleng. “Nggak usah, Mas. Kebanyakan nanti malah bolak-balik ke belakang.”
Arman mengangguk pelan. “Oh, jadi maksudnya kamu males jauh-jauh dari aku, gitu?”
Widya langsung melotot. “Jangan ngambil kesimpulan sepihak, Mas!”
Arman hanya terkekeh, “Anggap aja gitu, Wid. Biar hatiku seneng.”
Widya lalu meraih bantal sofa, mengarahkan ke Arman. “Bener-bener ya modusnya nggak ada obat.”
Arman menahan bantal itu dengan santai. “Hei, kalau aku nggak modus, kapan lagi aku bisa deket-deket sama istriku?”
Widya terdiam sejenak, lalu cepat-cepat menoleh ke televisi lagi. Tapi pipinya jelas memerah.
Dan malam itu, bukan cuma acara TV yang membuat suasana jadi seru, tapi modus tipis-tipis Arman yang sukses membuat Widya kikuk tapi diam-diam ikut senang.
Suasana ruang tamu makin redup, hanya ditemani cahaya televisi yang sesekali berganti warna. Widya masih asik menonton, tangannya sibuk memeluk bantal sofa. Sementara Arman, dengan modus yang lebih licin daripada iklan skincare, mulai bersandar makin dekat.
“Wid…” panggilnya lirih.
“Hm?” Widya menoleh sebentar.
Arman menguap lebar-lebar, pura-pura berat sekali matanya. “Ngantuk banget. Kayaknya aku udah tua, jam segini aja udah nggak kuat.”
Widya nyengir. “Masih muda sok-sokan tua.”
“Eh beneran, loh. Lihat aja.”
Tanpa banyak aba-aba, kepala Arman miring… dan jatuh begitu saja ke bahu Widya.
Widya langsung melotot. “Mas Arman! Serius nih? Nggak ada sandaran lain gitu? Berat, tau?”
“Hmm…” Arman bergumam setengah tidur, suaranya dibuat berat. “Ini paling empuk.”
Widya mendengus, ingin mendorong tapi tangannya malah tertahan di udara. Mau ngomel, tapi pipinya justru panas.
“Mas, jangan pura-pura. Aku tahu Mas Arman masih melek,” bisiknya ketus.
Arman tersenyum kecil, tapi tetap memejamkan mata. “Kalau aku pura-pura, kenapa kamu nggak geser aja? Palingan nanti kepalaku ada di pangkuanmu.” ucap Arman mulai genit
Widya terdiam. Ujung bibirnya gemetar, antara kesal dan malu. “Justru itu, makanya aku nggak bergeser.” balas Widya lirih.
Arman akhirnya membuka sebelah mata, menoleh sekilas sambil menahan senyum puas. “Nah, itu baru jujur.”
Widya buru-buru menoleh ke arah TV, berusaha menutupi rona merah di wajahnya. Tapi bahu itu tetap ia biarkan jadi sandaran Arman.
“Mas… udah ah, bahuku pegel.”
Ya udah, Aku gantiin pake bahu aku. Kamu yang gantian nyender di bahu aku.” ucap Arman sambil mengangkat kepalanya sedikit, menoleh, dan hanya sekejap ia menyentuhkan bibirnya ke pipi istrinya.
Widya sontak membelalak. “Mas…!” seru Widya dengan suara yang lebih mirip bisikan panik.
Arman buru-buru bangkit, menggaruk tengkuk sambil nyengir nakal. “Eh… refleks. Maaf. Jangan marah ya?”
Widya menatap Arman dengan pipi merona, setengah tak percaya, setengah malu.
Arman menyeringai, tapi cepat-cepat kabur ke dapur dengan alasan cuci gelas. “Aku… cuci gelas dulu deh.”
Widya menatap punggung Arman yang menghilang, lalu memeluk bantal di sofa dengan wajah yang makin merah.
—---
Kamar sudah temaram. Lampu tidur menyala samar, cukup memberi cahaya lembut di sudut ruangan. Arman sudah lebih dulu rebahan di sisi ranjangnya, punggung bersandar sebentar ke headboard sebelum akhirnya ia berbaring.
Widya masuk beberapa menit kemudian, wajahnya masih terlihat merah meski sudah ia tutupi dengan pura-pura cuek. Ia mematikan lampu utama, lalu ikut naik ke ranjang.
Hening.
Hanya suara dengung pendingin udara dan napas keduanya yang terdengar. Tapi di kepala Widya, masih jelas sekali rasa hangat di pipinya tadi. Seolah bibir Arman belum benar-benar pergi. Tangannya diam-diam mengusap pipi itu, lalu buru-buru menarik selimut sampai ke dagu.
Arman, di sisi lain, juga tak kalah resah. Ia berbaring miring, punggungnya menempel ke kasur, tapi matanya mencuri pandang ke arah istrinya. Berkali-kali.
Widya memunggungi, tubuhnya kaku, jelas sedang berusaha menghindar.
“Wid…” panggil Arman dengan suara pelan, ragu.
“Hm?” sahut Widya singkat, masih dengan posisi membelakangi.
“Kamu marah nggak?”
Widya terdiam sebentar, jantungnya berdebar lebih kencang. “Marah kenapa?” tanya Widya akhirnya, suaranya datar tapi agak bergetar.
Arman menghela napas pelan, lalu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Ya… tadi. Aku… nggak bisa nahan.”
Widya menggigit bibir, pipinya semakin panas. Ia menutup mata rapat-rapat, mencoba menutupi senyum yang nyaris lolos. “Nggak usah dibahas, Mas. Tidur aja.”
Arman masih melirik, berusaha membaca ekspresi dari punggung yang membelakanginya. Tapi Widya terlalu lihai, tidak menoleh sedikitpun.
“Kalau kamu nggak marah,” Arman berdehem kecil, “berarti aku boleh ngulangin lagi kapan-kapan?”
Widya sontak menarik selimut lebih tinggi, menutupi kepala. “Mas, ih!” Widya malu dari balik selimut, suaranya lirih tapi jelas bukan marah.
Arman langsung terkekeh, akhirnya memiringkan tubuhnya ke arah istrinya. Senyum tipis tak bisa ia tahan. “Oke, berarti boleh.”
Arman akhirnya menutup mata, mencoba tidur dengan tenang. Tapi hatinya masih ribut. Sama ributnya dengan Widya yang diam-diam masih mengusap pipinya dari balik selimut, seolah sentuhan tadi benar-benar sulit hilang.
---